Ramadan selalu datang membawa berkah sekaligus godaan diskon yang membuat dompet menipis lebih cepat dari biasanya. Dari promo “Beli 2 Gratis 1” untuk kurma hingga “Flash Sale Sahur” yang entah mengapa selalu membuat kita tergoda melakukan proses checkout tanpa sadar. Namun, satu hal yang dapat digaris bawahi bahwa bulan Ramadan adalah momentum di mana ekonomi bergerak lebih cepat daripada biasanya.
Hukum ekonomi dasar, supply and demand, benar-benar diuji selama Ramadan. Permintaan melonjak drastis untuk barang-barang seperti sirup, daging sapi, dan mukena model terbaru. Sementara itu, produsen dan pedagang memanfaatkan momen ini untuk menaikkan harga secara "suka-suka." Jika Adam Smith, tokoh ekonomi klasik, masih hidup, ia mungkin akan mengamati fenomena ini sambil mengelus janggutnya, melihat bagaimana “invisible hand” justru berubah menjadi “greedy hand” yang menaikkan harga mendekati waktu berbuka puasa.
Ramadan juga menjadi bulan penuh paradoks ekonomi. Teori paradox of thrift dari John Keynes, pakar ekonomi asal Cambridge, menyatakan bahwa jika semua orang berhemat, ekonomi bisa melambat. Namun, saat Ramadan, yang terjadi justru sebaliknya: orang yang berniat ingin hidup sederhana justru lebih konsumtif. Seharusnya pengeluaran berkurang karena siang hari tidak makan karena berpuasa, tapi entah mengapa pengeluaran justru naik dua kali lipat. Sepertinya, Keynes perlu merevisi teorinya khusus untuk Ramadan di Indonesia.
Puncak dari konsumsi Ramadan ini adalah fenomena tahunan yang disebut “THR Effect.” Begitu uang Tunjangan Hari Raya masuk ke dalam rekening masing-masing, masyarakat kelas menengah langsung berubah menjadi ekonom dadakan. Mereka mengalokasikan dana dengan model seperti: 40% untuk baju baru, 30% untuk hampers, 20% untuk kulineran, dan 10% untuk nabung. Itu pun kalau masih ada sisa. Hukum marginal propensity to consume benar-benar berlaku di sini: makin besar pendapatan tambahan, makin besar juga pengeluarannya. Tabungan, Itu urusan nanti setelah Lebaran.
Namun, jangan lupa, Ramadan juga membawa efek domino pada inflasi. Kenaikan harga bahan pokok seperti daging dan minyak adalah bukti nyata bagaimana cost-push inflation bekerja. Para pedagang yang sudah mengantisipasi peningkatan permintaan memanfaatkan kesempatan ini untuk mengerek harga, dengan alasan klasik: “Harga dari supplier naik, Bu.” Padahal, kalau kita lihat catatan tahun-tahun sebelumnya, pola ini sudah berulang seperti sinetron Ramadan yang alurnya dapat ditebak.
Meski demikian, Ramadan juga membuka peluang besar bagi para pelaku usaha. Dari UMKM penjual takjil hingga industri e-commerce yang memanfaatkan scarcity effect dengan iklan “Diskon Ramadan Terbatas! Hanya 3 Jam Lagi!”—semuanya berlomba-lomba mengambil keuntungan. Ini sejalan dengan teori behavioral economics, di mana keputusan belanja sering kali didorong oleh emosi dan bukan rasionalitas. Maka, tidak mengherankan, banyak orang yang baru sadar isi dompet mereka setelah Ramadan berakhir.
Ramadan juga memperlihatkan sisi baik dari ekonomi berbasis filantropi. Zakat, infak, dan sedekah menjadi instrumen redistribusi kekayaan yang efektif, sejalan dengan teori welfare economics. Konsep ini menjelaskan bagaimana mekanisme sosial dapat membantu mengurangi ketimpangan ekonomi. Maka, tidak mengejutkan jika masjid, panti asuhan, dan lembaga amal kebanjiran donasi selama bulan suci ini.
Lalu, bagaimana cara agar Ramadan tidak membuat keuangan kita berakhir di fase “Syawal Krisis Keuangan". Kuncinya ada di teori budget constraint: belanjalah sesuai batasan anggaran, bukan batasan emosi. Diskon boleh menggiurkan, tapi kalau dompet sudah megap-megap, mungkin lebih baik fokus pada esensi Ramadan: menahan diri. Jangan sampai kita sukses menahan lapar dan haus, tapi gagal menahan nafsu belanja.
Pada akhirnya, Ramadan bukan hanya soal berbuka dengan menu paling mewah atau memborong baju baru. Di balik pergerakan ekonomi yang semakin dinamis, Ramadan adalah momen untuk belajar keseimbangan—antara konsumsi dan berbagi, antara diskon dan kebutuhan, serta antara berkah dan dompet yang tetap sehat sampai Lebaran. Karena kalau tidak, setelah Ramadan bisa-bisa kita lebih banyak berpuasa, bukan karena ibadah, tapi karena tanggal gajian masih jauh!
Editor: Rangga Agnibaya
Renyah banget tulisannya, materi yang berat jadi terasa ringan.
BalasHapus