Oleh Isnatin Ulfa
Dosen Fakultas Syariah
UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo
Modernitas tidak hanya membentuk struktur sosial, tetapi juga mengubah cara manusia memaknai alam, dari sesuatu yang sakral menjadi sekadar objek eksploitasi.
Bencana besar yang melanda Sumatera memang memunculkan pertanyaan yang menggigit: siapa yang patut disalahkan? Jangkauannya tidak berhenti pada lemahnya kebijakan negara atau pengelolaan lingkungan yang abai, melainkan merembet jauh ke akar terdalam cara kita berfikir. Di titik inilah modernitas, yang selama ini diagungkan sebagai puncak rasionalitas, justru menjadi sorotan. Modernitas tidak hanya membentuk struktur sosial, tetapi juga mengubah cara manusia memaknai alam, dari sesuatu yang sakral menjadi sekadar objek eksploitasi.
Dalam ingatan masa kecil, ada kebun di belakang rumah mbah saya di Surabaya, rimbun oleh pepohonan yang oleh orang tua kami dianggap wingit. “Ojo dolan ning kono, akeh genderuwo,” begitu peringatan yang kerap dilontarkan. Di tempat lain, legenda tentang sungai angker atau ular raksasa yang konon panjangnya melintas desa juga menjadi bagian dari imajinasi bersama masyarakat Jawa. Bagi generasi modern, semua itu mungkin terdengar sebagai tahayul. Sesuatu yang tidak layak dipikirkan lebih dalam. Tetapi jika ditelisik secara simbolik, kisah-kisah itu bukan sekadar cerita pengusir anak-anak nakal; ia adalah bentuk kebijaksanaan ekologis.
Larangan “ojo mrono” bukan sekadar perintah menjauh dari tempat tertentu, melainkan pengingat agar manusia tidak sewenang-wenang terhadap ruang-ruang alam yang memiliki fungsi ekologis penting. Genderuwo dan ular besar di dalam cerita bukan sosok supranatural yang menakutkan, melainkan simbol kemarahan alam ketika batas-batasnya dilanggar. Itu adalah cara masyarakat tradisional mengajarkan etika ekologis sebelum konsep-konsep modern seperti konservasi dan keberlanjutan muncul dalam wacana akademik.
Sayangnya, pola pikir modernitas telah meremehkan semua simbol itu sebagai klenik yang tidak rasional. Inilah paradoks besar modernitas: ia memuja logika, tetapi gagal memahami bahasa simbol. Padahal, simbol adalah cara kebudayaan menyampaikan nilai mendalam tentang hubungan manusia dengan alam. Ketika simbol-simbol itu ditertawakan, hilang pula mekanisme kultural yang selama ratusan tahun menjaga manusia tetap rendah hati di hadapan alam.
Jika rasionalitas modern ternyata tidak mampu membuat manusia lebih bijaksana, lalu apa yang sebenarnya dibanggakan dari modernitas? Teknologi? Tentu saja, teknologi membawa kemudahan, tetapi ia juga melahirkan ironi: alam direduksi menjadi sumber daya, diperas hingga habis, diperlakukan layaknya “pelacur” yang bisa digunakan tanpa batas. Dalam konteks inilah bencana Sumatera tidak bisa hanya dibaca sebagai kejadian alam, melainkan sebagai kegagalan etika modern. Bencana itu adalah cermin retak dari cara berpikir yang menempatkan manusia sebagai pusat segalanya tanpa kesadaran akan batas ekologis.
Mungkin sudah waktunya kita menengok kembali kearifan lama. Bukan untuk menghidupkan ketakutan, tetapi untuk memulihkan kembali rasa hormat pada alam. Sebab tanpa etika ekologis, modernitas hanyalah kemasan canggih yang rapuh; yang sewaktu-waktu dipatahkan oleh murka alam yang selama ini kita abaikan.
Editor: R. Agnibayaa
Tags
Humaniora
