Oleh: Ramadhani Try Novianti, Restiana Saputri,
Shafri Iqbal Hussaini, Tara Merischa Ariyadi
Mahasiswa UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo
Profil Desa Manuk
Dari data yang diperoleh dari kantor desa, secara geografis topografi Desa Manuk ini adalah berupa dataran rendah dengan ketinggian 103-105 meter di atas permukaan air laut. Secara administratif Desa Manuk termasuk dalam wilayah Kecamatan Siman Kabupaten Ponorogo yang memiliki batas-batas sebagai berikut: sebelah utara: Desa Patihan Kidul; sebelah timur: Desa Pijeran; sebelah selatan :Desa Sawuh; dan sebelah barat :Desa Siman.
Desa Manuk memiliki luas wilayah 57,000 Ha yang secara administratif terbagi dalam 2 dusun, 4 RW, dan 11 RT. Dilihat dari pemanfaatan lahan, sebagaian besar berupa tanah kering yaitu untuk pemukiman seluas 40,996 Ha, tegalan 0,400 Ha (0,25%), sawah 88,628 Ha (56%), sedang sisanya 0,127 Ha terdiri dari perkebunan, tegalan, lahan usaha perikanan dan lain-lain.
Toponimi Desa Manuk
Menurut cerita yang disampaikan oleh Modin Desa Manuk, Bapak Andreas, ada kisah ajaib yang melatari keberadaan Desa Manuk. Awal mulanya, wilayah yang kini dikenal sebagai Desa Manuk merupakan hutan belantara yang lebat dan penuh dengan semak belukar. Hutan tersebut belum pernah disentuh oleh peradaban manusia, dan hanya dihuni oleh binatang liar dan berbagai tumbuhan yang tumbuh dengan suburnya. Di masa itu, hiduplah seorang tokoh sakti bernama Eyang Cho Dongso, atau lebih dikenal dengan nama Eyang Cho Manuk. Beliau merupakan sesepuh yang datang dari daerah lain untuk melakukan perjalanan panjang mencari tempat yang cocok untuk menetap.
Suatu hari, dalam perjalanannya yang panjang, Eyang Cho Dongso tiba di sebuah wilayah yang sangat sunyi dan terpencil. Saat beristirahat di bawah naungan pohon besar, segerombolan burung datang dan hinggap di atasnya. Keajaiban ini tidak hanya dialami oleh Eyang Cho Dongso, tetapi juga oleh siapapun yang melewati daerah tersebut. Setiap kali seseorang memasuki hutan itu, burung-burung akan datang dan hinggap di atas mereka, seolah-olah menyambut kedatangan tamu penting. Fenomena tersebut membuat Eyang Cho Dongso merasa bahwa tempat tersebut memiliki keistimewaan tersendiri. Beliau merasakan kedamaian yang luar biasa di sana, dan burung-burung yang hinggap di atasnya seakan menjadi tanda bahwa tempat itu diberkahi. Akhirnya, Eyang Cho Dongso memutuskan untuk menetap di wilayah tersebut dan mulai membuka hutan belantara itu untuk dijadikan pemukiman.
Seiring berjalannya waktu, Eyang Cho Dongso mulai mengajak orang-orang yang ditemuinya dalam perjalanan untuk bergabung dan menetap di tempat yang baru dibukanya itu. Sedikit demi sedikit, pemukiman itu mulai berkembang. Warga yang datang juga mengalami fenomena yang sama dengan Eyang Cho Dongso, yakni burung-burung selalu datang dan hinggap di atas mereka saat mereka memasuki wilayah itu. Karena keunikan ini, warga memutuskan untuk menamakan desa mereka "Desa Manuk". Kata manuk dalam bahasa setempat berarti "burung." Nama ini diambil sebagai penghormatan kepada burung-burung yang seolah-olah menjadi penjaga dan pemberi berkah bagi desa mereka.
Makam Eyang Cho Dhongso/Manuk dan istri
Folklor Desa Manuk
Sebagaimana desa-desa lainnya, Desa Manuk juga memiliki beberapa folklor yang diturunkan secara turun temurun. Folklor tersebut menjadi identitas dan perekat bagi masyarakat Desa Manuk. Beberapa folklor tersebut berupa cerita tentang sungai Desa manuk, bangunan masjid dan sumur tua, serta tradisi yang masih dijalankan hingga saat ini.
Legenda Sungai Desa Manuk
Masih menurut cerita yang disampaikan oleh Modin Desa Manuk, Bapak Andreas, ada kisah ajaib yang terjadi terkait sungai yang ada di wilayah desa Manuk.
Setelah Eyang Cho Dongso memutuskan untuk menetap di tempat yang dirasa sangat cocok, beliau menancapkan tongkat yang selalu dibawanya tersebut ke tanah dan menggoreskannya, sehingga menciptakan sebuah garis panjang. Ajaibnya, dari garis yang dibuat oleh tongkat Eyang Cho Dongso, muncul sebuah aliran air yang membentuk sungai. Sungai yang terbentuk dari garis tongkat Eyang Cho Dongso ini mengalir dengan jernih dan tenang melalui area persawahan Desa Manuk. Sungai ini menjadi sumber kehidupan bagi warga desa, serta menjadi sarana utama untuk mengairi sawah mereka. Yang menakjubkan, sungai ini tidak pernah mengalami surut, bahkan pada saat musim kemarau panjang sekalipun.
Bapak Andreas sering menuturkan cerita ini kepada anak-anak dan cucu-cucunya, serta kepada setiap pendatang yang ingin mengetahui sejarah desa mereka. Keajaiban sungai ini selalu menjadi kebanggaan warga Desa Manuk, karena mereka merasa sangat diberkahi dengan keberadaan air yang tak pernah kering tersebut.
Setiap musim kemarau tiba, atau biasa disebut warga setempat sebagai musim lerak, warga desa mengadakan sebuah festival atau kegiatan masyarakat sebagai bentuk rasa syukur atas keberkahan air dari sungai tersebut. Acara ini dipimpin oleh Bapak Imam Subaweh, seorang warga yang memiliki empang atau tempat pemancingan yang cukup luas. Bapak Imam Subaweh mengajak seluruh warga desa untuk mancing bersama. Pada pagi hari, warga desa berkumpul di pinggir sungai dengan membawa alat pancing masing-masing. Mereka datang bersama keluarga, serta membawa makanan dan minuman untuk dinikmati bersama. Suasana penuh kegembiraan dan keakraban tercipta, di mana anak-anak berlarian, dan orang dewasa saling berbincang dan tertawa. Kegiatan pemancingan ini bukan hanya sekadar perlombaan, tetapi juga menjadi ajang mempererat tali silaturahmi antar warga desa.
Pemancingan dimulai dengan doa bersama untuk memohon berkah dan keselamatan bagi seluruh warga desa. Setelah itu, warga mulai memancing dengan penuh semangat. Tawa dan canda riuh rendah menghiasi acara sehingga menciptakan kenangan indah yang akan dikenang sepanjang masa. Bapak Imam Subaweh, dengan kebijaksanaannya, selalu mengingatkan warga untuk menjaga sungai dengan baik. Beliau menekankan pentingnya merawat lingkungan agar sungai yang telah menjadi sumber kehidupan mereka tetap bersih. Bagi warga Desa Manuk, sungai ini bukan hanya sekadar aliran air, tetapi juga simbol dari keberkahan dan perlindungan Eyang Cho Dongso. Sore harinya, hasil pancingan dibagikan kepada semua warga. Mereka mengolah ikan hasil tangkapan menjadi berbagai hidangan lezat yang dinikmati bersama. Acara diakhiri dengan tahlilan dan doa bersama untuk arwah Eyang Cho Dongso dan leluhur desa yang telah memberikan berkah tak ternilai bagi mereka.
Dengan demikian, sungai yang terbentuk dari garis hasil goresan tongkat Eyang Cho Dongso tetap menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan warga Desa Manuk. Fungsinya sebagai sumber pengairan dan pusat kegiatan sosial masih terus berlanjut, mengalirkan air kehidupan ke persawahan warga dan menjaga agar Desa Manuk tetap subur dan makmur. Tradisi dan legenda yang melekat pada sungai ini menjadi pengingat akan pentingnya menghargai dan menjaga warisan leluhur, serta selalu bersyukur atas berkah yang diterima.
Legenda Masjid Betri
Di Desa Manuk, tepatnya di wilayah yang dikenal sebagai Betri, berdiri sebuah masjid yang penuh dengan sejarah dan kenangan. Masjid ini adalah peninggalan dari Mbah Yai Imam Mustain, seorang sesepuh dan tokoh agama yang dihormati oleh seluruh warga desa. Mbah Yai Imam Mustain, seperti Eyang Cho Manuk, dikenal sebagai sosok yang gigih menyebarkan ajaran Islam di Desa Manuk dan sekitarnya. Berdirinya Masjid Betri menjadi saksi bisu perjuangan Mbah Yai Imam Mustain dalam menyebarkan nilai-nilai agama dan membimbing masyarakat menuju jalan yang benar. Meskipun Mbah Yai Imam Mustain telah wafat, masjid yang beliau bangun tetap berdiri kokoh hingga kini dan masih digunakan sebagai tempat beribadah oleh warga sekitar.
Setelah wafatnya Mbah Yai Imam Mustain, tanggung jawab untuk merawat dan mengelola masjid tersebut jatuh kepada putranya, Mbah Yai Muhsin. Beliau dengan penuh dedikasi menjaga agar masjid tetap menjadi pusat kegiatan keagamaan dan pendidikan bagi masyarakat Betri dan Desa Manuk. Mbah Yai Muhsin juga mendirikan sebuah asrama kecil di dekat masjid, tempat para santri bisa belajar mengaji dan mendalami ajaran Islam. Anak-anak di Desa Manuk pun ikut mengaji di Masjid Betri, termasuk Bapak Andreas yang kini menjadi modin di desa tersebut. Bapak Andreas selalu mengenang masa-masa ketika ia belajar mengaji di bawah bimbingan Mbah Yai Muhsin. Nilai-nilai agama dan kebijaksanaan yang diajarkan oleh Mbah Yai Muhsin menjadi fondasi kuat bagi Bapak Andreas dalam menjalani perannya sebagai modin di Desa Manuk. Saat ini pengelolaan dan perawatan Masjid Betri berada di tangan Pak Suwandi, cucu dari Mbah Yai Imam Mustain.
Dengan demikian, warisan Mbah Yai Imam Mustain terus hidup dalam kehidupan sehari-hari warga Desa Manuk. Masjid Betri bukan hanya sebuah bangunan, tetapi simbol dari nilai-nilai kebersamaan, keimanan, dan perjuangan yang diwariskan oleh para leluhur mereka. Melalui cerita ini, kita bisa melihat betapa pentingnya menjaga dan merawat warisan budaya dan spiritual agar tetap hidup dan memberikan manfaat bagi generasi yang akan datang. Di area masjid tersebut, terdapat sebuah kawasan pemakaman keluarga Mbah Yai Imam Mustain. Di pemakaman ini, terbaring Mbah Yai Imam Mustain beserta istrinya, dan juga anggota keluarga serta saudara-saudara beliau. Pemakaman ini menjadi tempat peristirahatan terakhir bagi keluarga yang telah banyak berjasa bagi Desa Manuk.
Saat mencoba menggali lebih dalam sejarah dan asal usul dari masjid serta makam tersebut, kami mendapati sebuah sumur kecil peninggalan Mbah Yai Imam Mustain yang berada di dalam kawasan makam. Sumur tersebut meskipun sudah tidak digunakan lagi, tampak menyimpan banyak cerita yang belum terungkap. Namun, saat kami mencoba mencari tahu lebih lanjut tentang sejarah sumur itu, kami menemui kendala. Bapak Suwandi, yang mengelola masjid dan kawasan makam, tidak bisa memberikan penjelasan rinci mengenai asal usul sumur tersebut.
Bapak Andreas, modin desa yang menjadi narasumber kami, menjelaskan bahwa tidak semua orang bisa bertemu dengan keluarga Mbah Yai Imam Mustain dan masuk ke kawasan makam tersebut. Hal ini lebih karena ada rasa hormat dan tradisi yang harus dijaga. Makam tersebut dianggap sebagai tempat yang sakral dan hanya orang-orang tertentu yang diizinkan untuk masuk dan merawatnya. Lebih lanjut Bapak Andreas menuturkan, meskipun Bapak Suwandi dan keluarganya sangat terbuka dan ramah, namun ada batasan-batasan tertentu yang harus dihormati, terutama ketika menyangkut tempat-tempat yang dianggap sakral. Oleh karena itu, Bapak Suwandi tidak bisa memberikan wawancara lebih dalam mengenai sejarah dan asal usul dari masjid dan sumur tersebut.
Kisah ini mengingatkan kita bahwa di balik setiap tempat bersejarah, terdapat tradisi dan nilai-nilai yang harus dihormati. Meskipun kami tidak mendapatkan semua jawaban yang kami cari, kami tetap merasa beruntung bisa mengunjungi tempat yang penuh dengan nilai spiritual dan sejarah tersebut. Kami menyadari bahwa terkadang, misteri dan keindahan sejarah terletak pada ketidaklengkapan ceritanya, yang membuat kita terus merasa "penasaran" dan menghargai warisan yang ada. Berdirinya Masjid Betri dan kawasan makam keluarga Mbah Yai Imam Mustain terus hidup dalam cerita dan kenangan warga Desa Manuk. Meskipun ada bagian dari sejarah yang mungkin tetap tersembunyi, semangat dan dedikasi Mbah Yai Imam Mustain serta keluarganya akan selalu menjadi inspirasi bagi generasi-generasi yang akan datang. Dengan menjaga dan merawat warisan ini, warga Desa Manuk terus menghidupkan nilai-nilai kebersamaan, penghormatan, dan spiritualitas yang telah diwariskan oleh para leluhur mereka.
Tradisi Penghormatan Terhadap Leluhur Desa
Untuk mengormati dan mengenang jasa pendiri desa, masyarakat Desa Manuk sering melakukan ritual kirim doa untuk Eyang Cho Dongso dan para leluhur lainya. Setiap bulan Selo, warga Desa Manuk melakukan tradisi bersih desa dengan mengunjungi makam Eyang Cho Dongso. Acara ini dikenal sebagai "Pengajian Slametan Makam" yang dilakukan di Makam Cho Manuk dan Makam Sasono Langgeng. Pada kegiatan tersebut, masyarakat setempat berkumpul untuk mendoakan leluhur mereka dan mengungkapkan rasa syukur atas berkah yang telah diberikan Tuhan Yang Maha Kuasa. Warga membawa berbagai jenis jajan dan makanan yang dikumpulkan menjadi satu. Menurut keterangan Ibu Endang selaku Carik Desa Manuk, kegiatan doa bersama tersebut menjadi salah satu simbol kebersamaan dan gotong-royong sesama warga Desa Manuk.
Acara dimulai dengan pembacaan tahlil, mendoakan arwah para leluhur yang telah meninggal dunia. Setelah itu, mereka membagikan ingkung yaitu ayam utuh yang dimasak khusus untuk acara slametan. Ingkung ini dibagikan kepada warga sebagai bentuk berkah dan simbol rasa syukur. Malam harinya, diadakan pengajian yang dihadiri oleh seluruh warga desa. Pengajian ini tidak hanya sebagai ajang untuk memperdalam ilmu agama, tetapi juga sebagai kesempatan untuk mempererat tali silaturahmi antarwarga. Kisah-kisah tentang Eyang Cho Dongso sering diceritakan kembali dalam pengajian ini, untuk mengingatkan warga akan perjuangan dan jasa-jasa beliau yang telah mendirikan dan melestarikan desa mereka. Eyang Cho Dongso juga sempat mendirikan masjid. Letak masjid tersebut berada di belakang pemukiman warga, yang saat ini digunakan sebagai blumbang.
Meskipun masjid yang dibangun oleh Eyang Cho Dongso telah rusak dan tidak berbekas karena tidak ada yang merawatnya, namun semangat dan dedikasi beliau tetap hidup dalam jiwa penduduk desa. Tradisi "Pengajian Slametan Makam" menjadi salah satu cara warga Desa Manuk untuk terus mengenang dan menghormati leluhur mereka, serta menjaga agar nilai-nilai kebersamaan dan gotong-royong tetap terjaga. Dengan demikian, warisan Eyang Cho Dongso tetap abadi dalam kehidupan masyarakat Desa Manuk. Warisan tersebut mengalir seperti sungai yang beliau ciptakan dengan tongkat saktinya. Sungai yang memberikan kehidupan dan kesuburan bagi tanah yang mereka cintai.
Editor: R. Agnibayaa
Baca Seri Folklor Ponorogo:
Seri 1: Harimau-harimau Desa Tajug & Pengantar Editor
Seri 1: Harimau-harimau Desa Tajug & Pengantar Editor
Tags
Folklor Ponorogo