Makna Filosofis Idul Fitri Sebagai Aksioma Agama

 


Oleh: Khaidarullah
Dosen Filsafat Hukum Islam Fakultas Syariah IAIN Ponorogo


“Dalam tradisi Islam, Idul Fitri bukan sekadar hari raya, tetapi ibarat sebuah aksioma—sebuah keniscayaan iman. Ia menjadi titik kulminasi perjalanan spiritual selama Ramadan, di mana puasa bukan hanya menahan lapar, tetapi juga perjalanan penyucian jiwa.”


Setiap kali Idul Fitri tiba, umat Islam di seluruh dunia merayakan hari kemenangan dengan suka cita. Pakaian baru dikenakan, rumah-rumah dihias, dan hidangan khas tersaji di meja-meja. Namun, apakah Idul Fitri semata-mata hanya soal kebahagiaan duniawi setelah berpuasa? Atau ada makna yang lebih dalam, ibarat sesuatu yang mengakar dalam tradisi filsafat/pemikiran khas Islam?

Dalam filsafat, ada konsep “aksioma”—sebuah kebenaran yang diterima tanpa perlu pembuktian. Kata “aksioma” berasal dari bahasa Yunani ἀξίωμα (axiōma), yang berarti “sesuatu yang dianggap layak atau bernilai.” Kata ini sendiri berasal dari akar kata ἄξιος (axios), yang berarti “layak,” “berharga,” atau “pantas.” Ibarat cahaya matahari dalam kehidupan manusia, kita tidak perlu membuktikan keberadaannya karena kita mengalaminya setiap hari. Ia menjadi dasar bagi kehidupan di bumi—tanaman tumbuh, siklus air berjalan, dan manusia mendapatkan energi darinya. Aksioma itu juga seperti hukum gravitasi dalam kehidupan sehari-hari: kita tidak melihatnya secara langsung, tetapi kita merasakan dan mengandalkannya dalam setiap langkah yang kita ambil.

Contoh lain dari aksioma dalam kehidupan adalah “kebaikan lebih utama dari kejahatan” dalam etika, atau “manusia mencari kebahagiaan (eudaimonia)” dalam filsafat Aristotelian. Maka, Idul Fitri, dengan konsep kembali ke fitrah, dapat disejajarkan dengan aksioma bahwa “jiwa manusia memiliki potensi untuk mencapai kesempurnaan.” Begitu pula dalam konteks spiritual Islam, Idul Fitri berfungsi sebagai aksioma kehidupan: ia adalah titik kepastian yang mengafirmasi makna kembali kepada hakikat diri dan ketuhanan. Idul Fitri juga dapat dilihat sebagai aksioma keimanan, di mana ia tidak sekadar perayaan tahunan, tetapi sebuah momentum yang menyentuh inti eksistensi manusia: penyucian diri, pencarian kebijaksanaan, dan pemenuhan hakikat sebagai makhluk spiritual.


Kembali Fitri

Kata “fitri” berasal dari akar kata Arab “al-fitr,” yang berarti “kesucian” atau “asal mula.” Dalam perspektif ontologis, Idul Fitri adalah “kembali ke fitrah,” yakni kondisi manusia yang suci sebelum dicemari oleh dosa dan keburukan dunia. Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menyebut bahwa jiwa manusia ibarat cermin yang bisa menjadi buram karena debu dan kotoran dosa. Puasa Ramadan adalah proses menggosok cermin itu, dan Idul Fitri adalah momen ketika refleksi diri menjadi lebih jernih—memungkinkan manusia melihat realitas ilahi dengan lebih jelas. Di sisi lain, Ibnu Sina (Avicenna) juga melihat kebahagiaan tertinggi manusia bukan hanya pada kebebasan dari belenggu jasmani, tetapi juga pada pencapaian akal yang sempurna. Ia menegaskan bahwa kebahagiaan sejati tidak hanya ada di dunia ini tetapi juga dalam kehidupan setelah mati. Idul Fitri, dalam perspektif ini, adalah sebuah simbolisasi bahwa setelah perjuangan (puasa), terdapat kebahagiaan yang hakiki.

Pemikiran ini sejalan dengan konsep “The One” dalam Neo-Platonisme yang dikembangkan oleh Plotinus (204-270 M). Menurutnya, segala sesuatu berasal dari “Yang Satu (The One),” dan jiwa manusia yang telah menyimpang dari kesempurnaan hanya bisa kembali ke sumbernya melalui “proses pembersihan dan kontemplasi.” Ramadan adalah fase “pembersihan,” sementara Idul Fitri adalah momentum “penyatuan kembali” dengan esensi spiritual manusia (homo religiosus)—makhluk yang secara kodrati mencari makna transendental dalam kehidupannya.


Kesejatian Diri

Dalam tradisi filsafat Islam, pencarian kebenaran bukan hanya melalui akal rasional, tetapi juga pengalaman spiritual. Ramadan bisa dimaknai sebagai perjalanan epistemologis, di mana manusia tidak hanya mengetahui (ilm) tetapi juga mengalami (irfan). Dalam pandangan Ibn Sina, filosof Muslim abad tengah, “hikmah tertinggi bukanlah yang didapat dari logika semata, melainkan yang diperoleh dari latihan rohani dan penyucian diri,”. Jika menggunakan perspektif tersebut, Idul Fitri bisa dimaknai sebagai titik klimaks dari perjalanan ini. Ia bukan sekadar hari berbuka dari puasa fisik, tetapi juga hari berbuka dari “kebodohan spiritual.” Kita mulai memahami bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada materi, tetapi pada keterhubungan dengan sesuatu yang lebih tinggi—entah itu disebut sebagai “Tuhan (dalam Islam), The One (dalam Neo-Platonisme), atau Kesadaran Murni (dalam tradisi mistik lainnya).” Sebagaimana dikatakan oleh Jalaludin Rumi: “Jangan mencari kebahagiaan di luar dirimu; kebahagiaan adalah penghapusan tirai antara dirimu dan Tuhan.” Maka, Idul Fitri adalah saat di mana “tirai” itu disingkapkan, dan kita kembali menemukan kesejatian diri.


Dimensi Sosial

Selain aspek spiritual, Idul Fitri juga memiliki dimensi sosial yang sangat kuat. Dalam Islam, zakat fitrah diwajibkan sebelum seseorang merayakan Idul Fitri, sebagai simbol bahwa kebahagiaan sejati harus bersifat kolektif. Konsep ini memiliki kemiripan dengan gagasan “keadilan dalam hierarki eksistensial Neo-Platonisme,” di mana kesempurnaan tidak dapat dicapai secara individual, melainkan melalui keseimbangan dalam tatanan kosmik. Dalam dunia Islam Abad Pertengahan, para filsuf seperti Al-Farabi dan Ibn Khaldun melihat keteraturan sosial sebagai refleksi dari keteraturan metafisik. Zakat dan solidaritas sosial bukan sekadar kewajiban, tetapi cara untuk menjaga keseimbangan antara jiwa individu dan jiwa komunitas. Dalam konteks modern, makna keseimbangan ini tetap relevan. Kapitalisme sering kali mengajarkan bahwa kebahagiaan adalah soal “kepemilikan” tiada batas, tetapi Islam menegaskan bahwa kebahagiaan adalah soal “berbagi.” Dalam dunia yang semakin individualistis, Idul Fitri mengingatkan kita bahwa kebahagiaan sejati adalah ketika semua orang merasakannya.


Penutup

Jika Idul Fitri dipahami sebagai aksioma spiritual, maka ia adalah prinsip yang tidak perlu dipertanyakan lagi dalam kehidupan Muslim. Sama seperti aksioma dalam logika dan matematika yang menjadi dasar dari berbagai perhitungan, rentetan panjang pra-pasca Idul Fitri adalah titik awal dan akhir dari perjalanan spiritual tahunan seorang Muslim. Dari perspektif Neo-Platonisme, Idul Fitri menjadi simbol penyatuan kembali jiwa manusia dengan hakikat ilahiah. Dari sudut pandang filsafat Islam, ia adalah momen kesadaran spiritual tertinggi di mana manusia perlu dan butuh kembali kepada kesucian diri.

Dalam realitas kehidupan modern yang penuh hiruk-pikuk absurdisme-kapitalisme ini, Idul Fitri mengingatkan bahwa kebahagiaan sejati bukanlah akumulasi materi, tetapi kesadaran ruhani yang membebaskan. Ia adalah aksioma kehidupan Muslim, titik temu antara wahyu dan akal, antara dunia dan akhirat, serta antara eksistensi dan esensi.

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1446 H

Editor: Rangga Agnibaya

Referensi:

1. Haidar Bagir, Mengenal Filsafat Islam, Bandung: Mizan Millenial Creativa, 2020
2. “Corak Epistemologi Mistis Neoplatonisme Dalam Mistisisme Islam”. Jurnal Intizar 24, no. 2 (December 30, 2018): 235–252. Accessed March 26, 2025. https://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/intizar/article/view/3101.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak