Folklor Ponorogo: Kisah Mbah Waung dan Prajurit dengan Luka Sekeranjang di Desa Tranjang

 


Oleh:
Ririn Aminatun Sholikah, Nada Anggun R.
Cindy Latifah, M. Bisri Mustofa, Azziza Dwi I.
 
Mahasiswa UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo



Profil Desa Tranjang

Berdasarkan data yang ada, Desa Tranjang memiliki luas wilayah mencapai 144 hektare yang terdiri atas permukiman penduduk, tanah tegalan, perkebunan rakyat, serta lahan persawahan. Dari total luas tersebut, sebanyak 56 hektare merupakan area permukiman, sementara 88 hektare lainnya merupakan lahan kering dan persawahan yang menopang aktivitas pertanian warga. Wilayah desa ini juga dialiri Sungai Paju sepanjang lima kilometer yang turut memberi manfaat bagi kebutuhan irigasi maupun kehidupan masyarakat.

Secara geografis, Desa Tranjang berada pada posisi 7º53’–7°45’ Lintang Selatan dan 111°30’–111°06’ Bujur Timur. Dengan topografi berupa dataran sedang pada ketinggian sekitar 121 meter di atas permukaan laut. Desa ini terbagi menjadi dua dusun, yakni Krajan dan Pucang (Puthuk Canggeh). Adapun letaknya berada di antara tiga desa lain dalam wilayah Kecamatan Siman dan Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo. Adapun batas-batas wilayahnya meliputi: sebelah barat berbatasan dengan Desa Sawuh Kecamatan Siman, sebelah timur berbatasan dengan Hutan Perhutani Kecamatan Pulung, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Jarak Kecamatan Siman, serta sebelah utara berbatasan dengan Desa Pijeran Kecamatan Siman.

Desa Tranjang dihuni oleh sekitar 2.528 jiwa yang terbagi dalam 590 kepala keluarga. Komposisi penduduknya terdiri atas 1.742 laki-laki dan 1.786 perempuan. Menariknya, lebih dari 20 persen atau sekitar 200 kepala keluarga tercatat berdomisili di luar kota. Perpindahan tersebut umumnya dipicu kebutuhan mencari pekerjaan di sektor industri, perdagangan, maupun jasa yang lebih berkembang di wilayah perkotaan. Faktor pendidikan juga menjadi pertimbangan penting bagi keluarga yang menginginkan akses pendidikan lebih baik bagi anak-anak mereka, mengingat keterbatasan lapangan kerja dan fasilitas di desa.

Kendati tinggal jauh dari kampung halaman, masyarakat Desa Tranjang yang merantau tetap menjaga ikatan dengan desa asal mereka. Setidaknya sekali dalam setahun, mereka pulang untuk berkumpul bersama keluarga serta menghadiri kegiatan halal bihalal yang rutin diselenggarakan oleh Kepala Desa Tranjang setiap usai Idulfitri sebagai ajang mempererat hubungan antarsesama warga.

Toponimi Desa Tranjang

Asal-usul nama Desa Tranjang menyimpan dua versi cerita yang berkembang di tengah masyarakat. Dalam wawancara bersama Kepala Desa Tranjang, Bapak Suyatno, dan juru kunci petilasan Mbah Waung, Bapak Koco, keduanya memberikan dua penjelasan yang sedikit berbeda mengenai sejarah penamaan desa tersebut. 

Versi pertama disampaikan oleh Bapak Suyatno, Kepala Desa Tranjang, yang kini berusia 51 tahun. Ia menjelaskan bahwa sekitar tahun 1825–1830, pada masa Perang Diponegoro, muncul sosok misterius menyerupai seorang pejuang dengan tubuh tinggi, besar, dan berkulit hitam legam. Tubuhnya penuh luka sayatan yang masih mengucurkan darah. Sosok ini konon mengucapkan kalimat dalam bahasa Jawa, “Aku iso mati yen dianjang-anjang tanpo demok lemah, aku iso mati yen tatuku arang kranjang,” yang memiliki arti, “Aku bisa mati jika diletakkan di atas tanpa menyentuh tanah, aku bisa mati jika lukaku banyak seperti keranjang.” Cerita tersebut melekat kuat di tengah warga, sehingga wilayah itu dahulu dikenal dengan nama “Anjang-anjang.” Seiring waktu, penyebutannya dipermudah hingga akhirnya berubah menjadi Tranjang seperti yang dikenal saat ini.

Foto Bersama Pak Suyatno, Kepala Desa Tranjang

Sementara itu, Bapak Koco yang berusia 53 tahun memiliki versi yang sedikit berbeda. Menurutnya, dahulu ada seorang pejuang atau prajurit bernama Heru Cokro yang datang dari arah barat dalam kondisi luka parah. Luka-luka pada tubuhnya bolong (lubang) seperti keranjang, sehingga disebut “arang keranjang.” Heru Cokro dikisahkan melarikan diri dari medan perang, meski tidak jelas apakah ia mundur karena kalah atau alasan lainnya. Perjalanannya menelusuri wilayah Njomblang di utara Sungai Pijeran, lalu mengikuti aliran Sungai Kedungalan yang dangkal hingga mencapai Tegalasem. Ia terus bergerak ke timur melalui tempat angker bernama Asembudho yang diapit sungai, menanjak ke bukit, dan berhenti di lokasi yang kini dikenal sebagai Watu Dowo. Tempat tersebut dipercaya sebagai tempat peristirahatan orang zaman dulu.

Foto Bersama Pak Koco, Juru Kunci Petilasan Mbah Waung

Lebih jauh, Bapak Koco mengaitkan kisah ini dengan kepercayaan Jawa mengenai ajian Poncosono. Ajian tersebut menjadikan seseorang tidak bisa mati bila tidak “dianjang-anjang,” atau dimakamkan tanpa menyentuh tanah, melainkan diletakkan dalam wadah seperti peti atau keranjang. Namun hingga kini belum ada bukti yang memastikan apakah Heru Cokro benar-benar dimakamkan dengan cara tersebut. Di Desa Tranjang memang terdapat sebuah makam tua dengan nisan batu asli, tetapi identitas yang dimakamkan masih belum diketahui. Jika makam itu terbukti milik Heru Cokro, maka dapat dipastikan ia tidak dimakamkan dengan cara “dianjang-anjang,” melainkan dikubur seperti lazimnya pemakaman pada umumnya.

Makam Tua Desa Tranjang


Folklor Desa Tranjang

Folklor yang ada di Desa Tranjang berupa mitos pernikahan dan pemilihan lokasi rumah. Selain itu, juga terdapat  beberapa legenda yang diceritakan turun-temurun.

Mitos Pernikahan

Mitos di Desa Tranjang menjadi bagian penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Bagi mereka, mitos bukan sekadar cerita rakyat untuk hiburan, melainkan pedoman hidup yang mengandung nilai moral serta berfungsi menjaga tatanan sosial. Salah satu kepercayaan yang masih dipertahankan hingga kini berkaitan dengan pelaksanaan pernikahan. Bapak Tukijo, mantan Kepala Desa Tranjang yang kini berusia 55 tahun, menjelaskan bahwa terdapat anjuran bagi warga untuk tidak menyelenggarakan lebih dari satu prosesi pernikahan pada hari dan tanggal yang sama.

Aturan tidak tertulis ini menetapkan bahwa hanya satu pasangan yang boleh melangsungkan pernikahan pada tanggal tertentu. Pasangan yang terlebih dahulu mendaftarkan tanggal pernikahan ke Kantor Urusan Agama (KUA) akan mendapatkan prioritas. Jika ada pasangan lain yang berencana menikah pada tanggal dan hari yang sama, maka mereka disarankan menjadwalkan ulang prosesi pernikahan ke hari berbeda.

Kepercayaan tersebut dilandasi anggapan bahwa pelanggaran atas anjuran dapat memicu musibah, mulai dari pertengkaran dalam rumah tangga, perceraian, hingga hal lain yang tidak baik. Mitos ini pada akhirnya berperan sebagai mekanisme sosial dalam menjaga harmoni masyarakat, sekaligus tradisi budaya yang diwariskan turun-temurun. Hingga sekarang, masyarakat Desa Tranjang tetap mematuhi pantangan ini sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dan upaya menghindarkan diri dari mara bahaya.

Mitos tentang Lokasi Tanah dan Rumah

Selain larangan melangsungkan pernikahan pada hari dan tanggal yang sama, masyarakat Desa Tranjang juga memegang teguh pantangan lain yang berkaitan dengan kepemilikan tanah. Warga setempat percaya bahwa tanah di sepanjang Jalan Kusuma, yakni mulai dari area dekat jembatan perbatasan Desa Pijeran hingga menuju kantor desa Tranjang, dianggap tidak membawa keberkahan bagi penduduk asli Tranjang. Karena kepercayaan tersebut, hampir tidak ada warga setempat yang membeli tanah di lokasi itu.

Jalan Kusuma

Sebaliknya, tanah di sepanjang Jalan Kusuma justru lebih banyak dibeli oleh pendatang atau warga dari luar desa yang tidak mengetahui adanya pantangan tersebut. Masyarakat Tranjang percaya bahwa siapa saja yang melanggar larangan ini akan menghadapi risiko kesialan, pertengkaran dalam keluarga, dan hal-hal negatif lainnya. Demi menjaga keselamatan dan menghindari nasib buruk, warga pun tetap mematuhi kepercayaan turun-temurun tersebut agar kehidupan mereka senantiasa terhindar dari berbagai bahaya.

Legenda Karangtegalasem

Berdasarkan hasil penelusuran mengenai legenda yang berkembang di Desa Tranjang, terdapat sebuah lokasi bernama Karangtegalasem yang terletak di tengah area persawahan milik warga. Untuk menggali kisah yang melingkupinya, wawancara dilakukan bersama dua narasumber, yaitu mantan Kepala Desa Tranjang, Bapak Tukijo, dan juru kunci petilasan Mbah Waung, Bapak Koco. Dari keduanya, diperoleh dua versi cerita yang berbeda.

Menurut penuturan Bapak Tukijo, Karangtegalasem merupakan area yang dikelilingi pohon jati dan diyakini memiliki hubungan erat dengan daerah Tegalsari. Konon, pada masa lalu seorang santri dari Tegalsari berniat mendirikan masjid di wilayah Karangtegalasem sebagai upaya memperluas syiar Islam dan menyediakan tempat ibadah yang lebih dekat bagi masyarakat sekitar. Namun, rencana pembangunan itu kemudian dihentikan karena dinilai jaraknya terlalu dekat dengan masjid di Tegalsari, sehingga dianggap tidak perlu ada dua masjid yang berdekatan.

Foto Bersama Pak Tukijo, Mantan Kepala Desa Tranjang

Masyarakat juga mempercayai bahwa Karangtegalasem memiliki nuansa mistis yang kuat. Beberapa warga mengaku pernah melihat penampakan sosok berjubah misterius di lokasi tersebut. Kejadian orang kesurupan pun disebut kerap terjadi di sekitar makam yang dianggap masih dijaga oleh roh leluhur atau kekuatan gaib. Walaupun menyimpan cerita dan sejarah yang panjang, tempat ini kini tampak sepi dan kurang terawat karena belum ada upaya pelestarian maupun pengenalan yang memadai kepada masyarakat luas.

Versi lain tentang Karangtegalasem disampaikan oleh Bapak Koco, juru kunci petilasan Mbah Waung. Beliau menjelaskan bahwa Karangtegalasem merupakan lokasi persinggahan pertama seorang pejuang atau prajurit bernama Heru Cokro ketika datang dari arah barat dalam kondisi luka parah di sekujur tubuhnya. Ia beristirahat cukup lama di Tegalasem sebelum kembali melanjutkan perjalanan menyusuri aliran sungai. Namun setelah beberapa hari menjelajah hingga batas hutan, ia tidak menemukan tempat yang lebih nyaman daripada Tegalasem. Heru Cokro akhirnya memutuskan untuk kembali dan menetap di sana. Heru Cokro diyakini mendirikan cikal bakal peradaban yang terletak di seberang wilayah kekuasaan Kerajaan Ronosentanan.

Bekas Batu Lumpang di Desa Tranjang

Nilai historis Karangtegalasem semakin diperkuat oleh keberadaan batu-batu lumpang peninggalan masyarakat Mataram kuno yang masih ditemukan di lokasi tersebut. Beberapa di antaranya masih utuh, sementara sebagian lainnya hanya tersisa separuh. Batu lumpang itu dulunya digunakan untuk menumbuk hasil panen seperti padi dan jagung. Bagi masyarakat setempat, batu tersebut memiliki nilai sakral sehingga tidak pernah dipindahkan. Mereka percaya bahwa upaya memindahkannya dapat mendatangkan kejadian mistis, seperti anggota keluarga sakit atau mengalami kesurupan selama berhari-hari. Kepercayaan tersebut menjadikan batu lumpang sebagai simbol sakral yang tetap terjaga sampai sekarang, meskipun belum ada upaya konservasi khusus sebagai bentuk penghormatan terhadap sejarah dan nilai spiritual yang diwariskan dari generasi ke generasi di Desa Tranjang.

Legenda Mbah Waung dan Batu Temu-Mirah

Di tengah hutan Desa Tranjang berdiri sebuah pohon besar yang dikenal dengan nama Mbah Waung. Pohon ini diperkirakan sudah ada sejak tahun 1930-an. Dugaan tersebut diperkuat oleh penemuan uang lama di bawah akar pohon oleh juru kunci setempat, Mbah Koco. Mbah Koco merupakan orang yang selama ini merawat area tersebut. Bagi masyarakat setempat, Mbah Waung bukan sekadar pohon tua, melainkan saksi bisu perjalanan sejarah panjang bangsa Indonesia, termasuk masa perjuangan melawan penjajahan.

Pada era kolonial Belanda, kawasan sekitar pohon ini dipercaya sebagai tempat yang aman dan nyaman untuk melakukan ritual atau kegiatan spiritual. Masyarakat setempat menjadikannya lokasi bertapa, menyepi, dan memanjatkan doa. Nilai historis dan spiritual yang melekat pada Mbah Waung membuatnya semakin dihormati.

Namun meskipun demikian, hingga kini, kawasan tersebut tidak banyak dikunjungi masyarakat umum. Warga setempat menganggap lokasi itu angker dan sakral, sehingga banyak yang merasa takut mendekat karena meyakini keberadaan makhluk halus atau energi gaib di sekitarnya. Pandangan tersebut membuat informasi tentang sejarah Mbah Waung masih minim, dan potensi penelusuran nilainya belum tergali secara mendalam.

Pohon Mbah Waung

Di bawah pohon tua tersebut terdapat dua buah batu yang dianggap penting dalam konteks spiritual masyarakat sekitar. Batu pertama dikenal dengan nama Batu Mbah Temu atau Batu Mbah Temi, sedangkan batu kedua disebut Batu Mbah Mirah. Kedua batu ini dipercaya sebagai tempat bertapa atau bersemayamnya tokoh-tokoh leluhur atau orang-orang sakti pada masa lampau. Hingga kini, batu-batu tersebut masih sering dijadikan tempat ziarah dan dihormati dalam berbagai upacara adat atau ritual kejawen.

Batu Temu/Temi dan Mirah

Tidak jauh dari lokasi pohon dan batu-batu tersebut, terdapat sebuah bangunan yang dikenal dengan nama Padepokan Centong Tengah. Padepokan ini dulunya merupakan tempat beribadah dan melakukan laku spiritual bagi para penganut ajaran kejawen. Padepokan ini menjadi pusat kegiatan keagamaan tradisional dan digunakan oleh orang-orang yang menempuh jalan spiritual non-formal di luar agama-agama resmi. Keberadaan padepokan ini menambah kekayaan sejarah dan budaya spiritual yang menyelimuti kawasan tersebut, serta menjadikannya sebagai salah satu titik penting dalam jejak spiritual masyarakat lokal.

Bekas Padepokan Centong Tengah

Namun, masyarakat sekitar belum sepenuhnya sadar akan pentingnya menjaga dan melestarikan hal-hal yang berkaitan dengan budaya masa lalu. Kurangnya kesadaran ini membuat banyak situs atau peninggalan bersejarah dibiarkan tanpa perawatan atau bahkan terlupakan. Padahal, warisan budaya seperti pohon tua, batu keramat, dan padepokan memiliki nilai penting yang bisa menjadi sumber pembelajaran, identitas, dan kebanggaan lokal jika dirawat dan dilestarikan dengan baik.

Editor: R. Agnibayaa

Baca Seri Folklor Ponorogo:





Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال