Ode Untuk Buku: Dicintai Sekaligus Dibenci Karena Mengubah Wajah Dunia

 


Oleh: Rangga Agnibaya
Dosen Mata Kuliah Sastra FTIK IAIN Ponorogo
Editor komunitaspintu.id

Ungkapan lama mengatakan bahwa buku merupakan jendela dunia. Buku dapat menjadi wahana bagi kita untuk menjelajahi luasnya dunia ini. Pada tataran tertentu, buku mengajari kita bagaimana memahami dan mengevaluasi situasi diri kita sendiri.

Umumnya, kita di Indonesia mengenal sosok Soekarno sebagai proklamator kemerdekaan Indonesia. Namun, tidak semua orang mengetahui bahwa ia juga seorang yang menggilai buku. Perjuangannya dalam mewujudkan Indonesia merdeka salah satunya terinspirasi dari buku-buku yang dibaca. Konsep ‘anti penindasan’ yang selalu didengung-dengungkan oleh Soekarno dalam setiap pidatonya: “ bahwa kita mesti menolak ‘exploitation de l'homme par l'homme et exploitation d'un État sur un autre État’ secara konsisten”, merupakan kristalisasi dari buku-buku Marxis yang dibacanya dengan lahap. Ungkapan dalam bahasa Perancis yang memiliki arti “penindasan manusia satu terhadap manusia yang lainnya” dan “penindasan oleh negara satu terhadap negara yang lainnya” tersebut ditolak dengan tegas oleh Soekarno. Kalimat “Kemerdekaan ialah hak segala bangsa” dan “Maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan” dalam pembukaan UUD 1945 merupakan aktualisasi paling konkret dari konsep anti penindasan tersebut.

Selain berguru langsung pada tokoh besar Islam Indonesia, yang juga bapak kosnya sendiri ketika di Surabaya: H.O.S. Tjokroaminoto, Soekarno banyak mendapat asupan pemikiran kritis tentang kemanusiaaan dan kebebasan dari buku-buku para pemikir kiri seperti Karl Marx, Friedrich Engels, V.I. Lenin, dan Karl Kautsky. Banyaknya buku yang dibaca oleh Soekarno menjadikannya berwawasan luas. Jika kita membaca pledoinya (pembelaan) sebagai terdakwa dalam pengadilan kolonial Hindia-Belanda yang dijalaninya pada tahun 1930, maka di sana-sini akan ditemui berpuluh kutipan yang dirujuknya dari berbagai sumber bacaan. Di hadapan hakim-hakim kolonial ia berargumen: “Jangankan manusia, semut pun akan menggigit balik jika diinjak.” Saat itu Soekarno dituduh melanggar Pasal 169, 161, 171, dan 153 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Hindia Belanda terkait pencegahan penyebaran rasa benci. Pledoi tersebut telah dibukukan dengan judul Indonesia Menggugat.

Proklamator kemerdekaan Indonesia lainnya, Mohamad Hatta, juga merupakan seorang Bibliofil (pecinta buku). Kebiasaan membaca buku yang dimiliki oleh Hatta telah terbentuk sejak kecil dan semakin diperteguh ketika ia melanjutkan sekolah di Eropa. Lingkungan akademis dan aktivitas intelektualnya mengharuskan ia selalu mesra dengan buku-buku. Ketika bersama Soekarno berjuang mewujudkan Indonesia merdeka, ia sempat dibuang ke Banda Neira. Dalam proses pembuangannya tersebut, Hatta mengajukan permohonan agar diperkenankan membawa koleksi buku-bukunya. Hal ini menunjukkan betapa ia tidak ingin jauh dari buku. Saat masa pembuangan berakhir, enam belas peti berisi buku ditinggalkannya sebagai harta karun. Rasa cinta Hatta terhadap buku sangat besar, bahkan pria asli Padang tersebut mempersembahkan buku karangannya yang berjudul Alam Pikiran Yunani sebagai mas kawin ketika mempersunting perempuan idamannya, Rahmi Rachim.

Buku-buku Yang Mengubah Wajah Dunia

Soekarno dan Hatta telah menunjukkan bahwa buku dapat menuntun sesorang untuk memahami dunia dan situasinya, untuk kemudian melakukan perjuangan dan perlawanan. Faktanya, buku tidak hanya dapat memperluas cakrawala wawasan seseorang. Lebih jauh, buku dapat memicu perubahan sosial, dan bahkan menjadi basis bermulanya sebuah sejarah baru.

Mari kita menengok ke belahan dunia lain, yakni sejarah Amerika Serikat pada pertengahan abad ke-19. Saat itu muncul sebuah buku fiksi (novel) berjudul Uncle Tom’s Cabin yang menceritakan getirnya kehidupan seorang budak kulit hitam bernama Paman Tom di sebuah perkebunan milik orang kulit putih. Harriet Beecher Stowe, penulis novel, dengan detail menggambarkan kejamnya sistem perbudakan yang berlaku di Amerika saat itu, di mana orang-orang kulit hitam yang menjadi budak hidup di bawah batas nilai kemanusiaan. Paman Tom sendiri diceritakan akhirnya mati dicambuk karena menolak memberi informasi ke mana perginya para budak yang melarikan diri.

Sejarah mencatat, novel Uncle Tom’s Cabin menjadi salah satu pencetus terjadinya perang sipil di Amerika yang terjadi pada tahun 1861-1865. Perang antara kubu Utara yang dipimpin oleh Abraham Lincoln melawan kubu Selatan (Konfederasi) itu salah satunya didasari oleh isu perbudakan. Kubu Utara berisi orang-orang yang bersimpati pada nasib para budak menghendaki dihapuskannya sistem perbudakan, sedangkan kubu Selatan menghendaki sebaliknya. Uncle Tom’s Cabin tentu memiliki peran dalam menebalkan rasa simpati orang-orang Utara. Pada akhir peperangan, kubu Utara pimpinan Abraham Lincoln keluar sebagai pemenangnya, sekaligus mengakhiri sistem perbudakan yang berlaku.

Dalam konteks sejarah Indonesia juga pernah ada buku yang memicu perubahan sosial. Buku karya Multatuli berjudul Max Havellar yang berkisah tentang masa kolonialisme di Hindia-Belanda (Indonesia), khususnya saat era Tanam Paksa, dianggap sebagai salah satu yang mengobarkan semangat pergerakan nasional di kemudian hari. Novel yang ditulis oleh Edward Douwes Dekker (nama asli Multatuli) pada paruh kedua abad ke-19 tersebut berdasarkan realitas nyata yang terjadi di tengah masyarakat Lebak Banten pada saat sistem tanam paksa menjadi kebijakan politik kolonial Belanda di Hindia-Belanda. Sebagai seorang pegawai pemerintah Belanda yang ditugaskan menjadi seorang administratur, Multatutuli justru melakukan kritik tajam terhadap kebijakan pemerintahnya sendiri di tanah jajahan. Dalam novelnya ia menggambarkan ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat pribumi, khususnya dari kalangan bawah. Mereka mengalami penindasan dan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh pribumi dari kalangan atas dan orang-orang Eropa. Kelak di kemudian hari, Max Havellar menjadi karya klasik yang dibaca para pejuang kemerdekaan, seperti Soekarno, Hatta, dan Sjahrir.

Rasa Benci Terhadap Buku

Jika di satu sisi buku sangat dicintai seperti yang ditunjukkan oleh Soekarno dan Hatta, namun di sisi yang lain buku juga dibenci. Kebencian terhadap buku tersebut bahkan berujung pada praktek pemusnahan buku. Fernando Baez dalam bukunya yang berjudul Penghancuran Buku dari Masa ke Masa menjelaskan bahwa sejarah telah mencatat ribuan bahkan jutaan buku telah dimusnahkan dalam rentang lebih dari 5000 tahun. Pemusnahan buku yang dilakukan oleh para Biblioklas (penghancur buku) segaris dengan penolakan terhadap sebuah ide atau pemikiran. Baez berpandangan: ketika sebuah buku dimusnahkan, sejatinya yang ingin dimusnahkan adalah ide atau pemikiran yang termaktub di dalam buku tersebut. Dalam sebuah buku dapat berisi sebuah ide yang dapat menggerakkan perubahan sosial dan jalannya sejarah, termasuk ide tentang perlawanan dan perjuangan. Maka tidak mengherankan jika Napoleon Bonaparte, pahlawan sekaligus diktator Perancis, lebih takut pada pena para penulis dari pada senjata musuh.

Buku bukan sekadar jendela dunia yang mengantarkan manusia melanglang buana ke luasnya dunia. Pada kasus dan situasi tertentu buku merupakan penyemai ide atau gagasan yang berpotensi mengubah realitas sosial, dan bahkan mampu mengawali sebuah garis sejarah. Kita akhirnya juga mengetahui, buku dicintai sekaligus dibenci. Kita juga mengetahui bahwa tanpa buku mungkin kita tidak akan mengenal seni pengobatan Cina dari ribuan tahun yang lalu, atau pemikiran-pemikiran dari para ilmuwan lampau yang menjadi dasar kemajuan peradaban kita hari ini.

Selamat Hari Buku Sedunia, 23 April 2025.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak