Ngabuburit Zaman Now: Antara Ibadah dan Konsumerisme

 


Oleh: Anis Rahmadani
Mahasiswa Tadris Bahasa Indonesia IAIN Ponorogo
Pemenang Lomba Esai Mahasiswa se-Karesidenan Madiun 2023 dan Tingkat Nasional 2024


Pada awalnya, ngabuburit identik dengan aktivitas menunggu berbuka sambil beribadah atau berkumpul dalam suasana sederhana. Namun, hari ini kita melihat adanya pergeseran yang drastis. Jalanan ramai dengan para pencari takjil (War Takjil); mall dan kafe penuh dengan pengunjung yang ingin menikmati waktu sebelum adzan Magrib; dan media sosial ramai dibanjiri foto-foto hidangan berbuka yang menggoda. Ramadan, yang seharusnya menjadi momen refleksi dan pengendalian diri, justru semakin dipenuhi dengan budaya konsumtif. Pertanyaannya: apakah ngabuburit zaman sekarang masih mencerminkan nilai-nilai Ramadan, atau hanya menjadi ajang pamer dan eksploitasi tren belaka.

Ngabuburit sebenarnya memiliki makna yang mendalam. Secara historis, istilah ini merujuk pada kegiatan yang dilakukan menjelang berbuka untuk mengisi waktu dengan hal-hal positif, seperti membaca Al-Qur’an, berdzikir, atau berbagi dengan sesama. Namun, seiring perkembangan zaman, maknanya mulai bergeser. Kini, ngabuburit lebih sering dikaitkan dengan aktivitas berburu makanan di pusat perbelanjaan, nongkrong di tempat hits, atau sekadar berkeliling kota tanpa tujuan yang jelas. Alih-alih menjadi kesempatan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, banyak yang menjadikannya sebagai ajang hiburan semata.

Dampak dari pergeseran ini sangat nyata. Salah satunya adalah meningkatnya budaya konsumtif, khususnya di kalangan anak muda. Bulan Ramadan, yang seharusnya melatih kita untuk menahan diri, justru menjadi bulan di mana pengeluaran justru membengkak. Tidak sedikit orang yang rela mengeluarkan uang lebih hanya demi mencicipi menu berbuka yang sedang viral atau sekadar eksis di media sosial, seolah-olah Ramadan bukan lagi tentang ibadah, melainkan tentang siapa yang paling banyak mencoba makanan enak dan siapa yang memiliki gaya ngabuburit paling seru.

Budaya Konsumtif Melalui Media sosial

Bukan hanya soal makanan, Ramadan juga menjadi momen di mana perilaku konsumtif lainnya semakin meningkat. Tren fashion Ramadan, mulai dari outfit sahur hingga baju lebaran, menjadi ladang bisnis yang semakin menggila. Banyak orang merasa perlu membeli pakaian baru agar terlihat stylish saat ngabuburit atau saat berkumpul bersama teman. Tak jarang, tren ini lebih mengarah pada pamer gaya hidup daripada menjalankan esensi kesederhanaan yang seharusnya ditekankan pada bulan Ramadan.

Media sosial memiliki peran besar dalam memperkuat budaya konsumtif. Dari influencer ber-follower banyak hingga akun-akun kuliner, semua berlomba-lomba menampilkan momen ngabuburit yang “Instagrammable”. Mulai dari tempat nongkrong paling hits hingga review makanan berbuka yang menggugah selera. Konten semacam ini mendorong banyak orang untuk ikut-ikutan, bahkan jika harus mengorbankan uang dan waktu yang seharusnya bisa digunakan untuk hal yang lebih bermanfaat. Hal ini yang disebut sebagai ‘the power of social Media’ dalam praktik komodifikasi nilai-nilai.

Mengembalikan Makna Ngabuburit

Berbagai fenomena yang cenderung menjauhkan ngabuburit dari makna hakikinya tidak dapat dijadikan alasan untuk menghapus atau melarang tradisi tersebut. Dalam hal ini, yang perlu dilakukan adalah mengembalikan maknanya agar lebih selaras dengan nilai-nilai Ramadan. Ngabuburit seharusnya menjadi momen yang digunakan untuk berefleksi, mendekatkan diri kepada Tuhan, dan berbagi dengan sesama. Alih-alih menghabiskan waktu di tempat-tempat konsumtif, mengapa tidak mencoba mengisinya dengan kegiatan yang lebih bermakna. Misalnya, ikut serta dalam kegiatan sosial seperti berbagi takjil di jalan atau menghadiri kajian Ramadan.

Menghabiskan waktu sebelum berbuka dengan kegiatan konsumtif hanya akan membuat kita semakin jauh dari esensi puasa. Jika benar-benar ingin mendapatkan manfaat dari Ramadan, maka kita harus mulai mengubah pola pikir kita terhadap ngabuburit. Yang terpenting adalah bagaimana kita memanfaatkan waktu dengan baik, bukan hanya sekadar menghabiskannya tanpa tujuan yang jelas.

Semua pilihan ada di tangan kita. Apakah kita ingin menjadikan ngabuburit sebagai bagian dari perjalanan spiritual Ramadan, atau sekadar mengikuti tren konsumtif yang semakin menjauhkan kita dari esensi ibadah. Ramadan hanya datang sekali dalam setahun, dan bagaimana kita mengisinya akan menentukan seberapa besar manfaat yang bisa kita peroleh darinya. Jangan sampai kita hanya mendapatkan lapar dan haus, tanpa mendapatkan keberkahan yang sesungguhnya.

Editor: Rangga Agnibaya


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak