Oleh: Lutfiana D. Mayasari
Dosen FTIK UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo
Penulis Esai Perempuan dan Gender
Dengan ideologi ibuisme negara, Soeharto dan Orde Baru berhasil menetapkan legacy patriarki yang mewajibkan perempuan “hanya” menjadi pelengkap kesempurnaan laki-laki. Peran perempuan dijinakkan dan dimanfaatkan untuk tunduk dan patuh pada negara. Selain itu, partisipasi perempuan didelegitimasi dan berhasil mendorong perempuan menjadi kelompok yang apolitis.
Gerakan perempuan di Indonesia mengalami dinamika yang fluktuatif. Ia pernah mengalami masa keemasan saat menjelang kemerdekaan, dan tiba-tiba mengalami kemunduran yang terstruktur di masa Orde Baru, lalu kemudian bangkit lagi di masa reformasi. Kebangkitan gerakan perempuan di era reformasi tersebut ditandai dengan masuknya perempuan pada politik praktis, menduduki jabatan strategis pemerintahan, bahkan ikut serta dalam pengambilan keputusan negara yang anti diskriminasi gender.
Namun, kemajuan gerakan perempuan tersebut nyatanya tidak diiringi dengan redistribusi kemakmuran pada perempuan secara khusus. Faktanya, gerakan perempuan masih dalam keadaan berproses dan belum mencapai garis finis karena sistem politik demokrasi neoliberal yang dianut saat ini belum berpihak pada kaum rentan seperti perempuan.
Masa Keemasan Gerakan Perempuan
Kesadaran perempuan untuk membentuk suatu organisasi perkumpulan diwujudkan dengan adanya Kongres Perempuan Indonesia yang diselenggarakan pada tanggal 22 Desember 1928. Dalam kongres tersebut, secara kolektif perempuan menyuarakan aspirasi dan kritiknya atas ketertidasan perempuan, serta menuntut pembebasan Indonesia dari penjajahan. Sebelumnya, aksi serupa juga sering dilakukan, namun melalui gerakan yang parsial dan personal.
Pasca kemerdekaan, perempuan juga membentuk berbagai organisasi politik seperti Wanita Marhaen, yang merupakan bagian dari Partai Nasional Indonesia (PNI). Ada juga Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), Perwani (Persatuan Wanita Indonesia), dan masih banyak organisasi lainnya. Bahkan, Gerwani berhasil mengantarkan anggotanya duduk di kursi parlemen pada pemilu 1955 dengan mengusung isu perkosaan; memperjuangkan hak perempuan untuk menduduki jabatan lurah; mendirikan warung koperasi untuk pemberdayan ekonomi perempuan; menuntut perubahan UU perkawinan agar lebih demokratis; dan masih banyak lagi agenda yang diusung untuk perempuan.
Selain organisasi politik, organi berbasis keagamaan juga menjamur di periode ini. Organisasi seperti Fatayat NU, Aisyiah Muhammadiyah, dan Wanita Katolik menjadi contoh yang dapat diketengahkan. Perjuangan yang disuarakan oleh perempuan di masa ini antara lain memberantas buta huruf di kalangan perempuan, persamaan hak dalam memperoleh pendidikan, program pemberdayaan perempuan untuk mengentaskan kemiskinan, dan kampanye kesetaraan gender.
Gerakan menolak poligami juga santer digaungkan. Gerakan ini berawal dari keputusan Presiden Soekarno untuk melakukan praktik poligami di tahun 1954. Namun, sayangnya tuntutan itu diabaikan oleh pemerintah. Hal ini merupakan konsekuensi dari pensubordinasian perjuangan gender interest di bawah proyek nasionalisme. Jika menolak poligami, beberapa pihak khawatir dianggap anti Soekarno dan anti nasionalisme.
Gerakan perempuan pada masa ini memiliki bargaining posititon yang tinggi. Di tengah upaya Indonesia mencari pola dan bentuk pemerintahan yang tepat, perempuan masuk ke dalam diskusi wacana politik di dalamnya, sehingga banyak aspirasi perempuan yang ikut dijadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan negara.
Masa Kemunduran Gerakan Perempuan (Periode Konco Wingking)
Dengan ideologi ibuisme negara, Soeharto dan Orde Baru berhasil menetapkan legacy patriarki yang mewajibkan perempuan “hanya” menjadi pelengkap kesempurnaan laki-laki. Peran perempuan dijinakkan dan dimanfaatkan untuk tunduk dan patuh pada negara. Selain itu, partisipasi perempuan didelegitimasi dan berhasil mendorong perempuan menjadi kelompok yang apolitis.
Hal ini bermula semenjak dihancurkannya Gerwani pada tahun 1965 karena dianggap berafiliasi dengan PKI (Partai Komunis Indonesia) yang dituduh melakukan pemberontakan terhadap negara. Secara otomatis, gerakan perempuan yang tadinya massif memperjuangkan kesetaraan gender menjadi mati suri. Muncul kekhawatiran dianggap sebagai “organisasi kiri” di benak aktivis perempuan jika terus menuntut dan merongrong pada rezim.
Simbol-simbol mengenai seks liar dan kastrasi digunakan dilekatkan pada mereka yang terus aktif menuntut rezim. Hal ini dilakukan untuk memberangus keberanian, kemandirian sosial politik, dan otonomi perempuan. Pemerintah militer Orde Baru yang pro-modal berhasil menghilangkan Gerwani dari sejarah gerakan perempuan (Soyomukti, 2009).
Perwani (Persatuan Wanita Indonesia) yang tadinya sangat aktif menentang langkah poligami Soekarno, berubah menjadi organisasi yang beranggotakan istri-istri pegawai yang kegiatannya dikhususkan bagi perempuan dari kalangan menengah ke atas. Program yang dijalankan sebatas pada pemberian dukungan pada suami-suami yang bekerja.
Pada tahun 1974 dibentuk organisasi persatuan istri-istri pegawai negeri atau Dharma Wanita. Ada juga Dharma Pertiwi sebagai organisasi yang beranggotakan istri-istri ABRI. Program yang dijalankan oleh organisasi ini adalah mengajak para perempuan untuk kembali pada “kodrat” nya sebagai ibu rumah tangga yang mengurusi kebersihan rumah; sebagai istri yang tunduk pada suami; dan sebagai ibu yang wajib mendidik anak-anak.
Pembentukan organisasi yang beranggotakan istri dari suami yang berprofesi tertentu ini meneguhkan bahwa memang posisi perempuan hanya sebagai bayang-bayang suaminya saja. Pada tataran ini, perempuan dipandang tidak mampu berdiri sendiri, dan bahkan jabatan dalam organisasinya pun didasarkan pada jabatan suaminya, bukan karena kapasitas dan kemampuannya dalam memimpin.
Citra ideal perempuan disebarluaskan menjadi tiga I (Ibu, Istri, dan Ibu Rumah Tangga). Perempuan yang baik adalah perempuan yang menghabiskan waktunya bersama anak-anak di rumah, bukan di tempat kerja, apalagi ikut menyuarakan aspirasinya pada bidang politik. Perempuan dilarang masuk dalam politik praktis, kecuali jika suaminya adalah politisi. Itupun posisinya hanya sekadar menjadi pendamping saat pelantikan dan kunjungan kerja. Tidak ada perlawanan terhadap diksriminasi dan ekspolitasi yang dialami perempuan, karena perlawanan dianggap sebuah pemberontakan dan penyalahan atas kodrat perempuan.
Organisasi perempuan mengalami domestifikasi dan pengebirian. Pada kasus dan kondisi tertentu, perempuan tak lagi menjadi manusia merdeka yang bebas mengekspresikan ide-idenya untuk kemajuan perempuan dari perspektif perempuan sendiri. Akibatnya, persoalan kekerasan dalam rumah tangga, serta ketidakadilan yang dialami perempuan, otomatis terabaikan. Produk hukum keluarga dalam UU Perkawinan yang dianggap dapat mengangkat perempuan pun juga dirumuskan berdasarkan pengalaman laki-laki, bukan perempuan.
Editor: R. Agnibayaa
Tags
Perempuan dan Gender