Folklor Ponorogo: Kisah Kusumo Karno dan Mantri Gudang Kopi di Mangunsuman


Oleh:
Rahmadatul Nur ‘A, Avida A. Atuzzahro, Dinar T. Handatika, Lukman Aristianto, Binti Shofiyah
Mahasiswa Tadris Bahasa Indonesia
UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo

Profil Desa Mangunsuman

Kelurahan Mangunsuman merupakan salah satu kelurahan di Kecamatan Siman, Kabupaten Ponorogo, Provinsi Jawa Timur. Wilayah ini berada di dataran rendah di bagian timur Kota Ponorogo, dengan jarak sekitar 2,5 kilometer dari pusat kecamatan maupun kabupaten. Karena terletak di dataran rendah, Kelurahan Mangunsuman memiliki ketinggian sekitar 75,115 meter di atas permukaan laut dengan curah hujan tahunan sekitar 1.982 mm.

Berdasarkan data Administrasi Pemerintahan Desa tahun 2024, jumlah penduduk Kelurahan Mangunsuman tercatat sebanyak 4.656 jiwa yang terdiri dari 1.605 kepala keluarga (KK). Dari total penduduk tersebut, 2.332 jiwa adalah laki-laki dan 2.324 jiwa adalah perempuan.

Secara umum, mata pencaharian masyarakat Mangunsuman terbagi dalam beberapa sektor, terutama di bidang pertanian. Bidang pertanian ini meliputi tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan. Berdasarkan data yang ada, jumlah penduduk yang bekerja di berbagai sektor mata pencaharian tersebut tercatat sebanyak 210 orang.

Toponimi Desa Mangunsuman

Terdapat dua versi kisah terkait toponimi atau asal-usul nama desa Mangunsuman. Namun meskipun demikian, keduanya merujuk pada satu tokoh bernama Kusumo (Mangunkusumo). Perbedaan kedua versi tersebut terletak pada latar belakang dari tokoh tersebut. Dalam tulisan ini, kedua versi tersebut akan disajikan. Penjelasan tentang Kusumo (Mangunkusumo) versi pertama akan disampaikan pada bagian toponimi ini, sedangkan versi kedua akan disampaikan pada bagian legenda.

Berdasarkan informasi dari narasumber pertama, Bapak Ramelan, 73 tahun, nama Mangunsuman diyakini berasal dari tokoh utama yang pertama kali membuka sekaligus menata wilayah tersebut, yakni Mangunkusumo. Seiring perjalanan waktu, bahasa lisan masyarakat mengalami penyederhanaan dan pergeseran bunyi. Dari situlah nama Mangunkusumo kemudian berubah menjadi Mangunsuman. Bapak Ramelan sendiri masih merupakan keturunan dari Mangunkusumo.

Foto bersama Bapak Ramelan

Mangunkusumo dikenal sebagai juru kunci Batoro Katong, pendiri Kadipaten Ponorogo. Sebagai juru kunci Batoro Katong dan orang kepercayaan Batoro Katong, Mangunkusumo memegang peranan penting dalam menjaga ajaran, nilai-nilai spiritual, serta budaya luhur yang diwariskan oleh leluhur kerajaan. Dalam tradisi masyarakat Jawa, peran juru kunci bukan hanya sekadar penjaga situs atau makam keramat, melainkan juga penjaga tatanan adat dan moral masyarakat.

Karena suatu hal, Mangunkusumo memilih untuk mengundurkan diri dari pusat kekuasaan dan melarikan diri ke sebuah wilayah yang saat itu masih berupa alas (hutan). Tempat tersebut kemudian menjadi cikal bakal Desa Mangunsuman. Pelariannya bukan hanya bentuk penyelamatan diri, tetapi juga merupakan langkah strategis untuk menjaga kelestarian ilmu dan nilai-nilai spiritual yang diwarisinya.

Tokoh lain yang berperan penting dalam perluasan wilayah Mangunsuman adalah Wonosetro. Ia merupakan seorang tokoh pendatang yang berasal dari Kecamatan Begelen, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Wonosetro diangkat menjadi anak oleh Mangunkusumo. Mereka kemudian menjalin hubungan baik dan saling bahu-membahu dalam membuka alas, membangun permukiman, serta menata kehidupan sosial masyarakat di wilayah tersebut.

Mangunkusumo menikah dengan tiga orang istri. Istri pertamanya berasal dari lingkungan Mangunsuman bernama Mbah Piti. Makam Mbah Piti berada di samping Balai Desa Mangunsuman. Konon, makam Mangunkusumo sendiri berada di salah satu rumah warga yang hingga kini belum teridentifikasi. Istri keduanya berasal dari Patihan di daerah Sarpon, sedangkan istri ketiganya berasal dari Tajug.

Makam Mbah Piti, Istri pertama Mangunkusumo

Dari ketiga pernikahan tersebut, Mangunkusumo dikaruniai enam orang anak yang kemudian tersebar di beberapa wilayah. Dua orang anak menetap di pusat Mangunsuman, satu orang tinggal di dukuhan, dan tiga lainnya bermukim di wilayah timur, tepatnya di daerah Keden. Penyebaran keturunan ini mencerminkan proses awal terbentuknya dusun-dusun atau pedukuhan di Desa Mangunsuman.

Perluasan wilayah selanjutnya dilakukan di bagian timur, yakni di dukuh Suwawung. Tokoh yang berperan dalam pengembangan wilayah ini adalah Saimun, anak Mangunkusumo dari pernikahannya dengan istri kedua yang berasal dari Sarpon. Selain itu, Ngalim, anak dari istri ketiga yang berasal dari Tajug, juga turut berperan dalam memperluas wilayah Mangunsuman.

Dapat diambil kesimpulan bahwa nama Mangunsuman diyakini berasal dari tokoh utama yang pertama kali membuka dan menata wilayah tersebut, yaitu Mangunkusumo. Seiring waktu, melalui perubahan bahasa lisan masyarakat, nama Mangunkusumo mengalami penyederhanaan dan pergeseran fonetik menjadi Mangunsuman.

Secara etimologis, kata Mangun dalam bahasa Jawa berarti membangun, menata, atau merancang, sedangkan Suman merupakan bentuk lokal atau turunan fonetis dari kata Kusumo. Dengan demikian, Mangunsuman dapat dimaknai sebagai “wilayah yang dibangun atau ditata oleh Mangunkusumo.”

Penamaan ini tidak hanya berfungsi sebagai identitas geografis, tetapi juga sebagai bentuk penghormatan terhadap jasa dan kepemimpinan Mangunkusumo dalam membangun kehidupan bermasyarakat. Pola penamaan semacam ini lazim dijumpai dalam tradisi Jawa, di mana wilayah yang dibuka oleh tokoh penting sering kali dinamai sesuai dengan nama pembukanya, baik secara langsung maupun melalui penyesuaian bunyi.

Folklor Desa Mangunsuman

Beberapa folklor yang terdapat di desa Mangunsuman adalah legenda, mitos, dan kegiatan tradisi yang masih dipertahankan.

Legenda Kusumo Karno

Variasi kedua tentang sosok bernama Kusumo (Mangunkusumo) dituturkan oleh narasumber kedua yang diwawancarai, yakni Bapak Raden Pangeran Gendut Wreksodiningrat, tokoh adat desa Mangunsuman. Beliau menjelaskan bahwa desa Mangunsuman bermula pada masa akhir Kerajaan Majapahit. Pada waktu itu, terjadi perpecahan besar dalam kerajaan akibat pemberontakan yang dipimpin oleh Raden Patah terhadap ayahnya sendiri, Prabu Brawijaya V. Raden Patah yang merupakan putra raja, merasa tidak puas terhadap pemerintahan ayahandanya, sehingga ia memberontak dan akhirnya berhasil mengalahkan Kerajaan Majapahit. Setelah kekalahan tersebut, Prabu Brawijaya bersama sebagian besar anggota keluarga kerajaan terpaksa mengungsi ke wilayah timur Pulau Jawa.

Setelah berhasil menguasai kekuasaan, Raden Patah mendirikan kerajaan Islam pertama di tanah Jawa, yakni Kerajaan Demak yang berpusat di pesisir utara Jawa Tengah. Pergantian kekuasaan ini tidak diterima oleh semua pihak. Sejumlah bangsawan serta tokoh keagamaan Majapahit memilih mengungsi ke arah selatan. Salah satu di antaranya adalah seorang tokoh agama bernama Kyai Tunggul Wulung, yang membawa tiga pusaka warisan Majapahit.

Dalam perjalanan panjang menuju selatan, rombongan Kyai Tunggul Wulung berusaha menyusuri daerah-daerah aman dengan berbelok ke arah kanan. Dari ratusan orang pengungsi, sebagian ada yang kuat berjalan jauh, namun tidak sedikit yang kelelahan. Mereka yang tidak mampu melanjutkan perjalanan dipersilakan menetap di wilayah yang dianggap aman. Ada yang berhenti di Kediri, ada pula yang memilih tinggal di Tulungagung. Sementara itu, Kyai Tunggul Wulung tetap melanjutkan langkah bersama sebagian kecil pengikut yang masih bertahan, hingga akhirnya tiba di daerah Gunung Kidul. Di tempat inilah beliau menyembunyikan tiga pusaka Majapahit ke dalam tanah agar tidak jatuh ke tangan yang salah.

Dokumentasi Wawancara via Zoom bersama 
Bapak Raden Pangeran Gendut Wreksodiningrat

Kyai Tunggul Wulung dalam perjalanan pelarian tersebut sempat melewati wilayah Ponorogo bersama sekitar enam puluh orang pengikut. Namun, karena perjalanan yang cukup panjang dan penuh tantangan, jumlah rombongan tersebut semakin berkurang. Sebagian dari mereka memutuskan untuk berhenti dan menetap di wilayah yang kini dikenal sebagai Pasar Pon, Ponorogo. Di antara mereka terdapat tokoh bernama Kusumo Karno yang menetap bersama istri dan anak-anaknya.

Mereka kemudian membuka lahan (membabad) dan membangun pemukiman di wilayah yang sekarang menjadi Desa Mangunsuman dan daerah sekitarnya. Ia memperkenalkan diri kepada masyarakat sekitar dengan nama Mangunkusumo. Karena kondisi saat itu masih berbahaya, terutama dari ancaman prajurit Demak yang bisa saja memburu para keturunan bangsawan Majapahit, maka identitas asli Kusumo Karno disamarkan. Jika prajurit Demak mengetahui identitas asli mereka, maka kemungkinan besar mereka akan ditangkap atau dibunuh karena dianggap melawan pemerintahan Raden Patah.

Nama Mangunkusumo semakin dikenal dan dihormati oleh masyarakat setempat. Hal ini terjadi karena masyarakat melihat bahwa beliau memiliki kepribadian dan kemampuan istimewa yang mencerminkan keturunan bangsawan. Sebagai bentuk penghormatan, masyarakat pun memanggilnya dengan sebutan “Ndoro”. Pada masa itu, ajaran Islam sudah berkembang dan menyatu dalam kehidupan masyarakat, meskipun akar-akar budaya Majapahit masih kuat terasa. Setelah menetap cukup lama dan membabad wilayah yang semakin luas, Mbah Mangunkusumo akhirnya wafat. Beliau sangat dihormati dan dikenang oleh masyarakat. Karena tidak ingin menggunakan nama aslinya, maka masyarakat pun mengenalnya sebagai Ndoro, bukan Mangunkusumo. Nama Mangunsuman kemudian muncul sebagai bentuk penghormatan dan pengabadian atas nama Mangunkusumo, serta menjadi nama resmi desa yang terus digunakan hingga kini.

Legenda Mantri Gudang Kopi

Raden Mas Martopuro, yang juga dikenal dengan nama Mbah Mantri, merupakan salah satu tokoh yang dihormati oleh masyarakat Ponorogo, khususnya di Desa Mangunsuman. Beliau dianggap sebagai pahlawan lokal yang memiliki jasa besar, namun keberadaannya belum sepenuhnya diakui atau mendapat perhatian dari pihak pemerintah. Makam Mbah Mantri berada di wilayah Desa Mangunsuman, dan hingga kini masih dihormati oleh warga sekitar.

Berdasarkan cerita yang disampaikan oleh Bapak Raden Pangeran Gendut Wreksodiningrat, Raden Mas Martopuro merupakan keturunan ke-11 dari Batoro Katong, tokoh pendiri Kadipaten Ponorogo. Pada masa penjajahan Belanda, Raden Mas Martopuro menjabat sebagai mantri gudang kopi di Kecamatan Bungkal. Beliau menetap di Desa Bungkal bersama istrinya yang dikenal sebagai perempuan yang cantik dan cerdas. Kala itu, Bungkal dikenal sebagai daerah penghasil kopi yang subur, dan dengan kualitas rasa kopi yang berkualitas tinggi. Namun, rakyat dipaksa menanam kopi dengan harga beli yang sangat rendah dan seluruh hasil kebun kopi harus diserahkan kepada pemerintah kolonial Belanda.

Melihat penderitaan rakyatnya, Istri Raden Mas Martopuro merasa prihatin terhadap kondisi rakyatnya yang mengalami kesulitan ekonomi. Oleh karena itu, ia mengusulkan kepada suaminya agar sebagian hasil kopi tidak hanya diserahkan kepada Belanda, tetapi juga disalurkan kepada rakyat. Istri Raden Mas Martopuro memiliki ide untuk menjual kopi secara diam-diam dengan cara menyembunyikan kopi di perutnya dengan disamarkan menggunakan stagen (kain panjang yang dililitkan di perut), agar tampak seperti wanita hamil. Hal ini dilakukan karena pada masa itu tidak diperbolehkan menjual kopi secara terang-terangan kepada rakyat sekitar oleh para penjajah. Ia pergi ke pasar bersama beberapa temannya dengan berpura-pura sedang hamil.

Di tengah perjalanan, mereka dihentikan sipir-sipir Belanda, yaitu orang Indonesia atau pribumi yang bekerja kepada penjajah dan dikenal lebih kejam daripada orang Belanda itu sendiri. Istri Raden Mas Martoputo ditanya oleh sipir tersebut “Mau kemana Bu?” Istri Raden Mas Martapuro menjawab bahwa ia hendak ke pasar untuk membeli sayur dan beras. Ketika ditanya kembali, “Apakah Ibu sedang hamil?”, karena gugupnya ketika mau menyampaikan bahwa ia sedang hamil tujuh bulan, tetapi malah menjawab “Tujuh berug”, yang maksudnya adalah 3,5 kilogram (satu berug = setengah kilogram).

Setelah diperiksa, ibu-ibu tersebut ternyata membawa kopi yang akan dijual ke pasar demi membantu perputaran ekonomi masyarakat. Temuan ini dilaporkan oleh sipir kepada seorang pejabat Belanda bernama Wiliem Vincent, yang saat itu berkantor di sebuah bangunan yang kini menjadi SMP Negeri 1 Ponorogo di Jalan Pemuda, yang sekarang dikenal sebagai Jalan HOS Cokroaminoto. Selain menanggapi laporan dari sipir, Wiliem Vincent juga datang ke Bungkal karena adanya penurunan jumlah pengiriman kopi dari Bungkal ke Belanda. Ia ingin memastikan langsung penyebab menurunnya pasokan tersebut.

Setibanya di Bungkal bersama rombongannya, Vincent disambut oleh Raden Mas Martopuro dan pamannya. Istri Raden Mas Martopuro pun ikut menjamu mereka dengan makanan dan minuman sebagai bentuk penghormatan kepada tamu. Namun, saat jamuan berlangsung, Vincent terlihat tertarik pada kecantikan istri Raden Mas Martopuro. Ia kemudian melakukan tindakan yang tidak pantas dengan mencubit atau menjawil pipinya. Tindakan ini tentu saja memancing kemarahan Raden Mas Martopuro. Namun, kemarahannya berhasil diredakan oleh pamannya yang menasihati dengan berkata, "Gus, tenangkan hatimu, turunkan amarahmu, tamu tetap harus dihormati dengan baik."

Setelah Wiliem Vincent meninggalkan Bungkal, Raden Mas Martopuro merasa sangat marah dan terluka batinnya karena istrinya telah diperlakukan tidak sopan. Kemarahan tersebut mendorongnya untuk merencanakan aksi balas dendam. Kesempatan itu datang tepat pada malam pergantian tahun baru, saat orang-orang Belanda biasa mengadakan pesta meriah dengan makanan, hiburan, dan berbagai kesenangan.

Pada malam itu, Raden Mas Martopuro berhasil mendekati Vincent yang sedang bersuka cita. Ia membawa sebilah keris kecil yang diselipkan di pinggangnya, lalu dengan cepat menikam Vincent. Vincent tewas seketika akibat serangan tersebut. Setelah melakukan aksinya, Raden Mas Martopuro segera melarikan diri untuk menghindari kejaran para sipir Belanda. Ia bersembunyi di Kebun Raja, sebuah kawasan yang dulunya merupakan tempat pemeliharaan hewan milik raja, yang terletak di sebelah kiri Taman Makam Pahlawan. Karena malam itu suasana sangat gelap, para sipir Belanda kesulitan melacak keberadaan Raden Mas Martopuro dan kehilangan jejaknya.

Sayembara pun diadakan oleh Belanda. Siapa saja yang dapat menangkap Raden Mas Martopuro akan diberi hadiah besar. Namun, tak seorang pun berani menerima tantangan itu. Pada akhirnya, datanglah Kiai Nur Hamdan dari Desa Blembem, Kecamatan Jambon, yang menyatakan kesiapannya untuk mencari dan menangkap Martopuro. Ia pun mulai mencari ke berbagai penjuru. Setelah mencari cukup lama, akhirnya ia menemukan bahwa Raden Mas Martopuro tengah bersembunyi di dalam sebuah pohon besar. Saat ini kawasan tempat pohon tersebut berada adalah Taman Makam Pahlawan. Karena mereka berasal dari perguruan yang sama, Nur Hamdan bisa merasakan keberadaan Martopuro.

Lokasi tempat persembunyian Raden Mas Martopuro 

Setelah berbincang-bincang sebentar, akhirnya Raden Mas Martopuro bersedia keluar dari persembunyiannya. Selanjutnya, mereka berjalan bersama menuju kantor pemerintah Belanda. Namun, dalam perjalanan, secara diam-diam Raden Mas Martopuro mencabut keris kecil yang diselipkan di pinggangnya, lalu menusukkannya ke dadanya sendiri. Ia langsung terjatuh dan pingsan. Kiai Nur Hamdan kemudian mengambil keris tersebut. Namun, saat keris itu dicabut dari tubuh Raden Mas Martopuro, terdengar jeritan keras yang menarik perhatian para sipir Belanda. 

Karena Kiai Nur Hamdan berada tepat di samping tubuh Raden Mas Martopuro yang tergeletak, ia langsung dituduh sebagai pelaku penusukan dan ditangkap oleh para sipir Belanda. Sebenarnya, Raden Mas Martopuro belum meninggal. Meskipun terluka parah, ia masih mampu bangkit dan berjalan dengan sisa tenaga yang dimilikinya. Ia berjalan menuju daerah Setono, tempat banyak kerabatnya tinggal. Dalam perjalanannya, ia melewati Desa Kertosari dan Mangunsuman. Setelah tiba di wilayah tersebut dan merasa tidak lagi mampu melanjutkan perjalanan, Raden Mas Martopuro akhirnya wafat. Jenazahnya kemudian dimakamkan di wilayah tersebut.

Makam Raden Mas Martopuro

Mitos Memilih Jodoh atau Pasangan

Mitos tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga mengandung pesan moral, menjadi pedoman dalam menjalani kehidupan, dan mencerminkan kepercayaan bersama suatu komunitas. Dalam kajian folklor, mitos termasuk ke dalam jenis cerita rakyat yang berperan penting dalam membentuk identitas dan cara pandang suatu masyarakat.

Salah satu mitos yang berkembang di tengah masyarakat Desa Mangunsuman adalah anjuran untuk tidak menjalin hubungan pernikahan atau besanan dengan warga dari Desa Ronowijayan. Masyarakat setempat meyakini bahwa jika terjadi pernikahan antara kedua pihak, maka salah satu dari pasangan tersebut atau anggota keluarganya akan mengalami hal yang tidak baik atau salah satu diantaranya tidak berumur panjang. Keyakinan ini telah hidup secara turun-temurun dan masih dipercaya oleh sebagian warga hingga saat ini. Namun sayang, alasan yang melandasi adanya mitos tersebut tidak diperoleh dari narasumber.

Tradisi Bersih Desa di Mangunsuman

Menurut keterangan Bapak Suprapto, Lurah Desa Mangunsuman, salah satu tradisi yang masih lestari dan rutin dilaksanakan masyarakat setempat adalah tradisi bersih desa. Kegiatan ini biasanya diselenggarakan pada bulan Suro atau menjelang bulan Agustus. Tradisi tersebut dilaksanakan sebagai bentuk penghormatan sekaligus doa bagi para tokoh dan leluhur yang telah wafat. Selain itu, bersih desa juga menjadi sarana untuk mempererat hubungan antarwarga melalui kegiatan gotong royong.

Dalam pelaksanaannya, masyarakat bersama-sama membersihkan makam, berziarah, dan memanjatkan doa untuk para pendahulu, termasuk tokoh penting pendiri Desa Mangunsuman dan Mbah Mantri. Sosok Mbah Mantri sangat dihormati; makamnya bahkan sering diziarahi oleh peziarah dari luar daerah, seperti Surabaya, Bogor, dan Jakarta, yang datang khusus untuk mendoakan beliau. Di kawasan makam tersebut terdapat seorang juru kunci bernama Bapak Ni, yang bertugas menjaga dan merawat area pemakaman.

Foto bersama Lurah Desa Mangunsuman

Tradisi bersih desa di Mangunsuman memiliki ciri khas tersendiri jika dibandingkan dengan desa-desa lain. Jika di tempat lain biasanya terdapat acara hiburan seperti gajah-gajahan, maka di Mangunsuman kegiatan ini lebih berfokus pada aspek spiritual. Bentuk spiritualitas yang dijalankan bukan berupa upacara adat, melainkan pembacaan Al-Qur’an bersama di mushola atau masjid hingga khatam, kemudian dilanjutkan dengan ziarah serta doa di makam para leluhur. Membersihkan area makam ini bukan dimaksudkan untuk menyembah atau mengkultuskan, melainkan sebagai tanda hormat kepada mereka yang lebih dahulu menjaga desa.

Tradisi ini diyakini membawa berkah dan ketenteraman. Meski para tokoh telah lama wafat, makam mereka tetap diziarahi, dan doa-doa untuk mereka senantiasa mengalir melalui lisan warga yang tak pernah lupa pada akar warisan spiritualnya.

Tradisi Genduri di Mangunsuman

Berdasarkan wawancara dengan narasumber, Bapak Raden Pangeran Gendut Wreksodiningrat, salah satu tradisi yang masih lestari di Desa Mangunsuman, Kecamatan Siman, adalah genduri atau kenduri. Tradisi ini telah ada sejak masa penjajahan Belanda dan tetap dijalankan secara turun-temurun hingga sekarang. Genduri dilaksanakan sebagai doa bersama untuk memohon ampunan kepada Allah sekaligus mengenang jasa orang-orang yang telah meninggal dunia.

Dalam tradisi ini, masyarakat menyajikan berbagai macam makanan yang memiliki makna simbolis. Salah satu yang utama adalah apem. Apem berasal dari kata apukun dalam bahasa Jawa, yang berarti ampunan. Hidangan ini melambangkan permohonan ampunan kepada Allah bagi orang yang telah wafat. Selain apem, terdapat pula hidangan lain, antara lain:

  • Buceng (nasi tumpeng kecil), sebagai simbol harapan dan doa.
  • Ayam panggang, melambangkan keikhlasan dan pengorbanan.
  • Pisang satu tangkep (satu sisir), melambangkan makhluk Allah yang tidak berdosa, dan ketika matang menjadi simbol kesempurnaan doa serta permohonan maaf.
  • Kelapa gundil, yaitu kelapa yang sudah dikupas namun masih menyisakan sedikit serabut di pucuknya, sebagai lambang isi dunia dan kehidupan manusia.

Dahulu, hidangan dalam genduri hanya terbatas pada nasi tumpeng, pisang satu tangkep, dan kelapa gundil. Namun seiring waktu, jenis makanan yang disajikan bertambah, meskipun tetap sarat dengan makna religius dan simbolis yang merujuk pada ajaran para ulama.

Tradisi genduri di Desa Mangunsuman juga dilaksanakan secara khusus menjelang bulan Muharram, yakni bulan pertama dalam kalender Hijriah. Pada kesempatan ini, setiap RT di desa menyelenggarakan genduri dan berkumpul bersama di perempatan jalan. Tujuannya adalah untuk mensyukuri nikmat yang telah diterima pada tahun sebelumnya, sekaligus memohon keberkahan dalam menyongsong tahun baru. Tradisi ini mencerminkan nilai religius, kebersamaan, serta rasa syukur yang kuat dalam kehidupan masyarakat Mangunsuman.

Editor: R Agnibayaa


Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال