Folklor Ponorogo: Jejak Dewi Sekartaji di Desa Sekaran

 


Oleh: Ainaya Nur Fatimah, Ayu Anggita, Lutvia Anis Marselia
Mahasiswa UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo

Profil Desa Sekaran

Desa Sekaran merupakan salah satu desa yang ada di Kecamatan Siman, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Berdasarkan data administrasi Pemerintah Desa Sekaran tahun 2022, jumlah penduduk Desa Sekaran adalah 2.006 jiwa. Desa Sekaran termasuk daerah agraris sehingga mayoritas masyarakat bekerja di bidang pertanian.

Desa Sekaran Kecamatan Siman memiliki luas wilayah 158,257 Ha yang secara administratif terbagi dalam 3 dusun, 6 RW dan 14 RT. Dilihat dari pemanfaatan lahan, sebagaian besar berupa tanah kering yaitu untuk pemukiman seluas 69,102 Ha (43,66%), tegalan 0,400 Ha (0,25 %), sawah 88,628 Ha (56%), sedang sisanya 0,127 Ha terdiri dari perkebunan, tegalan, lahan usaha perikanan dan lain-lain. 

Secara Geografis Desa Sekaran terletak pada posisi koordinat 111° 17' - 111° 52' BT dan 7°49' 8°20' LS dengan ketinggian antara 92 sampai dengan 2.563 meter di atas permukaan air laut. Secara administratif Desa Sekaran termasuk dalam wilayah Kecamatan Siman Kabupaten Ponorogo yang memiliki batas-batas sebagai berikut; sebelah utara: Kelurahan Purbosuman; sebelah timur: Desa Siman; sebelah selatan: Desa Brahu; sebelah Barat: Desa Beton.

Toponimi Desa Sekaran

Konon, menurut cerita secara turun-temurun yang diyakini oleh warga masyarakat setempat, Desa Sekaran merupakan desa yang sudah sangat tua. Hal ini merujuk pada kisah tentang nama "Sekaran" yang dikaitkan dengan keberadaan Dewi Sekartaji. Dewi Sekartaji adalah nama lain dari Dewi Galuh Condro Kirono yang merupakan istri Prabu Panji Inukertapati, Raja Kerajaan Jenggala.

Menurut Abu Sujak, sesepuh Desa Sekaran yang menjadi narasumber, di Desa Sekaran terdapat suatu tempat yang dikenal dengan nama Boto Putih. Tempat tersebut diyakini masyarakat Desa Sekaran secara turun-temurun sebagai petilasan Dewi Sekartaji. Di tempat tersebut tertanam suatu benda (barang) milik Dewi Sekartaji. Penanaman benda milik Dewi Sekartaji tersebut dimaksudkan sebagai tanda bahwa ia pernah singgah, sebelum melanjutkan perjalanan pengembaraannya. Pada akhirnya, nama Sekartaji (Sekaran) diabadikan menjadi nama padukuhan sekaligus menjadi nama jalan, yakni Jalan Sekartaji yang ada di Desa Sekaran.

Meskipun Sekaran ditinggalkan oleh Dewi Sekartaji, tempat tersebut tetap menjadi padukuhan di tengah hutan belantara. Abu Sujak menambahkan, bahwa pada zaman Mataram, desa yang telah ditinggalkan tersebut didatangi oleh tiga pengembara dari wilayah Mataram. Ketiganya memiliki ilmu kedikdayaan yang luar biasa. Mereka bernama Djontiko, Djosrobo dan Djongkro.

Desa Sekaran

Folklor Desa Sekaran

Menurut data yang dapat digali Desa Sekaran memiliki beberapa folklor yang dapat dikisahkan. Folklor tersebut tentang kisah tiga tokoh sakti, legenda sumur tua, dan mitos perkawinan. Ketiga folklor tersebut dikisahkan secara turun-temurun di lingkungan Desa Sekaran.

Legenda Djontiko, Djosrobo, dan Djongkro

Dikisahkan Abu Sujak bahwa Mbah Djontiko setelah bertempat tinggal di Sekaran memiliki banyak anak. Tragisnya, menantu laki-lakinya selalu tertimpa kesialan hingga meninggal dunia. Maka Mbah Djontiko melakukan semadi (tapa brata). Semadinya tersebut menghasilkan petunjuk dari Yang Maha Kuasa. Petunjuk tersebut berupa anjuran untuk mencari menantu dari arah Timur Laut. Mbah Djontiko akhirnya mendapatkan menantu dari suatu tempat yang bernama Tanjung Sari (sekarang Desa Tanjung Sari Kec. Jenangan). Menantu tersebut bernama Oemar Djani atau lebih dikenal dengan nama Mardjani. Mardjani sendiri beragama Islam dan berbeda dengan mertuanya yang beragama Budha. Menurut cerita, Abu Sujak yang menjadi narasumber tulisan ini masih masuk garis keturunan dari Mbah Djontiko melalui Oemar Djani.

Abu Sujak

Oemar Djani atau Mbah Mardjani merupakan seorang ulama. Ia merupakan anak dari Mbah Oemar Sandi yang bertempat tinggal di Desa Tanjung Sari Kec. Jenangan. Secara garis keturunan, Oemar Sandi merupakan anak keturunan dari Mbah Oemar Sodik. Mbah Oemar Sodik atau Mbah Marsodik sendiri masih keturunan dari Sunan Bayat dari Jawa Tengah. Mbah Oemar sodik setelah meninggal dimakamkan di Desa Babadan Ponorogo.

Masih menurut penuturan Abu Sujak, Mbah Djontiko dikenal sebagai seorang winasis sakti mandra guna. Misalnya, andaikan ia ingin makan mentimun, maka beliau langsung menanam benihnya. Tak perlu waktu lama, tidak sampai setengah hari mentimun sudah bisa dipanen dan dimakan. Setelah Mbah Djontiko meninggal jasadnya dimakamkan di Makam Betri Desa Sekaran.

Kisah tentang Djosrobo dan Djongkro, dua orang yang mengiringi Mbah Djontiko di Sekaran, ternyata tidak dapat digali secara maksimal karena keterbatasan ingatan narasumber tentang kisah-kisah mereka. Abu Sujak menuturkan, Mbah Djosrobo lebih dikenal sebagai seorang winasis di bidang olah kanoragan dan setelah meninggal dimakamkan di Makam Bulu Desa Sekaran. Adapun tentang Djongkro bahkan tidak ada data yang dapat dituliskan.

Legenda Sumur Tua

Di Desa Sekaran yang terletak di wilayah Jalan Sekartaji, terdapat sebuah sumur tua yang dahulu kala dipercaya memiliki khasiat luar biasa. Pada zaman dahulu, warga setempat meyakini bahwa air dari sumur ini mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit, baik fisik maupun non-fisik. Meskipun tidak lagi difungsikan, namun kisah tentang sumur ini diwariskan turun-temurun. Menurut Abu Sujak, sumur tua ini diyakini berasal dari era Wali Songo dan memiliki keterkaitan dengan Sunan Kalijaga. Namun, Abu Sujak tidak dapat lebih banyak bercerita terkait sumur tua tersebut. Kisah tentang sumur ini tidak hanya menjadi bagian dari tradisi lokal, tetapi juga memperkuat hubungan spiritual masyarakat dengan sejarah dan ajaran para wali.

Sumur Tua Desa Sekaran

Mitos Perkawinan

Desa Sekaran memiliki sebuah mitos terkait perkawinan yang berhubungan dengan tempat tinggal calon mempelai. Mitos ini tentang pantangan perkawinan antara penduduk dari wilayah barat (nyebrang kulon) dan timur (nyebrang etan). Abu Sujak menuturkan, mitos larangan perkawinan tersebut dapat dibagi menjadi tiga. Pertama, perkawinan antara kedua wilayah tersebut tidak dapat dilakukan sama sekali. Kedua, perkawinan tersebut tetap dapat dilakukan, tetapi dengan mematuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. Ketiga, perkawinan dapat dilakukan dengan atau tanpa melakukan ritual-ritual tolak balak.

Namun, tidak semua masyarakat setempat percaya dengan mitos ini. Ada sebagian masyarakat yang tidak menganggap mitos ini sebagai sesuatu yang berlaku. Mereka menganggap bahwa pantangan dan segala konsekuensi tidak baik ketika melanggarnya merupakan semata-mata sugesti. Mereka berpendapat bahwa Tuhan telah menentukan nasib mereka, serta memahami bahwa kematian atau kesulitan tidak dapat dihindari. Dalam beberapa kasus, menurut Abu Sujak, beberapa pasangan memutuskan untuk menikahi orang dari desa lain yang berseberangan atau perkawinan "Gotong Dalan". Mereka berpendapat bahwa cinta dan kasih sayang antara pasangan lebih penting daripada mitos yang tidak berdasar.

Gambar Ilustrasi Pernikahan

Mitos ini telah menjadi bagian dari kekayaan budaya dan tradisi masyarakat setempat, meskipun tidak harus dipegang teguh dan dipercaya sepenuhnya. Namun, kisah mitos tersebut diceritakan dari generasi ke generasi sejak awal mula berdirinya desa. Masyarakat percaya bahwa pada waktu yang lampau, mitos ini lahir untuk menjaga tertib sosial dan jawaban atas permasalahan tertentu sebagaimana fungsi yang melekat pada konsep mitos.

Pantangan dalam perkawinan semacam ini juga terdapat di beberapa budaya dan daerah. Misalnya, mitos pantangan perkawinan antara masyarakat Jawa dan Sunda. Mitos tersebut muncul karena terdapat sejarah yang kurang baik antara kedua suku tersebut di masa lalu. Sejarah itu merujuk pada terjadinya Perang Bubat, di mana Jawa yang direpresentasikan oleh Gajah Mada-Majapahit membantai rombongan Raja Linggabuana dari Kerajaan Sunda. Kedatangan rombongan Raja Sunda ke Majapahit saat itu justru akan mengantarkan sang putri untuk dinikahkan dengan Raja Majapahit, yakni Hayam Wuruk. Luka sejarah ini yang akhirnya membuat masyarakat Sunda berpantang menikah dengan orang dari suku Jawa.

Gambar Ilustrasi Perang Bubat

Folklor Desa Sekaran menjadi simbol identitas dan perekat masyarakat setempat. Meskipun di tengah masyarakat terjadi perbedaan dalam memandang folklor yang ada, namun kisah-kisah yang ada faktanya diturunkan dan diceritakan  secara turun-temurun. Folklor Desa Sekaran dapat menjadi nilai alternatif yang dapat membantu menciptakan harmoni di dalam masyarakat.

Editor: R. Agnibayaa

Baca Seri Folklor Ponorogo:

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak