Oleh: Oktavia Try Wulandari, Wahyu Fifit Setyaningrum, Rendi Nur Muhammad
Mahasiswa UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo
Desa Kepuh Rubuh merupakan sebuah wilayah dengan luas sekitar 24,02 kilometer persegi yang dihuni oleh kurang lebih 5.667 jiwa. Terletak di antara wilayah-wilayah yang saling berbatasan, desa ini memiliki batas-batas sebagai berikut: di sebelah barat berbatasan dengan jalan raya masuk desa Kepuh Rubuh, sebelah timur berbatasan dengan wilayah Gandu, bagian selatan berbatasan dengan desa Bajang dan Gandu, sementara di utara berbatasan dengan Bajang dan Demangan.
Secara geografis, sebagian besar wilayah desa Kepuh Rubuh dikelilingi oleh area persawahan yang subur. Kondisi ini sangat mendukung aktivitas pertanian sebagai mata pencaharian utama penduduk. Mayoritas warga di desa ini berprofesi sebagai petani yang menanam dan mengelola lahan. Komoditas pertanian yang dihasilkan pun beragam, tidak hanya padi sebagai hasil utama, tetapi juga jagung, kacang tanah, dan ketela. Biasanya, para petani menyesuaikan jenis tanaman yang ditanam dengan musim tertentu, seperti padi dan jagung yang lebih banyak ditanam saat musim penghujan dan kemarau.
Menurut Bapak Kepala Desa Kepuh Rubuh, Purwanto, selain bertani, masyarakat desa Kepuh Rubuh juga memiliki profesi lain yang turut menunjang kehidupan ekonomi mereka. Ada yang menjadi pedagang jajanan keliling, pedagang sayur, guru, hingga pekerja kantoran. Meskipun memiliki pekerjaan utama di luar bidang pertanian, banyak dari mereka tetap menjalankan aktivitas bertani sebagai pekerjaan tambahan untuk menambah penghasilan. Dengan demikian, identitas sebagai petani masih melekat erat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Kepuh Rubuh.
Foto Bersama Bapak Purwanto
Toponimi Desa Kepuh Rubuh
Asal-usul nama Desa Kepuh Rubuh memiliki dua versi yang berkembang di tengah masyarakat. Salah satu versi yang tercatat secara tertulis berasal dari buku sejarah desa, sementara versi lainnya dituturkan secara lisan oleh juru kunci makam Mbah Kiso, tokoh lokal yang juga dikenal sebagai pembabat awal wilayah desa tersebut. Masyarakat setempat menyebut juru kunci tersebut dengan nama akrab Mbah Kacuk.
Dalam versi yang tertulis pada buku sejarah desa, disebutkan bahwa kisah bermula dari perjalanan Raden Katong, atau yang dikenal juga sebagai Batoro Katong, anak bungsu dari Prabu Brawijaya. Sebagai seorang wali dan pujangga Islam, Raden Katong mendapatkan amanah dari sang ayah untuk menjaga dan menguasai wilayah lereng timur Gunung Lawu.
Setibanya di wilayah tersebut, ia bertemu seorang pertapa yang mengaku bahwa laku spiritualnya telah mencapai puncak atau pono dalam hal rogo (rohani dan jasmani). Pertapa tersebut kemudian menyerahkan tempat itu kepada Raden Katong dan menghilang. Sebagai bentuk penghormatan, Raden Katong menamai wilayah itu dengan nama Ponorogo.
Namun, misi dakwah Raden Katong tidak berjalan mulus. Salah satu bawahannya, Ki Ageng Kutu (atau Suryo Ngalam), yang memeluk agama Buddha, menolak ajakan untuk memeluk Islam. Penolakan ini memicu ketegangan yang berujung pada peperangan. Berkat strategi dan kepemimpinan yang cermat, Raden Katong berhasil memenangkan pertempuran.
Dalam perjalanan pulangnya, Raden Katong beristirahat di sebuah hutan belantara di wilayah utara kediaman Ki Ageng Kutu. Di lokasi tersebut, sebuah pohon kepoh yang sangat besar tiba-tiba roboh (rubuh). Peristiwa ini dianggap sebagai pertanda penting, dan Raden Katong kemudian menancapkan prasasti yang dinamai Kepohroboh di tempat tersebut. Nama ini kelak menjadi cikal bakal nama desa: Kepuh Rubuh.
Setelah era Raden Katong, wilayah ini dilanjutkan proses pembabatannya oleh Idris, putra dari Nor Sodik dan cucu dari Ki Ageng Mohammad Hasan Besari, seorang tokoh ulama besar dari Jetis, Ponorogo. Namun, Idris tidak menyelesaikan pembabatan lahan tersebut karena harus bergabung dalam Perang Diponegoro di wilayah Solo. Tugas itu kemudian diteruskan oleh anaknya, Kiso, yang dikenal sebagai orang pertama yang benar-benar menetap dan mengelola wilayah tersebut hingga menjadi permukiman. Sejak saat itulah, wilayah tersebut resmi dikenal sebagai Desa Kepuh Rubuh, nama yang bertahan hingga kini.
Kisah asal-usul Desa Kepuh Rubuh tidak hanya tercatat dalam buku sejarah, tetapi juga hidup dalam ingatan dan tutur lisan para sesepuh. Salah satunya datang dari Mbah Suparnun, sosok yang sangat dihormati oleh masyarakat setempat. Walau telah berusia lanjut, Mbah Suparnun yang lebih akrab disapa Mbah Kacuk ini masih terlihat sehat dan aktif. Ia dikenal sebagai juru kunci makam Mbah Kiso, tokoh penting yang diyakini sebagai pembabat awal wilayah desa tersebut.
Menurut penuturan Mbah Kacuk, nama "Kepuh Rubuh" berkaitan erat dengan babad Ponorogo, terutama kisah pengejaran Batoro Katong terhadap Ki Ageng Kutu atau Surya Ngalam. Dahulu, wilayah yang kini menjadi Desa Kepuh Rubuh masih berupa hutan lebat. Dalam pelariannya, Ki Ageng Kutu bersembunyi di balik pohon kepuh yang besar. Namun, Batoro Katong yang mengejarnya mengetahui tempat persembunyian itu dan langsung menusukkan pusaka andalannya, Condongrawe, ke batang pohon kepuh tersebut. Tusukan itu menyebabkan pohon kepuh roboh seketika. Peristiwa inilah yang menjadi asal mula nama "Kepuh Rubuh", yang kemudian diresmikan sebagai nama desa pada tahun 1896, bertepatan dengan masa pembabatan Ponorogo.
Setelah peristiwa itu, wilayah tersebut belum langsung dihuni. Sekitar awal tahun 1800-an, seorang tokoh bernama Kyai Idris mulai melakukan pembabatan hutan untuk membuka permukiman. Kyai Idris adalah keturunan dari Kyai Sodik Nur Hafid, tokoh pembabat Tegalsari, sebuah pusat pendidikan Islam ternama di Ponorogo. Pada tahun 1872, Kyai Idris berguru ke Tegalsari mengikuti Bagus Harun yang saat itu melarikan diri ke sana. Setelah menyelesaikan masa belajarnya, Kyai Idris justru memutuskan untuk menetap di Tegalsari dan tidak kembali ke Kepuh Rubuh. Ia kemudian mengamanahkan pembabatan lanjutan desa kepada putranya, Kyai Muhammad Muso, yang oleh masyarakat lebih dikenal sebagai Mbah Kiso.
Berdasarkan penelusuran di lapangan, ternyata setiap dusun di Desa Kepuh Rubuh menyimpan kisah unik di balik nama yang mereka sandang. Cerita-cerita ini berasal dari tradisi lisan masyarakat dan diwariskan turun-temurun, mencerminkan kekayaan sejarah dan kearifan lokal desa tersebut.
Salah satu dusun yang memiliki kisah menarik adalah Dusun Pancur. Nama "Pancur" berasal dari peristiwa legendaris ketika Mbah Surowowo, seorang tokoh sakti, menombak seekor macan. Setelah ditombak, macan tersebut kabur ke sebuah wilayah sambil mengucurkan darah yang memancar deras. Karena darah yang "mancur-mancur" itulah, wilayah tersebut kemudian dinamakan Dusun Pancur.
Sementara itu, Dusun Karanggayam mendapatkan namanya dari banyaknya pohon gayam yang tumbuh subur di daerah tersebut. Keberadaan pohon gayam yang dominan menjadikan nama ini melekat hingga sekarang.
Berbeda lagi dengan Dusun Jalu Arah, yang konon berasal dari dua kata: "jalu" yang berarti laki-laki, dan "arah" yang dalam bahasa Jawa berarti mengajar atau mengarahkan. Dahulu, wilayah ini diyakini sebagai tempat para lelaki belajar atau menuntut ilmu, sehingga diberi nama Jalu Arah.
Adapun Dusun Tonggoiro memiliki asal-usul yang tak kalah menarik. Nama ini berasal dari kata "tonggo" (tetangga) dan "oro-oro", yang berarti sawah atau lahan terbuka. Penamaan ini merujuk pada posisi geografis dusun tersebut yang berdampingan langsung dengan area persawahan yang luas.
Cerita-cerita ini tak hanya menjadi identitas lokal, tetapi juga memperkaya khazanah sejarah lisan di Desa Kepuh Rubuh, membuktikan bahwa setiap jengkal tanah di desa ini menyimpan makna dan memori tersendiri.
Saat Mbah Kiso melanjutkan pembabatan wilayah, ia menemukan sebuah rumah tua yang diyakini sebagai peninggalan Kyai Idris. Rumah itu terlilit semak belukar dan tertutup pepohonan lebat, seolah-olah muncul tiba-tiba dari dalam rimba. Oleh warga setempat, rumah itu disebut sebagai “Rumah Tiban”, yang hingga kini masih berdiri di sebelah masjid desa. Namun, kini rumah tersebut telah terhalang bangunan baru di bagian depannya, sehingga tidak lagi terlihat dari luar.
Folklor Desa Kepuh Rubuh
Berdasarkan data yang diperoleh melalui wawancara dengan narasumber, yakni bapak Kepala Desa Kepuh Rubuh dan Mbah Kacuk beberapa folklor yang terdapat di Desa Kepuh Rubuh di antaranya adalah legenda "Rumah Tiban", Mitos "warna hijau", dan tentang Wayang kulit. Legenda dan mitos tersebut diwariskan secara turun-temurun, meskipun di era modern ini sebagian warga sudah mulai meninggalkannya. Namun meskipun demikian, folklor-folklor yang ada tetap menjadi khazanah budaya masyarakat Desa Kepuh Rubuh.
Mitos Tenda dan Pakaian Hijau
Masyarakat Desa Kepuh Rubuh masih memegang erat tradisi dan kepercayaan turun-temurun, termasuk sejumlah mitos yang telah menjadi bagian dari kehidupan sosial mereka. Beberapa mitos masih diyakini hingga kini, sementara yang lain perlahan mulai hilang seiring waktu.
Salah satu mitos yang paling melegenda di desa ini adalah himbauan untuk tidak menggunakan tenda berwarna hijau saat menggelar pesta pernikahan. Masyarakat percaya bahwa tenda berwarna hijau dapat mengundang gangguan gaib. Gangguan tersebut tidak memiliki bentuk yang pasti, namun dipercaya berasal dari makhluk halus yang sudah lama “bermukim” di kawasan desa. Meski tak semua warga pernah mengalaminya secara langsung, keyakinan terhadap mitos ini tetap kuat di kalangan masyarakat setempat.
Tak hanya itu, mitos serupa juga berkembang di Dusun Pancur, yang terletak di sebelah barat Sungai Kepuh Rubuh. Di dusun ini, masyarakat meyakini bahwa mengenakan pakaian berwarna hijau dapat menyebabkan seseorang mudah kesurupan, terutama jika berada di lokasi tertentu yang dianggap “wingit” atau angker. Konon, orang-orang yang nekat lewat di kawasan itu dengan mengenakan pakaian hijau kerap mengalami kejadian aneh, mulai dari kerasukan hingga kecelakaan yang sulit dijelaskan secara logis.
Meski mitos ini dulu begitu kuat, belakangan kejadian-kejadian tersebut mulai jarang terdengar. Seiring perubahan zaman dan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pendidikan serta logika, sebagian warga mulai menganggap mitos-mitos tersebut sebagai bagian dari cerita masa lalu. Namun demikian, kisah-kisah ini tetap menjadi warna tersendiri dalam budaya lokal Kepuh Rubuh—menjadi pengingat akan kedekatan masyarakat desa dengan alam, tradisi, dan warisan spiritual nenek moyangnya.
Wejangan Mbah Kiso dan Mitos Larangan Membangun Makam
Di tengah masyarakat Desa Kepuh Rubuh, terdapat sebuah mitos yang cukup dikenal mengenai makam Mbah Kiso, tokoh spiritual dan pembabat awal desa tersebut. Mitos ini berakar dari sebuah wejangan yang konon pernah disampaikan langsung oleh Mbah Kiso sebelum wafat: “Makamku tidak perlu dibangun. Daripada membangun makam saya, lebih baik membangun hati nurani masing-masing.” Wejangan itu lantas berkembang menjadi larangan tak tertulis bahwa makam Mbah Kiso tidak boleh dibangun secara fisik.
Namun, pada tahun 2001, para sesepuh dan tokoh penting di desa Kepuh Rubuh memutuskan untuk membangun makam tersebut. Niat mereka bukan untuk menantang mitos atau melanggar wejangan leluhur, melainkan sebagai bentuk ta’dim (penghormatan) terhadap Mbah Kiso. Pembangunan dilakukan dengan maksud menjaga dan merawat tempat peristirahatan terakhir sang tokoh, sekaligus menciptakan ruang yang layak untuk warga berziarah dan mendoakan leluhurnya.
Kekhawatiran sebagian warga sempat muncul, apakah pembangunan ini akan memicu hal-hal tak diinginkan sebagaimana diyakini dalam mitos. Namun ternyata, pembangunan makam berjalan lancar tanpa gangguan apa pun. Bagi sebagian warga, hal ini menjadi pertanda bahwa selama niatnya tulus dan dilandasi penghormatan, maka peninggalan leluhur justru akan semakin bermakna dan terjaga.
Mitos Wayang dan Gamelan di Dusun Krajan
Hingga hari ini, masyarakat Dusun Krajan, salah satu bagian dari Desa Kepuh Rubuh, masih memegang teguh sebuah mitos tua yang berkaitan dengan himbauan untuk tidak menggelar pertunjukan wayang kulit. Warga setempat meyakini bahwa apabila seseorang nekat menggelar wayangan di dusun tersebut, maka sesuatu yang tidak baik atau nasib sial akan terjadi. Kepercayaan ini berakar dari sebuah peristiwa di masa lampau, saat seorang warga mengundang pertunjukan wayang, namun tak lama setelahnya, musibah menimpa keluarga tersebut. Sejak saat itu, tradisi menanggap wayang menjadi hal yang dianggap tabu di Dusun Krajan.
Tak hanya wayang, himbauan serupa juga berlaku untuk pertunjukan gamelan di dusun ini. Warga percaya bahwa gamelan boleh dimainkan, namun hanya jika diiringi oleh sinden laki-laki. Apabila gamelan dibawakan dengan sinden perempuan, mitosnya, akan datang musibah, baik kepada penyelenggara maupun penonton. Kepercayaan ini membuat masyarakat sangat selektif dan berhati-hati dalam menyelenggarakan hiburan tradisional.
Meski sebagian generasi muda mulai mempertanyakan kebenaran mitos tersebut, hingga kini tidak ada yang berani melanggarnya. Mitos-mitos ini menjadi bagian dari identitas budaya Dusun Krajan—suatu bentuk keseimbangan antara warisan spiritual, rasa hormat terhadap leluhur, dan kehati-hatian dalam menjalani kehidupan.
Legenda Rumah Tiban: Warisan Ajaib di Jantung Desa Kepuh Rubuh
Di balik kisah pembabatan hutan oleh Mbah Kiso, sosok yang dikenal sebagai pelanjut perjuangan Kyai Idris dalam membuka wilayah Desa Kepuh Rubuh, tersimpan sebuah cerita yang hingga kini masih menjadi bagian dari kepercayaan masyarakat. Saat proses pembukaan lahan berlangsung, ditemukan sebuah rumah tua yang tertutup oleh semak belukar dan pepohonan lebat. Rumah tersebut diyakini sebagai peninggalan Kyai Idris. Kondisinya yang seolah “muncul tiba-tiba” dari balik hutan membuat warga menyebutnya sebagai “Rumah Tiban”, yang berarti rumah yang muncul secara ajaib atau tidak diketahui asal-usulnya.
Hingga kini, Rumah Tiban tersebut masih berdiri di sebelah masjid desa, meskipun telah tertutupi oleh bangunan baru di bagian depannya sehingga tidak mudah terlihat dari luar. Rumah ini tidak hanya dianggap sakral, tetapi juga menyimpan aura mistis yang membuatnya diperlakukan secara khusus oleh masyarakat sekitar.
Setiap kali akan dilakukan perbaikan atau renovasi, warga meyakini bahwa ritual khusus harus dilakukan terlebih dahulu. Kepercayaan ini bukan tanpa alasan. Salah satu peristiwa yang memperkuat keyakinan tersebut terjadi ketika seorang tukang bernama Mbah Sarlan mencoba memperbaiki tiang rumah tanpa didahului ritual. Saat menggergaji tiang penyangga, tiba-tiba kayu tersebut mengeluarkan api, sehingga membuat semua orang yang menyaksikannya terkejut dan takut. Sejak kejadian itu, ritual sebelum renovasi menjadi sebuah keharusan.
Bukan hanya soal renovasi, ternyata tidak semua orang diperkenankan berkunjung ke Rumah Tiban. Konon, orang luar yang datang dalam keadaan “kurang bersih” secara lahir maupun batin akan mengalami kejadian aneh. Mereka dikisahkan dapat melihat penampakan seperti burung merak, harimau, hingga ular besar. Salah satu kisah yang paling dikenal terjadi pada seorang camat dari Gampeng, Kediri, yang berniat mengunjungi rumah tersebut. Sebelum masuk, ia melihat seekor ular raksasa yang membuatnya ketakutan dan akhirnya membatalkan kunjungannya.
Bagi masyarakat Kepuh Rubuh, Rumah Tiban bukan sekadar bangunan tua. Ia adalah penanda sejarah, simbol spiritualitas, dan peringatan halus tentang pentingnya menghormati warisan leluhur yang tidak kasatmata.
Editor: R. Agnibayaa* Gambar hanya ilustrasi rekaan
Baca Seri Folklor Ponorogo:
Tags
Folklor Ponorogo