Hidup dari Aplikasi, Sampai Kapan.


Oleh:
Ryan Basith Fasih Khan
Dosen Fakultas Ekonomi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Ojek online, kurir makanan, dan pekerjaan sejenisnya kini tak hanya jadi kerja sampingan. Banyak orang, termasuk anak muda, menjadikannya sumber utama penghasilan. Bukan karena ingin, tapi karena tidak ada pilihan lain yang terasa lebih masuk akal dan langsung menghasilkan.

Malam itu saya memesan makan lewat aplikasi. Tak lama kemudian, makanan datang. Tapi yang mengantar bukan orang asing. Ia mahasiswa saya sendiri.

Kami sama-sama terkejut. “Pak, Saya, mahasiswa bapak,” katanya sambil senyum kaku. Saya hanya mengangguk, antara bangga karena ia mandiri, dan khawatir karena ini bukan pertama kalinya saya melihat mahasiswa terlibat penuh di dunia kerja platform.

Cerita ini jadi satu dari sekian banyak potret zaman. Ojek online, kurir makanan, dan pekerjaan sejenisnya kini tak hanya jadi kerja sampingan. Banyak orang, termasuk anak muda, menjadikannya sumber utama penghasilan. Bukan karena ingin, tapi karena tidak ada pilihan lain yang terasa lebih masuk akal dan langsung menghasilkan.

Di satu sisi, ini memang menyelamatkan. Tapi di sisi lain, muncul pertanyaan penting: sampai kapan kita mau hidup dengan cara seperti ini.

Platform memang memberi ruang kerja cepat dan mudah. Tapi sistemnya tidak menjanjikan kepastian. Pendapatan bisa berubah sewaktu-waktu. Bonus bisa hilang tanpa pemberitahuan. Orderan bisa sepi, akun bisa ditangguhkan, dan semua itu terjadi di luar kendali pengemudi.

Masalah yang lebih besar adalah ketergantungan yang diam-diam tumbuh. Banyak orang merasa sudah cukup dengan penghasilan harian dari aplikasi, lalu berhenti mengejar hal lain. Bahkan ada yang mulai menganggap ini sebagai jalan hidup utama, bukan sekadar sementara.

Padahal kita tahu: platform tidak dirancang untuk memberi masa depan. Tidak ada jenjang karier, tidak ada jaminan hari tua, dan tidak ada perlindungan jika sewaktu-waktu tenaga tak lagi sanggup dikerahkan.

Kita perlu jujur. Ini bukan pekerjaan buruk. Tapi juga bukan pekerjaan yang bisa jadi tempat bertumbuh, kalau tidak disertai rencana. Ojek online dan sejenisnya adalah solusi darurat. Tapi jika dijadikan satu-satunya tumpuan, kita sedang membangun masa depan di atas tanah yang rapuh.

Lihat saja di negara lain seperti Singapura. Pekerjaan mengantar makanan dan ojek berbasis aplikasi biasanya hanya dilakukan sementara oleh mahasiswa, pensiunan, atau pekerja lepas. Pemerintahnya aktif mendorong pelatihan ulang agar para pekerja bisa pindah ke pekerjaan yang lebih aman dan berkembang.

Sementara di sini, banyak yang merasa cukup berhenti di zona nyaman itu. Tidak ada dorongan untuk melangkah lebih jauh. Ironisnya, makin banyak anak muda yang bercita-cita “jadi driver aplikasi,” karena dianggap fleksibel dan cepat menghasilkan.

Inilah saatnya kita mengubah cara pandang.

Boleh narik, boleh antar makanan, boleh kerja lewat aplikasi. Tapi jangan berhenti bermimpi. Jangan lupa menyiapkan langkah selanjutnya. Bisa mulai dari ikut pelatihan daring, belajar keahlian baru, menabung untuk buka usaha, atau sekadar memperluas wawasan.

Bayangkan kalau satu juta pekerja aplikasi saat ini punya rencana lima tahun ke depan untuk pindah ke sektor lain atau merintis usaha sendiri. Kita tidak hanya akan melihat lebih banyak yang mandiri, tapi juga lebih banyak yang punya arah.

Saya masih ingat tatapan mahasiswa saya waktu itu. Ia tidak malu. Saya pun tidak melakukan penilaian atas apa yang dikerjakannya saat itu. Tapi di dalam hati saya berharap suatu hari nanti ia tidak lagi datang sebagai pengantar makanan, tapi sebagai seseorang yang telah berhasil melampaui itu.

Jadi, sekali lagi saya bertanya: hidup dari aplikasi, sampai kapan.

Editor: R. Agnibayaa


Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال