Oleh: Rangga Agnibaya
Dosen FTIK IAIN Ponorogo
Editor komunitaspintu.id
Dosen FTIK IAIN Ponorogo
Editor komunitaspintu.id
Minggu pertama bulan Mei dalam kalender Masehi di Indonesia tertera dua tanggal peringatan: Hari Buruh Internasional (1 Mei) dan Hari Pendidikan Nasional (2 Mei). Dua tanggal peringatan tersebut menjadi momentum dan pengingat bahwa ada mimpi dan cita-cita yang harus terus diperjuangkan, yakni lenyapnya penindasan terhadap manusia Indonesia dalam berbagai bentuk: eskploitasi dalam kehidupan sosio-ekonomi terhadap yang lemah, serta penyakit bernama “kebodohan”.
Lebih dari 170 tahun yang lalu, sebuah manifesto ditutup dengan maklumat: “Bersatulah kaum buruh sedunia!” Pada masa kini, maklumat itu menjadi kenyataan, bahkan terjadi setiap tahunnya. Jutaan buruh di berbagai negara lebur dalam kesatuan memperingati hari yang jadi penanda perjuangan untuk mewujudkan nasib buruh yang semakin baik. Meski kondisi buruh pada waktu manifesto gubahan Marx dan Engels itu ditulis dan kondisi hari ini telah jauh berbeda, namun merefleksikan perjuangan buruh dari waktu ke waktu terus terasa relevan dan penting.
Hari ini, buruh tidak lagi selalu tentang mereka yang berkeringat, lusuh, dengan wajah kuyu di pabrik-pabrik. Buruh, hari ini, juga dapat merupakan orang-orang yang terlihat necis dengan pakaian rapi berjas, berdasi, dan rambut tersisir klimis. Mereka juga ada di ruang-ruang dingin ber-AC, ruang kelas pendidikan, dan tempat-tempat lainnya. Secara sederhana, jika merujuk pada pemikiran Karl Marx tentang sistem ekonomi kapitalis, buruh adalah mereka yang tidak memiliki kapital (modal) serta tidak menguasai alat-alat produksi dalam sebuah sistem produksi yang sedang berjalan. Alat-alat produksi di sini adalah pabrik dan segala teknologi yang ada di dalamnya. Mereka hanya memiliki tenaga untuk ‘dijual’. Dalam perspektif kontemporer, pabrik dapat disubtitusi (diganti) dengan konsep lembaga, institusi, perusahaan, dan lain sebagainya, sedangkan ‘tenaga’ dapat berupa kompetensi, keterampilan, kecerdasan, dan lainnya. Maka, membincang tentang konsep ‘buruh’ hari ini akan terasa lebih kompleks dari pada ketika zaman Karl Marx dan Frederich Engels menulis manifesto yang mengubah wajah dunia itu.
Buruh dan Situasi Penindasan
Jika 1 Mei merupakan momentum persatuan dan perjuangan bagi buruh, lantas muncul pertanyaan: mengapa buruh mesti bersatu dan berjuang. Bersatu dalam bentuk apa, dan berjuang demi apa. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut pertama kita perlu memahami teori kritik terhadap sistem ekonomi kapitalis yang berkembang pada abad ke-19 sebagai akibat semakin meluasnya dampak Revolusi Industri.
Franz-Magnis Suseno dalam bukunya Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme menjelaskan posisi buruh dalam dinamika pertentangan kelas. Pertentangan kelas sendiri merupakan sebuah kondisi di mana terdapat dua kelas sosial besar dalam struktur masyarakat yang saling berhadap-hadapan, yaitu kelas Borjuis dan kelas Proletar. Kelas Borjuis adalah pemilik modal dan penguasa alat-alat produksi, sedangkan proletar merupakan orang-orang yang hanya memiliki tenaga untuk dapat bersumbangsih dalam sebuah proses produksi. Untuk memudahkan pemahaman, kita anggap saja bahwa "si miskin" dan "si kaya" sedang saling berhadap-hadapan. Tidak ada kelas menengah dalam konteks saat itu.
Secara ringkas dapat djelaskan bahwa dalam proses produksi yang berjalan, buruh pada posisi yang tidak diuntungkan, dan bahkan tertindas. Ketertindasan tersebut mewujud dalam konsep ‘nilai lebih’ yang diperkenalkan Karl Marx ketika melakukan kritik terhadap sistem ekonomi kapitalis. Nilai lebih adalah selisih antara nilai produk yang dihasilkan oleh buruh dan gaji yang mereka terima. Misalnya, dalam sehari, buruh digaji 100.000 untuk kerja selama 8 jam. Dalam sehari itu ternyata buruh menghasilkan 10 pasang sepatu, dan dijual oleh pemilik pabrik seharga 300.000 per pasang sepatu. Maka, ada selisih 2.900.000 (3.000.000-100.000) yang menjadi keuntungan untuk pemilik pabrik. Nilai lebih sebesar 2.900.000 itu yang menurut Marx merupakan bentuk eksploitasi dan penindasan pemilik pabrik terhadap buruh. Hal tersebut terjadi terus-menerus. Singkat cerita: yang kaya semakin kaya, sedangkan yang miskin semakin miskin, lalu terbentuklah kelas sosial yang secara diametral berhadap-hadapan tanpa kelas menengah: Borjuis-proletar (kaya-miskin)
Faktanya, hari ini, konsep ‘nilai lebih’ Karl Marx telah dijawab oleh ekonomi kapitalis. Nilai lebih tersebut didistribusikan secara samar kepada buruh melalui berbagai tunjangan dan bonus (pada kasus-kasus tertentu). Strategi ini yang membuat kelas menengah terus ada. Buruh kelas menengah itu tidak sampai terperosok dalam garis kemiskinan menjadi proletar. Meskipun demikian, distribusi ‘nilai lebih’ masih dirasa kurang adil dan proporsional oleh buruh. Maka, adanya serikat-serikat buruh seperti yang disarankan oleh Marx (Maklumat: bersatulah kaum buruh sedunia!) merupakan sarana untuk terus memperjuangkan hak-hak buruh yang dianggap telah dirampas oleh kapitalis. Selain itu, berbagai akibat dari hubungan yang tidak seimbang antara pemodal dan buruh juga ikut serta diperjuangkan, seperti pemutusan hubungan kerja sepihak, kondisi tempat kerja yang tidak memadai, dan hal-hal lain yang tidak menguntungkan buruh.
Taman Siswa: Pendidikan Melawan Penindasan
Berkumpulnya jutaan buruh untuk memperingati Hari Buruh dapat dilihat sebagai bentuk kesadaran buruh dalam memahami situasi mereka. Kemampuan memahami situasi diri sejajar dengan kemampuan untuk melakukan evaluasi. Daya kritis yang dimiliki setiap orang, termasuk buruh, mengindikasikan bahwa daya evaluatif telah tertanam dalam benak. Jika demikian adanya, maka hasil evaluasi, kritik, dan pemahaman akan situasi diri tinggal dilanjutkan menjadi sebuah gerakan nyata: Perjuangan. Mereka yang tidak memahami situasi dirinya sendiri, atau tidak memiliki daya kritis dan evaluatif tidak akan pernah sampai pada konsep “perjuangan”. Tanpa daya kritis dan evaluatif, keadaan akan terlihat selalu baik-baik saja, dan menjadikan sebuah struktur sosial yang sebenarnya menindas tidak tergoyahkan.
Muncul pertanyaan: dari mana asal kemampuan kritis dan evaluatif tersebut. Pendidikan merupakan salah satu aspek yang menjadikan seseorang memiliki kemampuan berpikir kritis. Pendidikan tidak hanya membimbing seseorang lepas dari kebodohan. Kebodohan sendiri selama ini hanya dipahami dari perspektif skolastik, yakni kurangnya kemampuan akademik. Lebih dari itu, kebodohan juga merupakan situasi di mana seseorang tidak mampu menilai kondisinya sendiri di dalam realitas sosial. Konsekuensinya, mereka yang tidak memiliki kemampuan menilai situasi dan kondisinya sendiri tidak akan merasa atau memahami jika sebenarnya berada pada posisi tertindas. Maka, makna kata “perjuangan” atau “berjuang” tidak akan sampai pada orang-orang semacam ini. Konsep “merdeka” dalam berbagai hal tidak akan dapat diraih, sebab kemerdekaan selalu mensyaratkan konsep “perjuangan”.
Jika kita menengok kembali konsep pendidikan yang diperkenalkan oleh tokoh yang tanggal lahirnya diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional di Indonesia, Ki Hajar Dewantara, maka akan didapati bahwa salah satu tujuan pendidikan adalah kemerdekaan. Terlebih lagi, Ki Hajar Dewantara merupakan orang yang ikut mengobarkan semangat kesadaran nasional, serta memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui Taman Siswa yang didirikannya. Selain itu, ia juga menjadi pioner dalam sejarah pergerakan nasional lewat sepak terjangnya di dalam Indische Partij (bersama dr. Tjipto Mangunkusumo dan Ernest Douwes Dekker).
Konsep “merdeka” dapat dimaknai sebagai “kondisi lepas dari penindasan atau keadaan yang tidak menguntungkan”. Dengan demikian, salah satu fungsi pendidikan adalah membimbing seseorang untuk lepas dari penindasan. Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara menjadi sarana untuk menanamkan semangat kebangsaan, anti penjajahan, dan menggugah kesadaran nasional. Tiga hal tersebut yang akhirnya mengantarkan bangsa Indonesia lepas dari penindasan kolonial.
Konsep Tut Wuri Handayani yang diperkenalkan oleh Ki Hajar Dewantara pun mengisyaratkan sebuah anjuran bahwa pendidik atau guru harus mendorong kebebasan kepada siswanya untuk mengembangkan potensi yang dimiliki. Artinya, pendidikan yang baik memberikan kebebasan kepada siswanya untuk menilai situasinya sendiri, termasuk menentukan keterampilan apa yang harus dimilikinya agar dapat bersaing dalam kehidupan. Konsep pendidikan seperti ini mirip dengan yang diperkenalkan oleh Paulo Freire. Aktivis pendidikan asal Brazil tersebut memperkenalkan konsep pendidikan yang menekankan pada tumbuhnya kesadaran pada benak peserta didik atau siswa yang dalam realitas sehari-hari berada pada kondisi yang tertindas. Freire membakukan konsep-konsepnya, salah satunya, dalam buku Pendidikan Kaum Tertindas.
Pendidikan Sebagai Senjata Melawan Jerat Kapitalisme
Apa yang diperjuangkan oleh Ki Hajar Dewantara melalui pendidikan Taman Siswanya tidak hanya relevan saat melawan penindasan kaum kolonial, melainkan juga untuk kondisi hari ini. Pendidikan memiliki misi memerdekakan: merdeka dari ketertindasan dalam suatu struktur sosial-ekonomi dan budaya. Dalam konteks sosial-ekonomi, misalnya, pendidikan dapat membantu buruh (dalam berbagai jenisnya) untuk menyadari situasi sosialnya. Daya kritis yang tumbuh melalui proses pendidikan menjaga mereka agar tetap sadar: bersuara dan berjuang ketika tertindas.
Dalam menumbuhkan nalar kritis melalui pendidikan tentu memerlukan pendekatan yang khusus. Salah satunya adalah pendidikan yang memberikan kesempatan kepada peserta didiknya untuk memahami dan menentukan sendiri apa yang diperlukannya, termasuk keterampilan apa yang mesti dipelajari dan dimiliki. Dalam tataran ini, keterampilan yang harus dimiliki pekerja atau buruh bukan lagi semata pesanan atau menyesuaikan kebutuhan para pemodal.
Louis Althusser, sosiolog Perancis dekade 60-70-an, dalam sebuah artikel berjudul “Ideology and Ideologycal State Apparatuses” menyatakan bahwa dalam sebuah sistem sosial dan sistem produksi kapitalis, pekerja dikategorisasikan berdasarkan keahliannya. Keahlian sendiri merupakan sebuah kemampuan konseptual dan praktis yang menunjang sebuah proses produksi. Dalam sebuah pabrik sepatu, misalnya, terdapat seorang manajer keuangan yang ahli dalam hal keuangan; Ahli mesin yang mengurusi mesin-mesin pabrik; Desainer yang ahli merancang model sepatu; pekerja yang ahli menjahit dan merekatkan bagian-bagian sepatu; serta berbagai divisi lainnya dalam keseluruhan praktik produksi sepatu. Althusser menyebut mereka sebagai “alat-alat produksi”.
Lebih jauh lagi, Althusser menjelaskan bahwa setiap sistem produksi kapitalis selalu melakukan reproduksi (penciptaan ulang) “alat-alat produksi” yang memiliki keahlian tersebut. Ahli-ahli itu suatu saat akan usang dan tidak lagi dapat dimanfaatkan, maka diperlukan alat-alat produksi yang baru. Istilah lain yang digunakan Althusser untuk menyebut “alat-alat produksi berkeahlian” adalah Labour-Power (Sumber daya Manusia). Labour-Power ini harus tersedia dan disiapkan terus oleh kapitalisme agar produksi tidak macet. Di sinilah letak kritik Althusser terhadap dunia pendidikan. Ia menuduh bahwa pendidikan, dari berbagai jenjang yang ada, semata untuk menyiapkan Labour-Power yang dibutuhkan oleh kapitalisme (pemilik modal). Keahlian dan keterampilan yang diajarkan dalam ruang-ruang pendidikan secara khusus dirancang untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam sistem kapitalis yang hanya menguntungkan kaum pemodal.
Dalam artikelnya itu, Althusser menganggap bahwa pendidikan, dan sekolah dalam konteks yang lebih spesifik, merupakan Ideological State Apparatuses (ISA). Berkebalikan dengan Represif State Apparatuses (RSA) yang melibatkan unsur militer (kekerasan) dalam mengontrol masyarakat, ISA lebih mengutamakan pendekatan pada ruang kesadaran. Artinya, masyarakat tidak dikontrol atau dikuasai melalui jalan senjata, melainkan melalui cara berpikirnya, kesadarannya, kebiasaannya, dan seterusnya. Menurut Althusser, pendidikan merupakan aparatus negara yang bermain di wilayah kesadaran, dan cenderung menggunakan pendekatan yang halus. Agama, kebudayaan, seni, keluarga, dan politik adalah institusi-institusi yang termasuk dalam kategori ISA, selain pendidikan.
Analisis yang dilakukan oleh Althusser tentang pendidikan sebagai “pelayan” kapitalisme sangat relevan di negara yang benar-benar ditaklukkan oleh kapitalisme. Maka, untuk melakukan perlawanan terhadap situasi tersebut dibutuhkan konsep pendidikan yang "membebaskan" seperti yang diperkenalkan oleh Ki Hajar Dewantara atau Paulo Freire. Pendidikan yang bukan semata menyiapkan alat produksi atau Labour-Power untuk sistem kerja kapitalis seperti yang dituduhkan oleh Althusser, melainkan membentuk manusia-manusia yang memiliki kemampuan menalar secara kritis dan memiliki daya evaluatif. Manusia-manusia semacam itu tidak akan dengan mudah dimanipulasi dan ditindas. Dengan demikian, jutaan buruh, dalam berbagai jenisnya, akan semakin baik taraf kehidupannya karena, setidaknya, mereka memahami situasi dirinya sendiri.
Daftar BacaanPaulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, LP3ES, 2000.Franz Magniz-Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Gramedia, 2002.Louis Althusser, Ideology and Ideologycal State Apparatuses, Verso, 2014.Tim Kementerian Kebudayaan, Perjuangan Ki Hajar Dewantara: Dari Politik ke Pendidikan, Kementerian Kebudayaan, 2017.
Tags
Humaniora