Mengkaji atau Mengaji

 

Oleh: Dhika Puspitasari
Dosen Linguistik PBSI Universitas PGRI Madiun

Mereka yang menekuni bidang bahasa, baik sebagai guru, dosen, penulis, atau wartawan relatif memahami bahwa terdapat kaidah ”ktsp” dalam bahasa Indonesia. Kaidah tersebut mengatur jika huruf /k/, /t/, /s/, dan /p/ di awal kata akan luluh atau melesap jika mendapat awalan /me-/ dan /pe-/.

Misalnya, huruf /k/ dalam kata kunci jika mendapat awalan /me-/ akan menjadi mengunci, dan bukan mengkunci. Ini juga berlaku jika mendapat awalan /pe/, maka kata yang dihasilkan adalah pengunci, bukan pengkunci. Berturut-turut contoh yang dapat disajikan: kenal-mengenal, pengenal; sapu-menyapu, penyapu; dan seterusnya.

Lantas mengapa ada kata mengkaji, dan bukan mengaji. Jika kita taat pada asas atau kaidah seharusnya yang digunakan adalah mengaji, sebab kata dasar kaji mendapat awalan /me-/. Harusnya huruf /k/ melesap atau luluh. Namun, yang berlaku justru mengkaji. Menurut Eko Endarmoko, seorang pakar bahasa, kata kaji berimbuhan yang menyalahi kaidah (mengkaji, pengkajian) mulai banyak dipakai sejak sekitar tahun 1974, yaitu ketika terbentuk Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Dalam ranah keilmuan, hal tersebut menjadi berkah sebab para ilmuan tidak harus merasa kikuk (tidak terbiasa) menggunakan kata mengaji atau pengajian yang lebih terkait dengan wacana keagamaan (Islam). Mereka merasa memiliki konsepnya sendiri (mengkaji-pengkajian), meskipun faktanya itu melanggar kaidah.

Walhasil, hari ini kita memiliki mengkaji-pengkajian dan mengaji-pengajian, di mana masing-masing memiliki ranah penggunaan yang berbeda. Hal ini berbeda dengan kata punya yang berawalan /me-/ atau /pe-/. Kata memunyai benar-benar tersisih, meskipun sesuai kaidah (ingat kaidah “ktsp” sebelumnya). Justru kata mempunyai yang sebenarnya menyalahi kaidah yang berlaku. Hal ini mungkin dapat dikatakan sebagai sebuah pengecualian, di mana satu bentuk terpakai, sedangkan yang lain tidak terpakai meskipun sesuai kaidah. Berbeda dengan kata kaji yang berimbuhan, di mana mengkaji-pengkajian dan mengaji-pengajian sama-sama berlaku.

Eko Endarmoko berpendapat bahwa penggunaan mengkaji-pengkajian yang menyalahi kaidah merupakan pilihan politik yang mengesampaikan hukum-hukum di dalam bahasa. Jadi, tidak perlu lagi dipusingkan. Mungkin ada yang berani mulai mencoba mengganti mengkaji dengan mengaji dan pengkajian dengan pengajian dalam ranah apa pun. Silakan dicoba, toh itu sesuai kaidah.

Referensi

Eko Endarmoko, Polisi Bahasa: Tentang Peran Penutur Yang Absen, Jakarta: Kompas.

Editor: R. Agnibayaa

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak