Dari Ibadah Puasa Yang Bisa Berjalan Hingga Ayam Yang Sadis

 


Oleh: Dhika Puspitasari
Dosen Linguistik Universitas PGRI Madiun

Dalam praktik berbahasa atau komunikasi, khususnya dalam ragam tulis, kesempurnaan susunan kalimat (sintaksis) bukan jaminan sebuah informasi dapat tersampaikan dengan baik. Sebuah informasi berpotensi menjadi rancu atau bahkan menggelikan jika disampaikan melalui kalimat yang tidak mengindahkan aspek logika.

Dalam bukunya Polisi Bahasa: Tentang Peran Penutur Yang Absen, Eko Endarmoko mengulas beberapa kalimat yang tidak mengindahkan aspek logika dalam menyampaikan informasi. Misalnya, dalam kalimat yang Eko jumpai di media massa: “Demonstran melempari batu ke barisan polisi.” Menurut Eko, kalimat ajaib tersebut menuntunnya untuk membayangkan sebuah peristiwa di mana setiap polisi memegang, atau berada tidak jauh dari batu. Batu-batu itulah yang dilempari oleh demonstran, entah dengan apa, dan bukan polisi yang dilempari. Eko menambahkan, kalimat tersebut tidak dapat dipahami secara utuh sebab tidak terlihat hubungan logis antara klausa “demonstran melempari batu” dan “ke barisan polisi”. Kalimat tersebut “tidak bunyi” atau tidak dapat dimengerti.

Kata melempari seharusnya diubah menjadi melemparkan: “Demonstran melemparkan batu ke barisan polisi.” Jika ingin tetap mempertahan kata melempari maka idealnya adalah :” Demonstran melempari barisan polisi dengan batu.” Hal ini memberikan pemahaman bahwa, selain dituntut memiliki kemampuan menyusun kalimat dengan struktur yang tepat, seorang penulis juga hendaknya memiliki kreativitas dalam mencari kemungkinan-kemungkinan kalimat dengan bentuk yang logis.

Selanjutnya juga dijumpai kalimat yang sering muncul saat bulan Ramadan: “Selamat menjalankan ibadah puasa.” Kalimat tersebut justru kebalikan dari kalimat sebelumnya yang seharusnya menggunakan kata melemparkan tapi justru menulis melempari. Kalimat kedua ini harusnya menggunakan kata menjalani, bukan menjalankan: “Selamat menjalani ibadah puasa.” Tampaknya memang agak sukar untuk menentukan apakah sebuah kata kerja seharusnya diberi akhiran /-i/ atau akhiran /-an/.

Eko menganjurkan satu cara sederhana, yaitu dengan membuat paradigma: melemparkan, menaikkan, menjalankan; melempari, menaiki, menjalani. Melemparkan batu, menaikkan koper, menjalankan mobilnya; melempari polisi, menaiki anak tangga, menjalani ibadah puasa. Pada paradigma tersebut obyek pada kata kerja berakhiran /-kan/ terlihat bergerak, sedangkan pada kata kerja yang berakhiran /-i/ bergeming atau tidak bergerak. Jika harus menggunakan paradigma ini, maka silakan dibayangkan adegan dalam ungkapan “menjalankan ibadah puasa”.

Sebagai penutup mari sedikit bergurau. Bagaimana kita mengimajinasikan nama sebuah tempat makan yang sangat terkenal di beberapa daerah: “Ayam Bakar Wong Solo”.

Wih, Betapa sadisnya ayam tersebut.

Editor: Rangga Agnibaya

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak