Folklor Ponorogo: Desa Beton, "Ono Ambete tan Katon"


Oleh: 
Anaa Mufidah, Yudha Dwi Purwanti
Salma Rosyida, Veda Aisha, Ahmad Fattony
Mahasiswa UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo


Profil Desa Beton

Secara geografis, Desa Beton terletak pada posisi lintang selatan dengan koordinat 110°10'–111°40' bujur timur. Topografinya berupa dataran rendah dengan ketinggian sekitar 140 meter di atas permukaan laut. Desa Beton berada di bagian barat wilayah Kecamatan Siman, Kabupaten Ponorogo. Bentuk wilayahnya memanjang dari selatan hingga utara, dengan Sungai Keyang membelah desa tersebut.

Adapun batas-batas wilayah Desa Beton adalah sebagai berikut:
  • Sebelah barat berbatasan dengan Desa Madusari, Kecamatan Siman
  • Sebelah timur berbatasan dengan Desa Sekaran, Kecamatan Siman
  • Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Ngabar, Kecamatan Siman
  • Sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Surodikraman, Kecamatan Ponorogo

Kondisi Fisik Desa

Desa Beton merupakan wilayah yang terdiri dari pemukiman penduduk, tanah tegalan, pekarangan, lahan persawahan dengan luas wilayah desa 3.5 km² atau 180 Ha. Seluas 56 Ha adalah pemukiman penduduk dan sisanya adalah lahan kering dan areal persawahan seluas 90 Ha. Wilayah desa Beton dilewati sungai Keyang sepanjang 3 km. 

Foto Bersama Perangkat Desa Beton

Pembagian Wilayah Desa Beton

Wilayah Desa Beton terdiri dari 2 Dukuh yaitu: Dukuh 1, terdiri dari Lingkungan Krajan dan Beton Tengah dan Dukuh Il terdiri dari, Lingkungan Sanan dan Lingkungan Mranggen yang masing-masing dipimpin oleh seorang Kepala Dukuh. Posisi Kaduh menjadi sangat strategis seiring banyaknya limpahan tugas desa kepada aparat ini. Dalam rangka memaksimalkan fungsi pelayanan terhadap masyarakat di Desa Beton dari kedua Dukuh tersebut terbagi menjadi 8 Rukun Warga (RW) dan 20 Rukun Tetangga (RT).

Toponimi dan Sejarah Desa

Nama sebuah desa umumnya tidak lepas dari peristiwa sejarah yang melatarbelakanginya. Tujuannya adalah agar masyarakat senantiasa mengingat dan mewariskan kisah asal-usul desanya secara turun-temurun. Begitu pula dengan Desa Beton yang menyimpan cerita unik tentang bagaimana nama itu muncul.

Konon, menurut tuturan sesepuh desa yang kami temui siang itu, Mbah Muhammad Idris atau yang akrab disapa Mbah Dris (85 Tahun), di masa lampau berdiri sebuah pohon nangka besar di kawasan yang kini dikenal sebagai Beton Tengah, tepatnya di Lingkungan Penjeroan. Pohon tersebut berbuah sangat lebat dan menebarkan aroma harum yang semerbak. Anehnya, wangi itu sering kali terasa kuat, namun sumbernya seolah tak tampak. Buah-buah nangka yang matang pun kerap berjatuhan, meninggalkan biji-biji yang berserakan di tanah.

Dari peristiwa itu lahirlah sebutan "Beton", yang berasal dari kata “biji nangka”. Dalam bahasa Jawa juga dikenal ungkapan Ono Ambete tan Katon, yang berarti “ada bau harum namun tidak tampak asalnya dari mana”. Seiring waktu, ungkapan ini melekat menjadi nama resmi desa tersebut: Beton. Nama Desa Beton yang diwariskan para sesepuh sejak dahulu kala telah lama dikenal masyarakat melalui cerita yang tersebar dari mulut ke mulut. 

Foto Wawancara Dengan Mbah Dris

Seiring waktu, datanglah seorang ulama dari Kediri bernama Daud, atau yang lebih populer dengan sebutan Mbah Daud. Bersama keluarga dan sejumlah santrinya, ia menetap di Desa Beton dan menjadi tokoh pertama yang menyebarkan ajaran Islam di wilayah ini. Menurut penuturan Mbah Dris, peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1856. Dalam masa dakwahnya, Mbah Daud juga membangun sebuah langgar kecil tak jauh dari area pemakaman desa yang hingga kini masih dirawat.

Namun, sebenarnya jauh sebelum kedatangan Mbah Daud, masyarakat Beton sudah mengenal sosok sesepuh lain bernama Mbah Tandan Aran, atau yang lebih akrab disebut Mbah Kenandangan. Keberadaannya ditandai dengan pohon kenandangan yang menjadi penanda lokasi petilasannya. Konon, Mbah Kenandangan berasal dari Mataram, meski tidak ada catatan pasti mengenai tahun kedatangannya. Kisahnya hidup sebagai legenda yang diwariskan secara turun-temurun di tengah masyarakat.

Makam Mbah Kenandangan

Dengan demikian, dalam pandangan masyarakat Desa Beton terdapat dua figur penting yang menjadi cikal bakal sejarah desa. Mbah Kenandangan dihormati sebagai tokoh yang pertama kali babat alas atau membuka kawasan pemukiman, sedangkan Mbah Daud dikenang sebagai ulama auliya sekaligus penyebar Islam pertama di desa tersebut. Hingga kini, nama Mbah Daud lebih banyak dikenal, lantaran keturunan dan kerabatnya dari Kediri rutin berziarah ke makamnya setiap tahun, bahkan datang dari berbagai daerah seperti Surabaya dan Gresik.

Situs Makam Mbah Daud

Folklor Desa Beton

Beberapa data folklor yang diperoleh melalui perbincangan bersamadua narasumber adalah tentang tradisi Bubak manten, legenda Mbah Daud, dan mitos tentang Bogo celeng.

Tradisi Bubak di Beton

Dengan pengalaman hidup yang panjang, Mbah Muhammad Idris atau akrab disapa Mbah Dris menjadi salah satu penjaga ingatan kolektif Desa Beton. Di usianya yang ke-85 tahun, ia masih menyimpan pengetahuan luas tentang sejarah dan tradisi desa. Istrinya, Bu Sugiyatin (67), juga tak kalah penting dalam cerita ini. Ia adalah keturunan ketujuh dari Mbah Daud, ulama sekaligus tokoh penyebar Islam pertama di Desa Beton yang hingga kini namanya tetap dihormati.

Pada Jumat, 9 Mei 2025, tim kami berkesempatan mewawancarai Mbah Dris di kediamannya di tengah Desa Beton. Dari perbincangan itu, tergali berbagai informasi tentang budaya lokal yang masih dilestarikan masyarakat. Salah satu yang paling menarik adalah tradisi bubak manten

Secara harfiah, bubak berarti membuka atau memulai. Dalam konteks pernikahan, bubak manten dimaknai sebagai momen ketika orang tua secara simbolis melepas anaknya, terutama anak pertama perempuan, untuk menapaki kehidupan baru bersama pasangan. Tradisi ini bukan sekadar seremoni, tetapi refleksi nilai luhur tentang keluarga, restu, dan doa yang diwariskan turun-temurun. Namun meskipun demikian, ternyata tidak semua keluarga Jawa mempraktikan tradisi bubak karena pertimbangan dana dan efisiensi waktu.

Prosesi bubak manten dimulai setelah acara tasyakuran, yaitu ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya pernikahan. Tasyakuran biasanya diisi dengan doa bersama serta jamuan makan bagi warga dan kerabat yang hadir. Suasana hangat penuh kebersamaan ini menjadi pembuka rangkaian ritual adat pernikahan.

Usai tasyakuran, acara berlanjut ke prosesi kembar mayang. Dalam tradisi ini, dua batang pohon hias dari janur atau daun kelapa muda dirangkai indah dan simetris. Kembar mayang menjadi simbol keseimbangan, keharmonisan, sekaligus doa agar rumah tangga yang baru dibangun selalu rukun dan bahagia.

Keesokan harinya, digelar temu manten—pertemuan resmi antara kedua mempelai setelah sah menjadi pasangan suami-istri. Prosesi ini sarat makna simbolik, biasanya diiringi gamelan atau tembang Jawa. Di hadapan para tamu, kedua mempelai dipertemukan kembali sebagai simbol penyatuan dua keluarga besar.

Rangkaian upacara kemudian ditutup dengan pasangan mayang dan banyu kembang setaman. Pasangan mayang dilakukan dengan menyatukan kembar mayang yang sebelumnya digunakan, sebagai lambang doa dan restu keluarga bagi kedua mempelai. Sementara banyu kembang setaman berupa penyiraman air bunga ke tubuh pengantin. Ritual ini dimaknai sebagai penyucian diri sekaligus harapan agar rumah tangga mereka senantiasa harum, sejuk, dan penuh kedamaian.

Legenda Mbah Daud , Pohon Mojo, dan Asem Kembar

Dalam penelusuran yang kami lakukan di Desa Beton, kami menemukan makam dari sosok sentral yang tak bisa dilepaskan dari sejarah penyebaran Islam di wilayah ini: Mbah Daud. Makam tersebut kini menjadi salah satu situs ziarah yang cukup dikenal masyarakat. Kompleks makam tersebut ramai dipadati peziarah yang datang untuk berdoa dan memohon terkabulnya hajat, terutama pada bulan Suro.

Untuk menggali kisah lebih dalam, kami menemui Mbah Sanusi, juru kunci makam Mbah Daud. Ia mendapat amanah untuk menjaga makam dari pamannya, sekaligus melanjutkan tradisi keluarga. Menariknya, Mbah Sanusi adalah suami dari Bu Tumijem, adik kandung Bu Sugiyatin, keturunan ketujuh Mbah Daud. Dari dialah, kami mendapatkan rangkaian cerita panjang tentang perjalanan hidup sang ulama.

Makam Mbah Daud

Menurut penuturan Mbah Sanusi, Mbah Daud adalah keturunan Sunan Bayat dari Klaten, Jawa Tengah. Ia merupakan anak sulung dari lima bersaudara. Saudaranya tersebar di berbagai daerah: Marsadiq di Ponorogo, Nur Salim di Lamongan, Nur Alim di Bibis Ponorogo, dan Abdul Juair yang gugur di Trenggalek. Dalam perjalanan hidupnya, Mbah Daud pernah mengemban amanah besar sebagai patih di Kerajaan Mataram, bahkan menjadi penasihat saat Mataram berperang melawan Belanda.

Namanya makin dikenal ketika Bupati Kediri mengadakan sayembara untuk menumpas kelompok perusuh bernama “Kampak” yang meresahkan masyarakat. Hadiah sayembara kala itu sangat istimewa, yakni jika sang pemenang adalah laki-laki maka akan dijadikan menantu Bupati, sementara jika perempuan akan diangkat sebagai saudara (Dulur Sinorowedi). Tantangan ini sampai ke telinga Sri Sultan Hamengkubuwono III, yang kemudian memberi restu kepada Mbah Daud untuk ikut serta.

Dengan keempat saudaranya, Mbah Daud berangkat ke Kediri. Mereka menyeberangi sungai dengan gethek (rakit bambu) sebelum menuju markas para Kampak. Konon, mereka membawa beras ketan hitam yang kemudian dilemparkan kepada para perusuh. Ajaibnya, butiran beras itu berubah menjadi tawon ndas (lebah besar) yang menyerang para Kampak hingga mereka lari tunggang langgang ke sungai. Berkat kemenangan ini, Mbah Daud diterima sebagai menantu Bupati Kediri.

Ia kemudian menetap di Kediri untuk menyebarkan ajaran Islam sambil membina rumah tangga. Dari pernikahan itu lahirlah seorang anak laki-laki bernama Qadir. Namun, karena keluarga sang istri masih menganut agama Hindu, Qadir tumbuh dalam lingkungan ajaran kepercayaan keluarga ibunya. 

Beberapa waktu kemudian menyebar rumor di tengah masyarakat bahwa apabila Mbah Daud menyebarkan ajaran Islam secara masif di daerah tersebut, hal itu akan menyebabkan agama Hindu di wilayah tersebut punah. Merespon hal tersebut, Bupati mengadakan rapat dengan beberapa petinggi daerah, yang mayoritas beragama Hindu. 

Suatu hari, Bupati menyuruh istrinya untuk pergi ke pasar membeli semangka. Setelah kembali, istri Bupati meminta Mbah Daud untuk membelah buah semangka tersebut menjadi dua. Setelah membelah semangka, Mbah Daud pergi meninggalkannya. Kemudian, datanglah seorang pelayan suruhan istri Bupati yang diperintahkan untuk memberi racun pada salah satu potongan semangka tersebut. Dari dua bagian semangka itu, salah satunya diberi racun, sedangkan yang lainnya dibiarkan tanpa apa-apa. Setelah itu, Bupati memanggil Mbah Daud dan memintanya untuk memakan semangka terlebih dahulu. Namun, Mbah Daud menolak dan justru meminta Bupati untuk memakannya terlebih dahulu, dengan alasan bahwa Bupati lebih tua dan harus didahulukan. Terjadilah perdebatan antara keduanya. Dalam keadaan marah dan terburu emosi, Bupati tanpa sadar justru memakan potongan semangka yang telah diracun tadi. Akibatnya, Bupati pun meninggal dunia.

Pada saat kejadian hanya ada Mbah Daud dan Bupati di tempat tersebut. Hal ini membuat warga menuduh Mbah Daud sebagai pelaku pembunuhan. Warga sekitar yang tidak terima atas kejadian itu kemudian mengusir Mbah Daud dari Kediri. Sebelum meninggalkan Kediri, Mbah Daud berpamitan kepada istrinya dan menyampaikan niatnya untuk hijrah ke Ponorogo. Ia pun menawarkan kepada istrinya untuk ikut bersamanya. Namun, sang istri menolak karena lebih memilih tinggal demi merawat ibunya, menjaga anaknya yang masih kecil, serta mengurus rumah warisan peninggalan sang Bupati yang telah wafat.

Setibanya di Ponorogo, Mbah Daud menuju Desa Jengglik untuk meminta izin kepada sesepuh desa tersebut agar dapat menyebarkan ajaran agama di wilayah Ponorogo. Sesepuh tersebut kemudian mengarahkan Mbah Daud untuk pergi ke daerah selatan, tepatnya di Desa Beton. 

Selain legenda tentang Mbah Daud, terdapat pula legenda lain di Desa Beton. Legenda tersebut tentang dua pohon tua, yaitu pohon mojo dan pohon asam jawa Keduanya dipercaya telah ada sejak Desa Beton didirikan. Hingga kini, kedua pohon tersebut masih terjaga dengan baik dan menjadi simbol sejarah serta identitas masyarakat Desa Beton.

Pohon Mojo di desa Beton

Walaupun sama-sama sebagai simbol desa, namun sejarah kedua pohon tersebut berbeda. Pohon mojo yang tumbuh bersebelahan dengan makam Mbah Kanandangan dipercaya merupakan bibit pohon yang dibawa oleh salah satu pasukan Kerajaan Majapahit. Namun sayangnya, Mbah Sanusi, narasumber kami, tidak nenyebutkan pada masa raja siapa dan apa tujuan salah satu tentara kerajaan tersebut ke Desa Beton. 

Mbah Sanusi dan Buah Mojo

Sedangkan pohon asam jawa terletak di sebelah timur makam Mbah Kanandangan. Oleh masyarakat sekitar, pohon asam tersebut dikenal dengan asem kembar karena terdapat dua pohon asam jawa yang tumbuh di tempat tersebut. Pohon ini dipercaya ditanam oleh Mbah Kanandangan sendiri setelah beliau mbabat Desa Beton. Dari keterangan Mbah Sanusi, buah dari kedua pohon asam jawa tersebut terbilang unik. Biasanya buah dari pohon asam jawa memiliki rasa yang masam, namun buah dari salah satu pohon tersebut berasa manis.

Pohon Asam di Desa Beton


Mitos Desa Beton

Kini, makam Mbah Daud menjadi pusat ziarah. Peziarah dari Kediri biasanya membawa sesaji khas: semangka, tahu kuning, dan rokok dengan merk Gudang Garam. Apabila tidak membawa ketiga barang tersebut dipercaya akan terjadi musibah, seperti kehilangan barang, sakit, kendaraan yang tiba – tiba mati, atau tidak bisa pulang kembali ke rumahnya. Namun berbeda bagi mereka yang berasal dari luar daerah Kediri, jika memiliki hajat seperti ingin segera mendapatkan pekerjaan, dilancarkan rezekinya, sembuh dari penyakit maka mereka  membawa berbagai macam bunga seperti kembang boreh, kembang telon, kembang wangi, kembang parem, minyak wangi, dan rokok. Ketika hajat dari setiap peziarah terkabul, orang tersebut wajib membawa kain mori selebar 11 meter, serta melaksanakan tasyakuran di makam membawa ambeng dan ingkung (nasi dan ayam panggang).

Di samping mitos yang berkembang di area pemakaman Mbah Daud, ada juga mitos tentang Bogo Celeng. Setelah diusir dari Kediri, Mbah Daud menetap di Desa Beton. Di sana ia melakukan semedi untuk menenangkan diri. Selama masa semedinya, Mbah Daud mengalami berbagai gangguan yang menambah kesan mistis dari ritual tersebut. Beberapa warga sempat mencoba memanggilnya, namun Mbah Daud tetap khusyuk dan tidak menanggapi. Karena sikapnya itu, warga menjuluki, atau lebih tepatnya memaki dengan sebutan "celeng" (babi), karena dianggap tidak menoleh saat dipanggil. Sejak saat itulah, lokasi tempat semedi tersebut dikenal dengan nama “Bogo Celeng”.

Konon, hingga kini tempat bernama Bogo Celeng tersebut masih menyimpan aura mistis. Masyarakat percaya bahwa jika seseorang berdiri dengan posisi berkacak pinggang di dekat lokasi itu tepat saat waktu Dhuhur (pukul 12.00 siang), maka akan muncul seekor ular gaib dari dalam tempat tersebut. Selain itu, jika ada orang yang buang air kecil sembarangan di area tersebut, konon setelah pulang ia akan mengalami gangguan berupa kencing darah.

Kisah-kisah inilah yang menjadikan Desa Beton bukan sekadar wilayah pemukiman, tetapi juga ruang hidup yang sarat sejarah, spiritualitas, dan folklor yang terus diwariskan dari generasi ke generasi.



Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال