Kuasa Kiai: Feodalisme atau Penghormatan Terhadap Ulama?


Oleh: Muhammad Barir
Dosen Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Dakwah
UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo
Alumnus Pesantren Tarbiyatut Tholabah Lamongan
Di tengah dunia yang semakin memuja kebebasan individual, pesantren menghadirkan wajah lain: kebebasan yang dipadukan dengan adab, kritik yang dipadukan dengan hormat, dan pengabdian yang dipadukan dengan kesadaran spiritual.

Di banyak pesantren, kiai sering dianggap punya “paket lengkap”: guru, konsultan hidup, sampai penengah konflik rebutan sandal. Tak heran kalau santri menghormati kiai dengan level yang kadang bikin tamu luar bertanya, “Ini penghormatan atau feodalisme versi syar’i?”

Martin van Bruinessen dalam bukunya yang berjudul Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat, mencatat bahwa struktur pesantren memang berpusat pada kiai, tetapi basisnya adalah keilmuan dan karisma spiritual, bukan paksaan. Selain diistilahkan sebagai pusat struktur, Clifford Geertz dalam karyanya Javanese Kijaji mengistilahkan kiai sebagai makelar budaya (cultural broker). Berbagai istilah muncul bukan karena sekelompok masyarakat sedang membangun sistem kerajaan bernama pesantren. Masyarakat lebih menempatkan kiai sebagai figur yang dihormati karena dianggap ‘gudang ilmu’, dan juga bukan karena punya kuota kekuasaan seperti pejabat. Begitu pula analisis Karel A. Steenbrink dalam buku Pesantren, Madrasah, Sekolah menegaskan bahwa kepemimpinan kiai tumbuh dari tradisi panjang transmisi ilmu dan barokah, bukan dari struktur patron-klien yang kaku.

Santri menunduk, mencium tangan, patuh pada titah sekilas terlihat seperti feodalisme mini. Tapi kalau ditanya, mereka jawabnya sederhana: “Lho, ini adab, bukan tunduk buta.” Penghormatan santri bukanlah penghambaan, tetapi pengakuan bahwa ulama adalah pewaris Nabi. Dalam tradisi pesantren, hormat pada kiai itu semacam ‘fitur budaya’, bukan doktrin kekuasaan.

Jadi kalau ada yang melihat pesantren sebagai kerajaan kecil, mungkin perlu datang lebih dekat. Di situ akan tampak bahwa kiai bukan raja, tetapi pelayan ilmu. Santri hormat bukan karena takut, melainkan karena cinta tradisi.

Gambaran Pesantren Tradisional di Indonesia

Di Indonesia, pesantren sering digambarkan sebagai tempat yang penuh kesederhanaan: bangunan kayu, sandal berjajar seperti parkiran sepeda motor, dan suara ngaji yang bersahutan sejak subuh sampai malam. Meski demikian, ada satu hal yang tidak pernah sederhana di pesantren: posisi kiai. Sosok ini sering dianggap sebagai campuran unik antara guru besar, konsultan kehidupan, dan mursyid yang memandu spiritual bahkan sering dijadikan tempat konsultasi psikologis gratis oleh masyarakat.

Di balik humor dan romantisme ini muncul pertanyaan serius: apakah penghormatan santri kepada kiai merupakan bentuk kuasa feodalistik? Ataukah hal ini malah menjadi masterpiece tradisi luhur yang berdiri di atas sejarah panjang transmisi ilmu dan adab? Pada titik ini, kita perlu melihat lebih dekat dinamika pesantren, lebih dalam dari sekadar cium-tangan dan “siap kiai”.

Pada tataran inilah karya Bruinessen dan Steenbrink menemukan relevansinya. Keduanya melihat pesantren dari sudut akademik, tetapi tetap jujur: ada struktur kekuasaan, ada karisma, ada tradisi, dan ada realitas sosial yang membuat pesantren tetap bertahan sebagai institusi pendidikan tertua di Indonesia.

Pesantren: Sebuah Dunia dengan Orbit yang Unik

Bruinessen, misalnya, menggambarkan pesantren sebagai “dunia kecil” dengan orbitnya sendiri. Santri, ustaz, dan kiai berada dalam formasi sosial yang jauh lebih cair dibanding dengan apa yang dibayangkan orang luar. Faktanya, kiai adalah pusat orbit, tapi bukan seperti matahari yang kejam membakar planet, melainkan cahaya yang jadi sumber kehangatan dan arah.

Kiai dalam kajian Bruinessen bukan figur otoriter, tetapi “penjaga ilmu” (custodian of knowledge). Ia dihormati bukan karena memegang kekuasaan administratif, tetapi karena menjadi sumber keberkahan (barokah) dan tradisi keilmuan. Dengan kata lain, penghormatan itu lahir bukan dari ketakutan, tetapi dari keyakinan teologis.

Steenbrink memperkuat pandangan ini. Ia menegaskan bahwa kepemimpinan kiai bersifat karismatik, tetapi bukan karisma politik. Karisma kiai lahir dari keilmuan dan kedalaman spiritual. Bahkan ketika pesantren berkembang dan mulai sistematis, kiai tetap menjadi figur sentral karena dianggap sebagai pewaris mata rantai transmisi ilmu dari generasi ke generasi. Jadi, jika ada yang bertanya mengapa santri tampak “patuh banget”, jawabnya tentu bukan karena mereka sedang terjebak dalam feodalisme, tetapi sedang mempraktikkan adab Islam klasik.

Gambaran Humor: Dunia Santri dan “Kuasa” Kiai

Untuk memahami dinamika ini, mari kita masuk sejenak ke kehidupan santri. Bagi orang luar, beberapa hal mungkin tampak berlebihan. Gambaran santri menunduk ketika lewat di depan kiai; berbondong-bondong berebut mencium tangan; menyakralkan perintah kiai; dan pengawalan resmi terhadap sandal kiai merupakan hal-hal yang akan memantik komentar, “Wah, jangan-jangan ini feodalisme berkedok agama.”

Tentu mudah menyimpulkan begitu, terutama bagi orang yang terbiasa dengan demokrasi seperti "silakan protes kapan saja”: sebuah budaya yang tidak selalu kompatibel dengan tradisi pesantren. Namun humor di balik itu adalah: santri melakukannya dengan bahagia. Tidak ada yang merasa ditindas ketika mengangkat kitab kiai. Bahkan, ada santri yang bangga ketika diminta untuk memfotokopi kitab dalam keadaan mendesak, panas-pansan, atau bahkan hujan-hujanan. Hal tersebut menjadi semacam badge of honor.

Jika dilihat dari kacamata sosiologi modern, ini disebut sebagai otoritas karismatik, bukan feodalisme. Dalam feodalisme, rakyat patuh karena takut kehilangan tanah atau keselamatan. Di pesantren, santri patuh karena takut kehilangan barokah. Keduanya memang sama-sama membuat orang memberikan pengakuan akan otoritas tertentu untuk dipatuhi, tapi dengan nuansa yang berbeda.

Di tengah dunia yang semakin memuja kebebasan individual, pesantren menghadirkan wajah lain: kebebasan yang dipadukan dengan adab, kritik yang dipadukan dengan hormat, dan pengabdian yang dipadukan dengan kesadaran spiritual. Kiai bukan raja, santri bukan rakyat. Mereka adalah pewaris dan pencari ilmu dalam sebuah rumah besar bernama pesantren. Dan di rumah itu, hormat bukan tunduk; hormat adalah cinta.

Referensi

Bruinessen, M. van. (1999). Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat. Mizan.

Steenbrink, K. A. (1986). Pesantren, Madrasah, Sekolah. LP3ES.

Geertz, Clifford. (1960). Javanese Kijaji. Cambridge University Press.

Editor: R. Agnibayaa
Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال