Karesidenan Madiun: Antara Lawu dan Wilis



Oleh: Ibnu Hasyim
Mahasiswa Tadris Bahasa Indonesia
UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo


Madiun Raya pada masa Hindia-Belanda dikenal sebagai wilayah karesidenan Madiun. Wilayahnya meliputi Madiun (Caruban), Ponorogo, Magetan, Ngawi (Jogorogo), dan Pacitan. Dalam buku Antara Lawu dan Wilis, Christopher Reinhart menjelaskan bahwa sumber sejarah tertulis mengenai Madiun Raya pada periode awal Islam masih sangat terbatas. Oleh karena itu, Reinhart tidak hanya mengandalkan data sejarah tertulis, tetapi juga memanfaatkan tradisi lisan untuk menggambarkan keadaan wilayah ini. Buku Antara Lawu dan Wilis ini sendiri merupakan terjemahan dan penyusunan ulang dari lima artikel berbahasa Belanda karya Dr. Lucien Adam Residen Madiun pada tahun 1934–1938, yang kemudian dijadikan satu kesatuan utuh.

Madiun

Pada abad ke-16, wilayah Madiun masih berupa rawa-rawa, meskipun saat itu sudah memiliki hubungan dengan Kediri. Interaksi keduanya diperkirakan terjadi di kawasan lereng Gunung Wilis. Dalam buku Antara Lawu dan Wilis (halaman 98) dijelaskan bahwa pada tahun 1475–1554 Madiun masih berada di bawah kekuasaan Kerajaan Demak. Saat itu, Madiun masih berupa hutan lebat yang dikenal dengan nama Wonorejo (hutan makmur).

Lebih lanjut, disebutkan bahwa kemungkinan bupati pertama Madiun adalah Pangeran Timur, meski belum dapat dipastikan pada periode pemerintahan mana ia berkuasa (halaman 3). Sementara itu, diceritakan juga sebuah legenda mengenai pembukaan hutan (babad alas) Wonorejo yang dikaitkan dengan putra Sultan Trenggono dari Demak (halaman 4). Namun, pembahasan mengenai periode Islam di Madiun tidak diuraikan secara rinci dalam subbab tentang Madiun ini.

Caruban

Caruban merupakan salah satu wilayah yang termasuk dalam Kabupaten Madiun. Meski demikian, dalam buku ini Caruban dibahas secara terpisah karena terdapat sejumlah informasi menarik mengenai asal-usulnya. Sejarah nama Caruban tidak banyak diketahui. Masyarakat setempat hanya meyakini bahwa nama tersebut kemungkinan berasal dari kenyataan bahwa daerah ini dahulu menjadi tempat berkumpulnya para priyayi dari berbagai daerah untuk mengadakan adu ayam. Kata Caruban sendiri diduga berasal dari kata carub, yang berarti campuran atau percampuran.

Terkait hal ini, seorang ahli kehutanan, Theodor Altona, menyatakan bahwa sejak masa Hindu-Jawa wilayah ini dikenal sebagai tempat tinggal orang-orang campuran (halaman 106). Mereka terdiri dari tawanan perang, orang buangan politik, maupun keturunan hasil perkawinan antarkasta yang dianggap tidak pantas.

Sementara itu, diyakini bahwa penguasa pertama Caruban adalah Cokrokusumo I (Tumenggung Alap-alap). Ia merupakan seorang bawahan dari Sultan Demak (halaman 108). Setelah wafatnya Cokrokusumo I, kekuasaan dilanjutkan oleh putranya, Cokrokusumo II. Namun demikian, kebenaran informasi ini belum dapat dipastikan sepenuhnya.

Ponorogo

Salah satu tokoh penting dari Ponorogo adalah Batoro Katong. Dalam buku Antara Lawu dan Wilis dijelaskan bahwa Batoro Katong hidup pada masa peralihan, yakni ketika Majapahit runtuh (1293–sekitar 1510) dan Demak mulai bangkit (1475–1555), kurang lebih pada akhir abad ke-15 hingga awal abad ke-16 (halaman 113). Ia dikenal sebagai seorang pangeran Majapahit, putra dari Raja Brawijaya V.

Terdapat beberapa versi cerita mengenai alasan kedatangannya ke Ponorogo. Salah satu kisah menyebutkan bahwa kedatangannya berkaitan dengan seorang Demang yang tinggal di Desa Kutu (sekarang Desa Singosaren, Jetis). Demang ini merupakan penguasa Gelang, daerah bawahan Majapahit. Pada titik ini, kisah kemudian bercabang ke dalam dua versi. Versi pertama mengatakan bahwa Batoro Katong diperintahkan oleh kakak tirinya, Raden Patah—putra Brawijaya V dengan seorang putri Cina, yang kelak menjadi Sultan Demak (1475–1518)—untuk mengislamkan Demang Kutu. Sementara itu, versi kedua menyebutkan bahwa ia justru mendapat perintah langsung dari Raja Brawijaya V untuk menangkap Demang Kutu karena tidak memenuhi panggilan ke Keraton Majapahit. Pada versi terakhir ini, Batoro Katong digambarkan belum memeluk Islam.

Patih pertama yang setia mendampingi Batoro Katong adalah Kiai Pakis Aji. Namun, tokoh yang lebih menonjol di sisinya adalah gurunya, Kiai Ageng Mirah, yang kelak menjadi penghulu Batoro Katong. Dalam kisah lain yang tercatat diceritakan bahwa Raden Katong meminta bantuan Kiai Ageng Mirah dalam menghadapi Demang Kutu (halaman 116). Setelah Katong masuk Islam, Kiai Ageng Mirah mengirimkan sepasukan muridnya yang telah memeluk Islam untuk mendukung perjuangannya. Dari kisah ini dapat diperkirakan bahwa Kiai Ageng Mirah merupakan tokoh pertama yang membawa ajaran Islam ke Ponorogo.

Jogorogo

Pada masa awal perkembangan Islam, terdapat sebuah kabupaten bernama Jogorogo yang terletak di barat laut Madiun. Kini wilayah tersebut dikenal sebagai Kecamatan Jogorogo di Kabupaten Ngawi. Dalam buku Antara Lawu dan Wilis (halaman 125) dijelaskan bahwa bupati terakhir yang memerintah daerah ini adalah Raden Tumenggung Gembol Kertonagoro. Ia adalah putra Pangeran Pekik. Jika benar demikian, besar kemungkinan pada pertengahan abad ke-17 pusat pemerintahan kabupaten kemudian dipindahkan ke Gendingan yang terletak di dekat Bengawan Solo.

François Valentijn, seorang pendeta, naturalis, sekaligus sejarawan VOC (1666–1727) menyebutkan bahwa pada awal abad ke-18, Jogorogo berlokasi di dekat sebuah sungai (tanpa nama yang jelas). Daerah ini memiliki sekitar 6.000 keluarga dan dipimpin oleh seorang tumenggung. Namun, dalam catatannya, kabupaten ini disebut diperintah oleh seorang bernama "Demang Complong". Istilah complong dapat bermakna komplang atau kosong/tidak terpenuhi. Hal ini mungkin dapat diartikan sebagai adanya kekosongan jabatan bupati sehingga sementara digantikan oleh seorang demang.

Valentijn juga menuliskan bahwa sekitar dua mil (±3,2 km) di sebelah barat pusat Jogorogo terdapat Kota Tambakboyo yang dihuni sekitar 1.500 keluarga. Pada masa Hindu-Jawa, wilayah ini dipercaya pernah menjadi pusat kekuasaan seorang raja. Namun, ketika catatan ini ditulis pada tahun 1938, Tambakboyo sudah berubah menjadi sebuah desa yang berada di tepi Kali Sawur, di perbatasan Ngawi dan Surakarta. Ingatan tentang kejayaan kota kerajaan tersebut sudah hilang dari masyarakat.

Pacitan

Asal-usul masyarakat Pacitan diperkirakan berasal dari rombongan Batoro Katong yang memperoleh izin untuk menetap di wilayah tersebut, sebagaimana disebutkan dalam buku Antara Lawu dan Wilis (halaman. 130). Saat itu Pacitan masih berupa hutan belantara yang belum berpenghuni. Babad kemudian menuturkan beberapa tokoh yang dianggap sebagai pembuka hutan atau pembabat alas. Tokoh-tokoh tersebut antara lain Kiai Siti Geseng (juga disebut Kiai Ageng Petung, pendiri Desa Ngrejoso), Kiai Ampak Boyo (tokoh yang dikenal licik dan mendirikan Desa Posong di utara Pacitan, tepatnya di sisi barat Kali Grindulu, serta disebut juga Kiai Ageng Posong), Ménak Sopal (putra pendiri Trenggalek yang tinggal di Posong), dan Syekh Maulana Maghribi atau Magribi, seorang penyebar Islam yang menjadi cikal bakal terbentuknya Desa Duduwan di dekat Ngrejoso, sebelah timur Kali Grindulu.

Rombongan tersebut bertemu dengan penduduk asli yang memeluk agama Buddha. Namun, tidak dapat dipastikan apakah yang dimaksud adalah penganut Buddha murni, pengikut Hindu-Buddha, atau masyarakat yang masih menganut animisme yang dipengaruhi ajaran India. Salah seorang pemuka setempat bernama Buwono Keling yang tinggal di Jati (sekarang Desa Purwoasri). Ia bersama pengikutnya menolak ajaran Islam yang dibawa para pendatang. Sikap penolakan ini kemudian memicu peperangan antara masyarakat asli dan para pendatang Muslim.

Magetan

Asal-usul nama Magetan diduga kuat berkaitan dengan istilah "Kamagetan". Menurut Pigeaud, ahli bahasa dari Belanda, kata tersebut berhubungan dengan istilah kuno pameget. Dalam bahasa Jawa kuno, kamagetan bisa diartikan sebagai "perumahan besar (dalem)". Hal ini sejalan dengan kenyataan bahwa Magetan, seperti wilayah lain di lereng Gunung Lawu, sejak masa lampau telah menjadi pusat kebudayaan. Hal ini dibuktikan dengan adanya candi dan berbagai peninggalan sejarah.

Dijelaskan juga bahwa di lereng Gunung Lawu, yang kini termasuk wilayah Magetan, dikenal sebagai daerah yang sulit dijangkau oleh pengaruh Islam. Bahkan hingga saat ini, wilayah yang dianggap keramat dan berada di bawah kekuasaan Sunan Lawu tersebut belum sepenuhnya terislamisasi. Fakta ini tampak dari sedikitnya jamaah haji maupun santri yang berasal dari Kecamatan Plaosan, termasuk kawasan lereng Lawu (halaman 141).

Meski demikian, terdapat sejumlah kisah yang menunjukkan adanya upaya untuk menyebarkan Islam di wilayah ini. Salah satu yang paling terkenal adalah cerita mengenai sembilan wali (Wali Songo) yang dikirim Sultan Demak untuk mencari putra Majapahit yang melarikan diri dan menghilang. Konon, masing-masing wali meninggalkan sebuah masjid sebagai tanda, yang kemudian dipercaya masyarakat sebagai masjid tiban atau masjid yang “turun dari langit”. Berdasarkan penelusuran penulis buku, di daerah Plaosan terdapat sepuluh masjid yang diyakini sebagai peninggalan tersebut. Masjid-masjid tersebar di berbagai desa, antara lain di Plaosan, Dusun Klaten Desa Puntukdowo, Dusun Bulugunung Desa Bulugunung, Dusun Babar Desa Bulugunung, Dusun Bogosari Desa Bogoarum, Dusun Pandean Desa Bogoarum, Nitikan, Getasanyar, Dusun Genggong Desa Randugede, serta Dusun Sampung Desa Sidorejo.

Masjid-masjid tiban yang tersebar di Plaosan umumnya berupa masjid kecil yang oleh masyarakat setempat dipercaya “jatuh dari langit” (mesigit tiban dalam istilah Jawa). Setiap desa yang memiliki masjid tersebut juga menyimpan tradisi dan kebudayaan khas. Di Dusun Klaten, misalnya, terdapat tradisi selamatan yang dilaksanakan di depan masjid pada wuku Mandasiya, dan kadang juga pada bulan Ruwah atau Maulud.

Namun, tidak semua masjid tiban digunakan sebagai tempat ibadah. Contohnya di Bulugunung, Pandean, dan Getas, masjid-masjid itu dibiarkan tanpa fungsi ritual keagamaan. Sementara itu, masjid tiban di Dusun Sampung justru dianggap sangat keramat. Konon, nyamat (mahkota di bagian atap masjid) hanya boleh diambil atau disentuh oleh seorang kiai atau santri yang sebelumnya telah menjalani puasa selama empat puluh hari.

Selain kisah mengenai masjid-masjid tiban, ada pula cerita lain dari sebuah desa di lereng Gunung Lawu yang berkaitan dengan awal proses islamisasi. Desa tersebut adalah Desa Terong di Kecamatan Panekan. Menurut tradisi lisan, pada masa lalu desa ini mendapat tugas menyediakan tiang (saka) dan landasan tiang (umpak) untuk pembangunan Masjid Demak. Namun, karena pengirimannya terlambat, desa tersebut dipercaya mendapat kutukan dari Sunan Bonang [Bong Ang, 1465–1525; putra Sunan Ampel, Bong Swi Hoo]. Kutukan itu menyebabkan kayu, rumah, maupun bagian bangunan di Desa Terong tidak boleh dipakai oleh orang luar yang bukan keturunan pemiliknya. Di desa ini pula terdapat makam Said Kusin [Said Khalifah Kusen], seorang pangeran Majapahit yang memilih untuk tidak tunduk pada Raden Patah.


Identitas Buku

Penulis : Christopher Reinhart (Editor)
Judul Buku : Antara Lawu dan Wilis
Penerbit: : KPG
Tahun terbit : 2021

               
Editor: R. Agnibayaa

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال