Toxic Itu Bernama Media Sosial


Oleh Yoga Prismanata
Dosen Teknologi Pendidikan FTIK IAIN Ponorogo

Generasi yang eksis pada masa ini sudah begitu lekat dengan komunikasi daring. Jauh dari bayangan para generasi boomers dan X, yakni orang-orang yang lahir 1946-1964 dan 1965-1980, bahwa komunikasi dapat dilakukan semudah menekan tombol-tombol. Bagi mereka, komunikasi daring yang juga mereka rasakan saat ini merupakan sebuah hal positif yang bermanfaat. Mereka tidak perlu menunggu waktu lama hanya untuk mendapatkan balasan surat yang mereka kirim melalui pos. Nilai manfaat yang mereka dapatkan sangat tinggi sehingga tidak ada sedikitpun gambaran hal-hal negatif terkait komunikasi daring.

Pandangan tersebut barangkali berbeda bagi para Generasi Y, Z, dan Alfa yang memang sedari awal sudah akrab dengan komunikasi daring. Perkembangan komunikasi jenis ini terjadi begitu cepat, sehingga saat ini kita temui berbagai macam platform komunikasi daring. Hari ini berbagai media sosial dengan berbagai jenisnya seperti WhatsApp, Instagram, TikTok, dan sebagainya sudah menjadi sesuatu yang seolah tidak dapat dikesampingkan dalam keseharian kita. Data yang dipublikasikan oleh datareportal.com tahun 2024 menunjukkan bahwa 49,9% penduduk Indonesia aktif menggunakan media sosial. Sebesar 58,9% di antara mereka memanfaatkan media sosial untuk mengisi waktu luang. Data menunjukkan bahwa penggunaan media sosial cukup tinggi sehingga tingkat pengaruh media sosial juga tinggi terhadap penggunanya. Pertanyaan yang harus dijawab adalah seberapa terpengaruhnya kita terhadap konten-konten yang muncul di beranda media sosial kita. Jika digali lebih dalam lagi, apakah pengaruh tersebut negatif sehingga menumbuhkan toxic (racun) dalam diri ataukah justru positif sehingga berdampak baik bagi perkembangan diri.

Standar Orang Lain Tidak Harus Jadi Standar Kita

Pengaruh media sosial perlu diidentifikasi secara mendalam sebagai upaya mendeteksi “toksisitas” yang terkandung dalam konten-konten yang sering kita konsumsi. Pemahaman tentang hal tersebut sekaligus akan menunjukkan bagaimana strategi untuk menghindarinya. Toksisitas media sosial semakin tinggi ketika si pengguna tidak sadar bahwa ia mengonsumsi konten-konten yang berdampak buruk baginya. Kita dapat menelusuri melalui mesin pencari di internet, misalnya saja kasus depresi akibat kecanduan media sosial. Hasil pencarian akan menghasilkan beberapa berita atau artikel terkait kasus depresi akibat media sosial. Ada kutipan menarik yang akhir-akhir ini berkeliaran di media sosial dan juga ramai ditanggapi oleh banyak warganet. Begini bunyi kutipannya, "Sebenarnya hidup kita baik-baik saja, sampai kita melihat postingan di media sosial kemudian kita menjadi insecure terhadap apa yang sudah kita punya". Kutipan tersebut akan menarik jika dikaji secara serius.

Munculnya kutipan tersebut menunjukkan jika masyarakat luas mulai menyadari banyak hal dalam media sosial yang harus dibatasi. Terkadang dalam kasus-kasus seperti demikan, memilih untuk tidak peduli adalah keputusan paling bijak dan tepat. Tidak peduli capaian yang mereka pamerkan, tidak peduli terhadap semua "standar" yang mereka sampaikan di media sosial, dan sebagainya. Kutipan tersebut menggambarkan kondisi seseorang yang sebenarnya tidak memiliki hal apapun yang perlu dipermasalahkan dalam kehidupannya, akan tetapi konten yang ada di media sosial menggeser standar yang selama ini sudah diyakini.

Pada tataran ini sebenarnya kita sudah dapat menarik kesimpulan awal bahwa begitu mudahnya seseorang terpengaruh dengan argumen orang lain di dalam konten media sosial. Hal tersebut memberikan sebuah pemahaman bahwa mempercayai pencapaian atau standar orang lain menjadi toxic bagi diri sendiri. Ada banyak hal yang tidak sama di dalam kehidupan setiap orang, sehingga standarnya pun harusnya juga tidak sama.

Kita meyakini bahwa media sosial akan menjadi media terbaik untuk mendapatkan informasi dan memudahkan komunikasi di masa kini, akan tetapi kita perlu memiliki filter yang juga lebih kuat agar konten-konten yang beracun itu tidak masuk begitu mudahnya ke dalam diri kita. Sebagai pengguna media sosial, saat ini kita dituntut untuk memiliki kemampuan berpikir kritis. Konten yang kita konsumsi setiap hari harusnya dapat kita nilai serta periksa kebenarannya.

Interaksi Sosial Di Ruang Digital VS Interaksi Sosial Di Dunia Nyata

Media sosial adalah suatu wadah dalam format digital yang memungkinkan pengguna untuk berinteraksi, berbagi informasi, dan membangun jaringan secara daring. Ia memberikan kepastian konektivitas yang luas dan cepat dalam aspek komunikasi. Selayaknya proses interaksi sosial, terdapat pula proses komunikasi yang terbentuk secara baik dan tidak baik. Ada pesan yang berisi hal-hal baik, positif, menginspirasi, memberikan informasi yang bermanfaat, namun sebaliknya, juga ada pesan yang menimbulkan kecemasan, kegaduhan, berpikir berlebihan (over thinking), kebencian, dan juga berita palsu atau hoax.

Berbeda dengan interaksi sosial pada realitas nyata sehari-hari yang memiliki batasan utama yaitu ruang, sehingga pesan-pesan toxic akan sulit tersampaikan ketika tidak terjadi kontak langsung. Sebaliknya, interaksi di media sosial hampir tidak memiliki batasan apapun sehingga pesan dapat tersampaikan dengan mudah pada seseorang. Pada poin ini dapat dipahami mengapa kehidupan di era digital memunculkan begitu banyak tekanan (stres). Kehidupan kita yang sebenarnya baik-baik saja, mungkin dapat berubah menjadi tidak baik-baik saja akibat sebuah konten di media sosial yang kita yakini kebenarannya.

Kita harus paham bahwa pembuat konten pasti mendesain pesan dalam kontennya sesuai dengan jalur dan kebutuhan hidupnya, dan hal tersebut belum tentu sesuai dengan kebutuhan kita sebagai penerima kontennya. Orang yang terpengaruh akan menjadikannya sebagai standar hidupnya, dan selanjutnya mulai memiliki ambisi yang sering kali tidak realistis. Ujung dari semua hal tersebut akan mudah ditebak yaitu depresi. Depresi tersebut sebagai puncak ambisi yang tidak didukung oleh kemampuan diri.

Membentengi Diri Dengan Berpikir Kritis

Dalam beberapa penelitian dijelaskan bahwa orang yang menghabiskan waktu lebih banyak di media sosial terbukti memiliki tingkat depresi yang jauh lebih tinggi dibandingkan mereka yang menghabiskan waktu lebih sedikit. Peningkatan penggunaan smartphone memang tidak dipungkiri menjadi penyebab tingginya penggunaan media sosial. Penelitian tersebut selaras dengan munculnya fenomena orang-orang yang mengalami depresi atau bahkan hingga gangguan jiwa akibat konten toxic di media sosial. Pakar kesehatan masyarakat, Prof. Siswanto Agus Wilopo dari Fakultas Psikologi UGM mengatakan bahwa terlalu banyaknya informasi yang masuk tanpa filter merupakan salah satu hal yang bisa menjadikan stres. Kita perlu tahu bahwa stres yang tidak ditangani dapat memicu depresi atau gangguan kecemasan. Kemampuan filteriasi pesan atau konten dalam media sosial menjadi aspek penting untuk dimiliki seseorang di masa sekarang. Kemampuan tersebut akan muncul dari kebiasaan kita untuk berpikir kritis serta kemauan untuk menilai dan memeriksa kebenaran dari sebuah konten.

Adanya kasus atau fenomena depresi akibat media sosial dapat mengindikasikan rendahnya tingkat berpikir kritis, terutama para remaja dan dewasa muda (usia 20-40 tahun). Survei Indeks Masyarakat Digital Indonesia (IMDI) yang dilaksanakan pada September-November 2023, mencatat kurang dari 50% responden yang memiliki kesadaran untuk mengidentifikasi sumber informasi dari pesan yang mereka terima sebelum kemudian dibagikan ke orang lain. Survei tersebut juga membeberkan kurangnya kemampuan literasi masyarakat Indonesia dalam hal berpikir kritis di era digital. Berdasarkan data tersebut dapat ditarik sebuah korelasi: bahwa rendahnya tingkat berpikir kritis seseorang dapat berdampak pada sangat mudahnya suatu informasi atau konten yang ada di media sosial untuk diterima dan diyakini kebenarannya. Karena informasi tersebut diterima apa adanya tanpa dikritisi, maka seringkali terjadi ketidaksesuaian antara informasi yang ada di konten tersebut dengan kehidupannya. Ketidaksesuaian tersebut kemudian memunculkan ambisi yang berlebihan atau tidak sesuai dengan kapasitas dirinya. Semua itu akhirnya berpuncak pada situasi di mana seseorang terjebak dalam tekanan (stres) dan jika tidak ditangani akan berujung pada depresi atau bahkan gangguan jiwa. Semua hal tersebut diawali dari pesan toxic dari media sosial yang tidak difilter atau dikritisi.

Diperlukan penegasan kepada diri sendiri untuk tidak mengonsumsi secara mentah konten yang diterima melalui media sosial. Masyarakat perlu meningkatkan kesadaran bahwa tidak semua konten mengandung manfaat untuk kehidupan. Sebagian informasi bahkan sangat toxic dan berpotensi mengganggu keseimbangan hidup, serta merusak irama pengembangan diri yang telah kita lakukan. Berpikir kritis adalah senjata terbaik untuk melawan konten-konten di media sosial. Selain itu, penting untuk melakukan refleksi diri serta merencanakan pengembangan diri yang tepat sesuai dengan kemampuan diri; mengidentifikasi standar kehidupan yang sesuai; dan yang paling penting adalah mensyukuri atas apa yang kita miliki saat ini.


Sumber data:
- datareportal.com
- https://ugm.ac.id/id/berita/16184-media-sosial-jadi-pemicu-depresi-pada-remaja/

Editor: Rangga Agnibaya 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak