Folklor Ponorogo: Kisah Ki Kirun dan Ki Belah, Pande Besi Desa Pijeran

 

Oleh: Rindy Suryo Putranto, Riska Ana Mahmudah,
Risma Ani Mahmudah, Siti Nurjanah
Mahasiswa UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo


Profil Desa Pijeran

Desa Pijeran memiliki luas wilayah sebesar 234,426 hektar, mencakup berbagai jenis lahan yang dimanfaatkan untuk pemukiman, pertanian, serta sebagian merupakan wilayah alam terbuka. Letak geografis desa ini cukup strategis karena dikelilingi oleh beberapa desa dan kawasan hutan yang memberi pengaruh terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakatnya.

Secara administratif, desa ini berbatasan langsung dengan Desa Manuk di sebelah barat, Desa Patihan Kidul di sebelah utara, serta Desa Tranjang di sebelah selatan. Sementara itu, di sebelah timur, desa ini berbatasan dengan kawasan perhutani, yang memberikan potensi tersendiri baik dari sisi ekologis maupun sumber daya alam.

Jumlah penduduk yang mendiami desa ini mencapai 3.135 jiwa. Warga desa hidup dalam suasana yang relatif tenang dan harmonis, dengan ikatan sosial yang masih sangat kental. Pola kehidupan masyarakat masih sangat dipengaruhi oleh tradisi dan kearifan lokal.

Mayoritas penduduk desa ini bermata pencaharian sebagai petani. Aktivitas pertanian menjadi sektor utama yang menggerakkan roda perekonomian desa. Lahan yang luas dan kondisi alam yang mendukung membuat sektor pertanian tetap menjadi pilihan utama bagi sebagian besar warga dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Toponimi Nama Desa Pijeran

Pada zaman dahulu, wilayah yang sekarang dikenal sebagai Desa Pijeran telah memiliki kehidupan awal berupa perkampungan kecil yang dihuni oleh beberapa orang saja. Desa ini dikenal sebagai tempat para tukang pande atau pembuat pusaka. Mereka menguasai keahlian dalam menempa besi untuk dijadikan senjata atau alat penting lainnya. Nama "Pijeran" sendiri berasal dari kata "pijer", yaitu sebuah wadah atau tempat berisi air yang digunakan untuk menyelupkan besi panas dalam proses pembuatan alat atau pusaka.

Diceritakan oleh Mas Edi, narasumber kami, bahwa dua tokoh utama yang pertama kali tinggal dan menetap di wilayah ini adalah Ki Belah dan Ki Kirun. Mereka merupakan tukang pande besi yang terkenal pada masanya. Mereka menjalani kehidupan sederhana di tengah perkampungan kecil tersebut, jauh sebelum daerah itu ramai seperti sekarang.

Suatu ketika, datanglah rombongan dari daerah Kartasura yang juga menetap di wilayah itu. Di antara mereka terdapat seorang tokoh penting bergelar Raden. Tokoh tersebut dikenal sebagai sosok yang memiliki pandangan jauh ke depan. Raden tersebut mengucapkan sebuah sabda bahwa kelak tempat itu akan berkembang dan memiliki masa kejayaan, serta akan dikenal sebagai Desa Pijeran.

Merujuk pada kisah ini, maka Desa Pijeran lahir dari perpaduan antara kearifan lokal para penduduk awal, terutama Ki Belah dan Ki Kirun sebagai pande besi, dengan pengaruh budaya dan spiritual dari para pendatang Keraton. Sabda dari Sang Raden menjadi titik awal penamaan dan berkembangnya desa ini hingga menjadi seperti sekarang.

Selain kisah pande besi yang menjadi asal-usul nama Pijeran, ternyata terdapat versi lain yang melatari asal-usul nama Desa Pijeran. Dalam laman website Desa Pijeran dijelaskan bahwa asal-usul nama Pijeran berasal dari kisah dua tokoh, yakni Dermojoyo dan Dermojati.

Dalam sejarah desa di laman website Desa Pijeran dikisahkan tentang dua tokoh bersaudara yang bernama Dermojoyo dan Dermojati. Keduanya adalah sosok yang sama-sama memiliki budi pekerti yang baik, namun pada suatu waktu terjadi perselisihan di antara mereka. Perselisihan ini semakin memanas hingga akhirnya berujung pada perang tanding antara keduanya.

Dalam pertarungan tersebut tak ada pihak yang benar-benar menang. Kedua saudara itu akhirnya gugur bersama. Masyarakat setempat kemudian memakamkan mereka berdampingan sebagai simbol dari ikatan darah yang tidak bisa dipisahkan, meskipun sempat berselisih.

Suatu hari, ada seseorang yang melihat sebuah cahaya pijar yang bersinar tepat di atas makam Dermojoyo. Anehnya, cahaya tersebut tidak pernah padam. Maka dari situlah muncul nama Desa Pijeran, yang diambil dari simbol "pijar"—cahaya abadi yang muncul sebagai petunjuk ilahi. Nama ini kemudian dilestarikan secara turun-temurun dan tetap digunakan hingga saat ini, menjadi bagian penting dari identitas dan sejarah desa.

Dalam kajian folklor, munculnya berbagai varian pengisahan merupakan sebuah keniscayaan. Folklor yang menitikberatkan pada tradisi lisan memungkinkan kisah menjadi bercabang. Varian-varian dalam kisah folklor patutnya dicatat semua, dan nantinya menjadi kekayaan dan keragaman budaya.

Folklor Desa Pijeran

Penelusuran yang dilakukan di Desa Pijeran menghasilkan beberapa folklor yang dapat dicatat dan dituliskan. Folklor tersebut terkait legenda Ki Kirun dan Ki Belah, Dermojoyo-Dermojati, dan Tradisi Ethek. Folklor-folklor tersebut tetap lestari di Desa Pijeran.

Legenda Ki Kirun dan Ki Belah

Dalam tradisi lisan yang masih lestari hingga kini, disebutkan bahwa tokoh Ki Belah dan Ki Kirun benar-benar pernah hidup dan menetap di wilayah ini. Keduanya dikenal sebagai pande besi, yakni orang yang ahli dalam membuat pusaka dan alat-alat besi tradisional. Keberadaan mereka bukan sekadar legenda, melainkan fakta yang diperkuat melalui penuturan dari warga sepuh di desa, termasuk seorang sesepuh berusia sekitar 100 tahun yang pernah diwawancarai oleh Mas Edi, salah satu narasumber lokal.

Masa hidup Ki Kirun diyakini sejaman dengan Mbah Dermojati, yaitu pada masa-masa awal tumbuhnya peradaban di wilayah tersebut. Bahkan secara spiritual, peninggalan mereka masih diyakini hadir dan terasa hingga kini. Pekerjaan sebagai pande besi terus berlangsung secara turun-temurun dan masih ada hingga era tahun 1980-an. Namun seiring berjalannya waktu, generasi penerus para pande tersebut berpindah ke arah timur desa, meskipun lokasi pijer—wadah untuk mendinginkan besi panas—masih tetap ada dan digunakan.

Salah satu saksi bisu sejarah keberadaan para pande di Desa Pijeran adalah sebuah bendungan tua yang dikenal dengan nama Dam Paju. Dam ini dahulu digunakan oleh para pande untuk "memijer" atau mendinginkan besi. Hingga sekarang, Dam Paju masih berfungsi sebagai saluran pengairan untuk lahan pertanian di wilayah Kecamatan Siman. Menariknya, meskipun dam ini berada di perbatasan antara Desa Pijeran dan Desa Tranjang, pengguna utama airnya adalah masyarakat Desa Tranjang. Sungai yang mengalir dari dam tersebut pun dikenal tidak pernah kering, dan menjadi sumber kehidupan bagi warga sekitar hingga kini.

Legenda Dermojati dan Dermojoyo

Selain kisah tentang Ki Belah dan Ki Kirun sebagai tokoh pande besi, Desa Pijeran juga memiliki cerita lain yang tak kalah menarik. Cerita itu tentang dua tokoh spiritual bernama Eyang Dermojati dan Eyang Dermojoyo. Keduanya dikenal sebagai danyang atau penjaga gaib desa yang diyakini sebagai sosok kakak beradik yang menjaga wilayah desa dari arah timur dan barat. Namun versi lain mengungkapkan bahwa dua tokoh tersebut merupakan sosok yang nyata, bahkan di dukung bukti adanya tempat pemakaman mereka. Meskipun keduanya tidak memiliki hubungan langsung dengan Ki Belah maupun Ki Kirun, peran mereka sangat dihormati dalam kehidupan spiritual masyarakat setempat.

Nama "Dermo" sendiri mengandung makna mendalam. Dalam pengertian masyarakat setempat dermo dapat berarti “weh-weh” atau memberi. Konsep tersebut dijadikan sebagai falsafah hidup yang berbunyi: “Sopo seng gelem dermo karo marang sesamane, iku calone joyo”. Ungkapan tersebut berarti "siapa yang suka memberi kepada sesamanya, dialah calon orang yang berjaya." Nilai-nilai ini masih dijunjung tinggi dalam kehidupan sosial warga desa hingga saat ini.

 
Makam Mbah Dermojati

Makam Mbah Dermojoyo
                                     
Salah satu tempat yang dianggap sakral adalah makam Eyang Dermojati, yang berada di bawah naungan sebuah pohon Trembesi tua. Keanehan muncul ketika Mas Edi, seorang warga sekaligus narasumber, melakukan meditasi malam di lokasi makam tersebut. Ia merasakan bahwa pohon Trembesi tersebut seperti ngrembayung atau menaungi makam dengan dahan besar yang seolah melindungi area tersebut. Menurut Mas Edi, Pohon Trembesi tersebut pernah ditebang karena ukurannya yang sangat besar. Untuk memeluk batangnya, dua tangan orang dewasa pun tidak cukup.

Mas Edi meyakini bahwa Desa Pijeran memiliki potensi besar untuk menjadi desa yang maju dan makmur. Keyakinan ini bukan tanpa dasar, sebab ia sering melakukan meditasi yang memberinya firasat bahwa desa ini menyimpan kekuatan dan potensi yang belum sepenuhnya digali. Selain memiliki wilayah yang luas, panorama alam Pijeran sangat memukau, terutama pada malam hari, ketika dari desa ini terlihat jelas gemerlap kota Ponorogo di kejauhan. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri yang menurut Mas Edi bisa dikembangkan menjadi potensi wisata desa.

Foto Bersama Mas Edi dan Pak Jimun

Namun, menurut Mas Edi, ada nilai-nilai luhur yang harus dijaga jika ingin tinggal dan membangun kehidupan di Desa Pijeran. Ia menekankan bahwa warga desa tidak boleh bersikap Adigang, Adigung, Adiguno, yaitu merasa paling kuat, paling berkuasa, dan paling pandai. Selain itu, sifat maruk atau serakah juga harus dihindari. Hidup di Desa Pijeran, katanya, harus dijalani dengan kerendahan hati, keikhlasan, dan sikap saling menghormati antar sesama.

Tradisi Ethek Desa Pijeran

Desa Pijeran memiliki sebuah tradisi khas yang sangat melekat dalam kehidupan masyarakatnya, yaitu tradisi yang dikenal dengan nama "Ethek". Tradisi ini merupakan salah satu warisan budaya tertua di desa tersebut dan telah dilestarikan secara turun-temurun sejak zaman penjajahan Belanda. Ethek bukan sekadar aktivitas ekonomi, melainkan juga mencerminkan semangat gotong royong, kesederhanaan, dan kearifan lokal warga desa.

Menurut penuturan Pak Darmin, narasumber sekaligus pelaku tradisi ethek, tradisi ini bermula dari generasi pertama, yaitu Mbah Ebok, yang dikenal sebagai pelopor tradisi ini. Kemudian dilanjutkan oleh generasi kedua Mbah Renggi, disusul oleh Mbah Saniran sebagai generasi ketiga, Mbah Sangrah sebagai generasi keempat, dan kini diteruskan oleh Pak Damin, sebagai generasi kelima yang masih aktif melestarikan tradisi ethek hingga saat ini.

Ethek pada dasarnya adalah bentuk warung sederhana yang beroperasi di tepi sawah saat musim panen tiba. Namun yang membuatnya unik adalah sistem transaksinya yang tidak selalu menggunakan uang. Dalam tradisi ini, petani menukar gabah atau padi hasil panen dengan makanan dan minuman yang dijual di warung ethek. Menu yang disajikan pun sangat khas pedesaan, seperti gandos, tempe goreng, tahu goreng, gedhang (pisang) goreng, kopi, dan lain-lain. Tradisi ini menjadi semacam pesta panen kecil yang penuh kebersamaan dan nuansa kekeluargaan.

Warung ethek biasanya hanya buka selama sekitar satu bulan, atau sampai seluruh dagangan habis terjual. Lokasinya pun tidak berpindah-pindah jauh, hanya berada di sekitar Desa Pijeran dan paling jauh di area dekat alas (hutan kecil) di pinggiran desa. Keunikan lain dari tradisi ini adalah penggunaan gerobak panggul yang disebut "Gerobak Pantjasila", yang menjadi simbol sekaligus alat utama dalam membuka warung ethek.

Dalam operasionalnya, warung ethek masih memanfaatkan alat-alat tradisional, seperti kompor sumbu dan arang sebagai sumber api. Gerobak ethek tersebut memiliki berat lebih dari 2 Kg, serta kayu yang digunakan untuk memanggul ethek tersebut menggunakan kayu menjalin, yang dianggap kuat dan awet. Hal ini menjadikan suasana di warung terasa sangat autentik dan membawa nuansa masa lalu yang tetap hidup di tengah arus modernisasi.

Gerobak ethek

Tradisi ethek bukan hanya soal jual beli, tetapi juga menjadi ruang sosial dan budaya yang memperkuat ikatan antarwarga desa. Keberadaan tradisi ini membuktikan bahwa Desa Pijeran memiliki kekayaan lokal yang patut dilestarikan dan bahkan berpotensi besar untuk dijadikan daya tarik wisata budaya pedesaan.

Salah satu kebanggaan terbesar dari Tradisi ethek di Desa Pijeran adalah pengakuan resmi dari Pemerintah Kabupaten Ponorogo. Tradisi yang telah diwariskan secara turun-temurun ini berhasil menarik perhatian hingga tingkat kabupaten. Sebagai bentuk apresiasi, Bupati Ponorogo, H. Sugiri Sancoko memberikan piagam penghargaan kepada Pak Damin, selaku generasi kelima yang masih setia melestarikan tradisi tersebut.

Dalam momen istimewa tersebut, Pak Damin bahkan diundang secara khusus ke kantor Bupati Ponorogo untuk menampilkan Tradisi ethek secara langsung. Ia membawa serta gerobak ethek, yang menjadi ikon utama dari tradisi ini, ke halaman kantor bupati, dan memperagakan bagaimana warung tradisional ini beroperasi di tengah sawah saat musim panen.

Foto Bersama Pak Darmin

Tradisi ethek ini menjadi lebih istimewa karena merupakan satu-satunya kebudayaan semacam itu yang masih hidup di wilayah Kecamatan Siman, bahkan di tingkat Kabupaten Ponorogo. Keunikan bentuk, filosofi, dan cara pelestariannya membuat budaya ini patut dibanggakan. Piagam penghargaan tersebut menjadi bukti bahwa kearifan lokal Desa Pijeran memiliki nilai budaya yang tinggi, layak dijaga, dan dikembangkan sebagai bagian dari kekayaan budaya Ponorogo.

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال