FEATURES
Oleh: Rensi Brilian
Mahasiswa FTIK UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo
Malam ini saya menemui dua seniman dalam dunia reog obyok ponorogo: M. Misnan (32) dan Khoirul Muttaqin (33). Keduanya merupakan pengrawit reog yang juga pegiat di Paguyuban Reog Singo Mudo Joyo, Desa Pulosari Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo. Paguyuban ini berdiri pada tahun 2021. Meskipun paguyuban ini tergolong masih baru, namun paguyuban ini sudah sering tampil, bahkan hingga ke luar kota. Singo Mudo Joyo pernah tampil juga pada event Kapolres Ponorogo dan berkolaborasi dengan paguyuban reog lainya. Di malam yang dingin ini, saya dan para seniman reog Singo Mudo Joyo Desa Pulosari mengobrol di sebuah gazebo dengan ditemani secangkir kopi dan camilan.
Pak Misnan, sambil menghembuskan asap rokoknya, menuturkan bahwa menghidupi sebuah paguyuban reog obyok bukanlah hal gampang. Dalam membangun sebuah organisasi pasti akan dihadapkan pada problematika yang sangat kompleks. Sambil meminum kopinya pak Khoirul menyahuti, “Paguyuban reog desa ini masih belum siap untuk pentas pada event berskala besar. Harus lebih banyak latihan dan kerja keras untuk memajukan paguyuban ini.” Apa yang disampaikan oleh pak Khoirul tersebut merujuk pada kenyataan bahwa Singo Mudo Joyo tidak berpartisipasi dalam event Reog Obyok Ponorogo bertema “Tadarus Budaya” pada Bulan Ramadan yang lalu.
Silih berganti Pak Misnan dan Pak Khoirul menjelaskan bahwa problem utama mengembangkan paguyuban seni ialah minat dan semangat anak muda untuk melestarikan budaya semakin menurun. Padahal, seharusnya sebuah kebudayaan, apa lagi budaya yang asli berasal dari tanah kelahiran sendiri, harus dikembangkan dan dipertahankan. “Memang pada zaman sekarang, minat dan semangat pemuda dalam melestarikan budaya sudah mulai kendor, karena mungkin anak zaman sekarang kurang tertarik pada kebudayaanya sendiri. Mereka lebih menyukai budaya luar yang saat ini sangat marak dan pesat penyebaranya karena adanya internet.” ujar pak Misnan. “Harusnya, setiap elemen masyarakat berperan penting dalam pelestarian budaya, yaitu dengan cara menumbuhkan rasa kepedulian terhadap budaya daerahnya dan dapat menjadi wadah pembelajaran untuk para pemuda agar dapat melestarikan serta menjaga kebudayaan asli daerahnya.” tambahnya sambil menyeruput kopi.
Hal yang juga menjadi tantangan adalah citra pelaku seni reog yang dianggap buruk oleh sebagian orang. Pak Khoirul mengatakan bahwa pandangan masyarakat terhadap reog, pada beberapa kasus dan situasi, menjadi buruk karena mulai muncul perilaku menyimpang yang mengiringi aktivitas berseni, seperti mabuk-mabukan dan jogetan-jogetan yang cenderung vulgar. Padahal, pada zaman dulu, reog obyok jauh dari unsur-unsur seperti itu.
Meski begitu, tidak semua paguyuban reog seburuk yang dinilai masyarakat. Masih banyak paguyuban lain yang menjauhi kebiasan-kebiasan buruk itu, salah satunya yaitu paguyuban reog obyok Desa Pulosari ini. Pak Misnan mengatakan bahwa sebagai generasi muda, selain menjaga dan melestarikan budaya, kita juga seharusnya membenahi kebudayaan kita yang menyimpang dan mengembalikan kebudayaan kita pada pakemnya yang baik. “Kebiasaan buruk yang biasanya mengiringi aktivitas seni harus ditinggalkan, agar pandangan masyarakat terhadap reog obyok menjadi lebih baik.” timpal Pak Khoirul mengakhiri perbincangan di malam hari yang dingin ini.
Editor: R. Agnibayaa