Anis Rahmadhani, Arina
Sa’diyah, Asy Asywara Fitroh, Faidah Walianti
Mahasiswa Tadris Bahasa Indonesia UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo
Pengantar Editor:
Ponorogo dahulu kala merupakan suatu kerajaan bernama Wengker yang berada di sebuah daerah antara Gunung Lawu dan Wilis. Menurut beberapa sumber, Wengker berarti "wewengkon kang angker" atau tempat yang angker. Saat zaman Majapahit, kerajaan Wengker berada dalam kekuasaan kerajaan besar yang berpusat di Trowulan Mojokerto tersebut. Ketika pertama kali Bathara Katong menginjakkan kaki di Wengker atau Ponorogo, masyarakat setempat masih memercayai animisme-dinamisme dan rasa takzim pada dewa-dewa dan kekuatan alam tak kasat mata. Karena Bathara Katong, anak Raja Majapahit Brawijaya V tersebut, membawa misi keislaman, maka menjadi logis jika terjadi proses sinkretisme yang kental dalam tradisi Ponorogo. Sinkretisme yang ada dalam tradisi Ponorogo salah satunya dapat dibaca melalui Folklor yang dimiliki masyarakat Ponorogo.
Perlu ditegaskan di awal bahwa kajian Folklor tidak bermaksud menentukan cerita, tuturan, legenda, mitos, atau tradisi mana yang paling sahih. Dalam Folklor dimungkinkan munculnya berbagai variasi pengisahan, bahkan untuk sebuah kisah atau fenomena yang sama. Semua variasi tersebut layak dan sudah seharusnya dicatat dan didiseminasikan. Folklor yang dimaksud di sini tidak semata-mata tradisi lisan, namun juga dapat berupa folklor dalam bentuk lain seperti makanan, arsitektur, permainan rakyat dan lain sebagainya.
komunitaspintu.id akan menayangkan secara berseri tulisan mahasiswa UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo dalam rangka mata kuliah Folklor. Meskipun teknik pengambilan data yang digunakan merujuk pada tindakan riset lapangan, yakni observasi dan wawancara, namun hasil yang dituliskan bisa juga dipandang sebagai sebuah karya jurnalistik. Setiap seri tulisan mengisahkan folklor dalam satu desa yang mencakup asal-usul nama desa (Toponimi), legenda, mitos, dan tradisi. Tulisan-tulisan bernuansa jurnalistik ini masih jauh dari kata sempurna, dan di kemudian hari diperlukan revisi-revisi atau penggalian data yang lebih dalam, namun setidaknya langkah awal untuk menginventarisasi folklor Ponorogo sudah dimulai. Selamat Membaca.
***
Profil Desa Tajug
Desa Tajug memiliki luas wilayah 138.845 hektar dengan beragam lanskap mulai dari lahan pertanian, hutan, hingga area pemukiman. Batas wilayah Desa Tajug ditandai dengan batas-batas alam dan administratif yang jelas, yaitu 1) Sebelah selatan berbatasan dengan desa Ronosentanan; 2) Sebelah barat berbatasan dengan desa Patihan Kidul; 3) Sebelah timur berbatasan dengan desa Mrican; 4) Sebelah utara berbatasan dengan desa Mangunsuman. Dengan luas wilayah yang signifikan dan lanskap yang beragam, Desa Tajug memiliki potensi besar dalam pengembangan sektor pertanian dan pelestarian lingkungan. Letak geografisnya yang strategis, dikelilingi oleh desa-desa lain, memperkuat konektivitas dan kerja sama antarwilayah. Secara keseluruhan, karakteristik wilayah Desa Tajug mencerminkan keseimbangan antara alam dan permukiman yang mendukung kehidupan masyarakat setempat.
Data yang diperoleh dari kantor Desa Tajug menunjukkan bahwa jumlah penduduk Desa Tajug mencapai sekitar 2.972 jiwa, yang terdiri dari laki-laki 1.449 orang dan perempuan 1.523 orang dari berbagai kelompok umur dan latar belakang sosial ekonomi. Komposisi penduduk yang cenderung seimbang antara laki-laki dan perempuan mencerminkan dinamika sosial yang stabil di Desa Tajug. Keberagaman usia dan latar belakang sosial ekonomi menciptakan potensi sumber daya manusia yang beragam dan produktif. Hal ini menjadi modal penting bagi pembangunan desa yang berkelanjutan.
Selain itu, dengan memahami pola mata pencaharian ini, kita dapat melihat bagaimana masyarakat Desa Tajug memanfaatkan lingkungan mereka secara berkelanjutan dan adaptif. Variasi dalam mata pencaharian ini tidak hanya mencerminkan kekayaan sumber daya alam desa, tetapi juga menunjukkan kemampuan masyarakat untuk beradaptasi dengan perubahan zaman, dan sekaligus menjaga tradisi dan budaya mereka tetap hidup.
Toponimi Desa
Menurut Samad, sesepuh desa Tajug yang juga sekaligus Juru Kunci Makam Girimarto atau biasa disebut dengan Makam Tajug, pada zaman dahulu kala, desa Tajug merupakan bagian dari Kadipaten Ponorogo di wilayah timur. Daerah ini dulu bernama Kadipaten Pedanten. Kata ‘tajug’ berasal dari ucapan ‘Bupati’ pertama desa Tajug, KRMA Merto Adinegoro yaitu “Papan Panggonan Sing Tak Jujuk” (tempat yang saya tuju) untuk istirahat kala itu. Saat itu KRMA Merto Adinegoro sedang dalam perjalanan ke kawedanan Pulung. Seiring berjalannya waktu, agar mudah diingat penyebutan frasa “Tak Jujuk” berubah menjadi tajug.. Pada akhirnya, Tajug menjadi sebuah desa mandiri yang lepas dari Kadipaten Pedanten.
Melalui eksplorasi asal-usul nama desa, kita dapat menggali bagaimana identitas komunitas dibentuk dan dipertahankan, serta bagaimana masyarakat tersebut memandang diri mereka sendiri dan dunia di sekitarnya. Nama-nama desa yang kerap kali muncul dari peristiwa historis, tokoh legendaris, atau kepercayaan lokal, memberikan gambaran tentang cara pandang dan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat.
Makam Bupati Tajug (KRMA Mero Adinegoro)
Dalam konteks ini, penelitian folklor, khususnya tentang toponimi, tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk melestarikan cerita rakyat dan tradisi lisan, tetapi juga sebagai cermin dinamika sosial dan budaya yang hidup di setiap sudut desa, memberikan wawasan yang kaya tentang evolusi komunitas dan kearifan lokal yang melekat dalam nama-nama tempat mereka.
Folklor Yang Ada di Desa Tajug
Folklor yang ada di desa sering kali mencerminkan kekayaan budaya dan tradisi lisan yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Folklor menjadi bagian tidak terpisahkan dari identitas komunitas tersebut. Tulisan pada bagian ini mengulas berbagai aspek dari cerita rakyat, seperti 1) Mitos; 2) Legenda; serta 3) Upacara dan adat istiadat yang ada di desa tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dengan Jemiyo, kepala desa Tajug, dapat diperoleh data sebagai berikut.
Mitos Mitos memainkan peran sentral dalam kehidupan manusia sebagai narasi yang kaya akan simbolisme dan berfungsi sebagai sarana untuk menjelaskan asal-usul alam semesta, fenomena alam, serta berbagai aspek kehidupan manusia. Selain itu, mitos berfungsi sebagai media penting untuk menyampaikan nilai-nilai moral dan ajaran etika yang dianggap penting oleh masyarakat setempat.
Salah satu mitos yang sudah menjadi kepercayaan masyarakat desa Tajug adalah bahwa dalam hal kegiatan apapun, baik itu hajatan, walimatul ‘arsy (pernikahan) ataupun perayaan-perayaan lainnya, baik bersih desa, grebeg suro, di desa Tajug tidak disarankan menyelenggarakan kesenian wayang kulit. Mitos tersebut sampai hari ini masih dipegang teguh oleh warga masyarakat desa Tajug. Hal ini dikarenakan mitos tersebut sudah menjadi tradisi atau adat istiadat yang bersifat turun-temurun dari nenek moyang pada zaman dahulu. Alasan yang melatarbelakangi tidak disarankannya kesenian wayang kulit di desa Tajug adalah fakata kuatnya nilai-nilai agama Islam yang dipegang oleh masyarakat desa Tajug. Menurut pemahaman masyarakat desa Tajug, kesenian wayang kulit kental berakar dari agama non-Islam.
Dalam konteks ini, dapat diambil sebuah simpulan bahwa pengetahuan dan pemahaman tentang mitos yang ada memberikan wawasan yang mendalam mengenai cara pandang masyarakat terhadap dunia sekitarnya, serta menggambarkan bagaimana nilai-nilai, norma, dan identitas budaya ditransmisikan dari generasi ke generasi. Dengan demikian, pemahaman yang lebih lengkap tentang mitos-mitos ini tidak hanya memperkaya pengetahuan kita tentang warisan budaya lokal, tetapi juga menggarisbawahi pentingnya pelestarian tradisi lisan di era modern.
Legenda Dalam penelitian folklor, legenda menempati posisi penting sebagai narasi sejarah yang kaya akan elemen-elemen fantastis dan heroik, serta berfungsi sebagai media untuk melestarikan dan menyampaikan warisan budaya. Selain itu, legenda juga sebagai sarana untuk menanamkan nilai-nilai moral, dan memperkuat solidaritas di suatu masyarakat.
Masyarakat desa Tajug memiliki sebuah legenda berupa simbol gaib yang dipercaya oleh masyarakat desa Tajug. Simbol tersebut berupa hewan harimau, yang dalam kepercayaan lokal melambangkan kekuatan, keberanian, dan perlindungan. Menurut Jemiyo, narasumber sekaligus kepala Desa Tajug, Harimau dianggap sebagai penjaga gaib desa yang mampu mengusir roh jahat dan melindungi penduduk dari berbagai marabahaya. Kepercayaan ini tercermin dalam berbagai upacara adat dan ritual yang dilakukan oleh masyarakat, di mana simbol harimau sering kali hadir dalam bentuk patung, lukisan, atau cerita rakyat yang diwariskan secara turun-temurun.
Acara Kesenian Desa Tajug Yang Menampilkan Boneka Harimau
Dapat disimpulkan di sini bahwa legenda yang diwariskan turun-temurun bukan hanya sekadar cerita sejarah yang mengandung elemen fantastis dan heroik, tetapi juga berfungsi sebagai pedoman moral yang mencerminkan nilai-nilai dan norma-norma yang harus dipatuhi oleh warga masyarakat.
Upacara dan Adat Istiadat
Upacara dan adat istiadat menempati posisi yang sangat penting sebagai manifestasi konkret dari warisan budaya yang kaya dan beragam. Upacara-upacara dan adat istiadat yang dilakukan oleh masyarakat desa Tajug tidak hanya mencerminkan kepercayaan, nilai-nilai, dan norma-norma sosial yang dianut oleh komunitas tersebut, tetapi juga berfungsi sebagai sarana untuk memperkuat ikatan sosial, membangun solidaritas, dan meneguhkan identitas kolektif.
Sebagai bentuk penghormatan kepada Bupati pertama desa Tajug, KRMA Merto Adinegoro, dilakukan ritual berdoa bersama setiap malam Jum’at di makam Tajug. Menurut kepercayaan masyarakat desa Tajug, hari Jum’at Legi merupakan hari yang terbaik dari hari yang lainnya. Ritual tersebut diikuti oleh seluruh masyarakat desa Tajug yang berkenan mengikuti acara tersebut. Dalam acara tersebut setiap warga yang hadir dengan sukarela membawa makanan dan minuman untuk dimakan bersama. Ritual doa bersama tersebut dipimpin oleh sesepuh asli dari desa Tajug. Di makam Tajug sendiri terdapat enam titik makam, yang terdiri dari 1) Makam Bupati pertama desa Tajug, KRMA Merto Adinegoro; 2) Kerabat dekat Bupati desa Tajug; 3) Makam umum desa Tajug, dan 4) Makam china Tajug.
Makam di Tajug
Melalui ritual dan adat istiadat, masyarakat Tajug generasi penerus diajarkan untuk menghormati leluhur, dan mematuhi norma-norma yang berlaku. Hal ini menegaskan bahwa di tengah arus modernisasi dan perubahan sosial yang terus berlangsung, keberlanjutan upacara dan adat istiadat ini menjadi sangat penting dalam mempertahankan ikatan sosial dan solidaritas antar sesama warga masyarakat.