MANIFESTO PINTU


 
“Di dunia ini, ada yang lahir dari rasa cemas. Ada yang lahir dari perasaan takjub. Ada yang lahir dari situasi bahagia. Ada yang lahir dari kondisi tertindas. Ada yang lahir dari ungkapan protes. Dan masih banyak lagi yang lahir dari berbagai situasi, rasa dan kondisi. Komunitas Pintu memunguti repihan dari semua yang lahir dari situasi, kondisi dan perasaan-perasaan tersebut, untuk kemudian ditampilkan dalam etalase ide dan gagasan.”

I

Insan akademis memiliki elan vital yang cukup strategis dalam membangun peradaban manusia. Jika pendidik, maka ia berkewajiban mengantarkan peserta didik menjadi merdeka, sekaligus mampu mengaktualkan potensi demi mewujudkan kesiapan terhadap dinamika hidup yang terus berkembang. Meminjam istilah Pramoedya Ananta Toer, "manusia yang bisa adil sejak dalam pikiran", etos akademisi seharusnya tidak hanya menjadi instrumen untuk mentransfer pengetahuan saja, melainkan membentuk karakter yang obyektif dalam memandang realitas.

Sebagaimana kritisisme Paulo Freire, bahwa pendidikan seharusnya tidak melulu soal memberi pengetahuan sebanyak-banyaknya kepada peserta didik bagaikan "celengan" informasi. Pendidikan juga harus berfungsi memerdekakan; membuka kesadaran akan segala potensi yang dimiliki. Namun, apa masalah cukup berhenti pada sisi ini saja. Ternyata fenomena medioker akibat dominasi etos manajer-Instrumentalis yang sering menjangkiti akademisi, menjadikan etos idealisme sebagaimana tersebut di awal menjadi terkikis. Padahal, pengembangan diri dengan etos idealisme adalah modal utama untuk memaksimalkan peran hakiki akademisi tersebut.

Berbicara mengenai etos, tentu lebih dari sekedar hasil transformasi mitos ke logos saja, atau efek dari budaya rasionalisme. Zaman Yunani kuno, yang menghadirkan Aristoteles-Plato, menandai perubahan pola pikir manusia: dari yang semula mitologis menjadi logis; dari yang takhayul menjadi rasional. Namun, peran etos memang jarang menjadi perhatian. Padahal, ketika horizon logos-rasional sudah terbentuk, maka etos menjadi bagian yang tidak kalah pentingnya. Melalui perpaduan rasionalitas-etos, akademisi menjadi subjek yang wajib dijaga marwahnya agar tidak terjerambab ke dalam lingkaran mediokritas intelektual.

Faktanya, akademisi Indonesia yang hidup di lingkungan universitas, meskipun tugas utamanya mendidik, mengabdi dan meneliti, kurang memiliki daya refleksi. Jamak ditemukan bahwa, meminjam istilah Gramsci, etos intelektual organik para akademisi cenderung terkikis. Akademisi menjadi berjarak dengan realitas, untuk tidak mengatakan sudah nyaman di menara gading masing-masing. Akibatnya, alih-alih etos Intelektual Organik yang muncul, justru sebaliknya yang ada yaitu manajerialisme ataupun rasio Instrumentalis (Rasionalitas berdasarkan maksud-tujuan). Rasio instrumentalis menjadikan seorang akademisi selalu bertindak berdasarkan perhitungan untung-rugi. Untuk apa menulis jika tidak menghasilkan 'kum', misalnya, adalah pernyataan berdasarkan rasionalitas instrumental.

Cara paling bijak adalah mencoba mengidentifikasi masalah ini dengan pikiran yang jernih. Jika memang lemahnya iklim akademik menjadi penyebabnya, maka akademisi harus menaruh kepekaan atau nalar kritis terhadapnya. Akademisi harus berpikir keras menemukan formula bagaimana cara mengembalikan ruh Tri Dharma PT agar terbentuk akademisi yang ideal. Akademisi yang tidak terjebak pada pola rasio instrumental dan rasionalitas formal alias birokrasi. Kedua etos tersebut menjadikan akademisi kehilangan ruh, serta enggan membuka pintu-pintu pengembangan diri. Hal terakhir ini bisa jadi karena potensi jebakan yang terkandung di dalamnya seperti beban kerja yang berlebihan, sehingga produktivitas dan elan vital akademisi menurun perlahan dan hilang.

II

Salah satu implementasi dari praktik kritik terhadap etos manajerialisme, rasionalitas formal, dan rasionalitas Instrumental yang menjangkit di kalangan ‘inteletual belakang meja’ adalah dengan ‘mengakrabi dialektika’. Prinsip dialektika yang mengejawantah dalam laku dialog, diskusi, rerasan ilmiah, dan apa pun istilahnya sudah sewajarnya menjadi kebiasaan orang-orang yang mengaku sebagai akademisi dan intelektual tersebut. Bukankah dialektika menjadikan sebuah pemikiran, teori, ide, atau argumentasi menjadi lebih kokoh.

Ketika habitus (meminjam istilah Pierre Bourdieu) berdialektika telah melekat dalam setiap gerak dan helaan nafas, maka menulis merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat dihindari. Ide dan gagasan yang telah mengkristal di dalam benak diungkapkan dengan jernih untuk dapat dikunyah juga oleh masyarakat luas. Maka dalam rangka itulah Pintu hadir untuk menjadi ruang bagi ide dan gagasan besar dari setiap penulisnya.

Dalam konteks filsafat eksistensialisme, Komunitas Pintu dapat menjadi sarana untuk bereksistensi bagi para penulisnya. Setidaknya, melalui tulisan, mereka dapat mengabarkan keber’ada’annya. Mereka ‘mengada’, tidak sekedar ‘ada’. Mengonstruksikan sendiri makna diri, dan bukan makna diri yang taken for granted.

Mereka bisa tampil sendiri, dan tidak perlu ditampilkan. Tidak seperti pandangan Karl Marx terhadap kaum proletar yang disitir Edwar Said dalam bukunya yang fenomenal Orientalisme: “Mereka tak bisa tampil sendiri, mereka perlu ditampilkan.” Para penulis Pintu mendefinisikan dirinya sendiri, dan tak perlu didefinisikan. Tidak seperti yang ditulis oleh Said ketika menggambarkan bagaimana dunia ‘Timur’ selalu didefinisikan oleh peradaban ‘Barat’ yang memiliki legitimasi absolut untuk mendefinisikan realitas dan segala yang terjadi. Timur dalam tulisan Edward Said adalah dunia yang lemah, bahkan untuk menampilkan dirinya sendiri. Timur adalah bisu, tanpa suara, bahkan untuk sekadar mengerang kesakitan karena penindasan Barat.

Penulis-penulis di komunitas Pintu mencoba menghindar dari jerat intelektualisme medioker yang asyik dengan rutinitas yang banal. Mediokerisme yang menjadikan intelektual menjadi enggan untuk melakukan refleksi dan megaktifkan daya evaluatif atas realitas yang tersaji di hadapannya. Maka, menulis reflektif dan evaluatif merupakan satu cara untuk lepas dari jerat tersebut. Meskipun, terkadang kondisi enggan tersebut akan kembali menyergap dalam situasi tertentu.

Tulisan-tulisan Komunitas Pintu dapat dilihat sebagai usaha dari penulisnya untuk menciptakan distingsi antara ‘diri’ dan berjubel buku yang telah dibaca. Seorang pakar psikologi sosial asal Perancis, Jaques Lacan, mengemukakan bahwa setiap manusia ketika usia dini pernah berada pada fase cermin (mirror stage). Pada fase ini, individu melakukan self-identification setelah beberapa waktu mengalami misrecognition karena menganggap dirinya merupakan bagian tak terpisahkan dari sang ibu. Misrecognition tersebut berakhir ketika sang anak menatap cermin dan melihat bahwa dirinya merupakan individu tunggal yang otentik. Begitu juga penulis-penulis Pintu. Dengan menulis, pada satu titik mereka menyadari bahwa mereka memiliki otentisitas yang membedakan mereka dengan tokoh, ide, dan gagasan dari berjubel buku yang telah mereka baca.

Pada akhirnya, berefleksi, berkontemplasi, dan diakhiri dengan menulis merupakan sebuah ikhtiar untuk lepas dari banalitas keseharian, sekaligus menolak mediokerisme di tengah kultur akademis. Atau, boleh kita anggap bahwa tulisan-tulisan yang lahir di tengah-tengah kita ini merupakan suara-suara yang tak mau dibungkam, meski sekadar gumaman yang lirih.


Ponorogo, Oktober 2022





Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak