Oleh: Ibnu Hasyim
Mahasiswa UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo
Kehadiran Belanda di Indonesia, melalui kolonialisme, membawa pengaruh besar terhadap gaya hidup masyarakat Indonesia setelahnya. Kebudayaan Barat, khususnya Belanda, memengaruhi kehidupan sehari-hari masyarakat, termasuk tujuh unsur universal kebudayaan: bahasa, peralatan hidup, mata pencaharian dan sistem ekonomi, sistem kemasyarakatan, kesenian, ilmu pengetahuan, dan religi. Perpaduan budaya Belanda dan Pribumi inilah yang dikenal sebagai Kebudayaan Indis. Tulisan ini menjelaskan kembali pokok-pokok inti yang ada di buku karya Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis dari Zaman Kompeni Sampai Revolusi.
Pada awal tulisannya, Djoko Soekiman menjelaskan bahwa kedatangan bangsa Belanda di Indonesia pertama kalinya untuk berdagang, tetapi kemudian menjadi penguasa di Indonesia. Mereka mendirikan gudang-gudang (pakhuizen) untuk menimbun barang dagangannya yang berupa rempah-rempah. Gudang-gudang tersebut berlokasi di Banten, Jepara dan Jayakarta (Jakarta).
Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) merupakan penyumbang terbesar untuk mendirikan gudang penyimpanan barang dagangan dan kantor dagang di Indonesia. Seiring perkembangan waktu, VOC memperkuat gudang-gudang penyimpanan barang tersebut untuk dijadikan benteng pertahanan sekaligus sebagai tempat tinggal. Hal semacam iu juga diterapkan di kota-kota di pantai utara Jawa, seperti Semarang dan Surabaya.
Segala kesibukan perdagangan dan kehidupan sehari-hari berpusat pada benteng-benteng yang telah diperkuat tersebut. Lambat laun banyak tempat tinggal orang Belanda bermunculan di luar benteng karena keamanan di luar benteng makin terjamin. Selain itu, perlawanan rakyat di sekitarnya makin berkurang. Namun meskipun demikian, semua kegiatan ekonomi dn pemerintahan, seperti penerimaan utusan bangsa asing, upacara resmi, dan pesta masih tetap berlangsung di dalam benteng.
Pada bab II bukunya, Soekiman menguraikan bahwa telah terjadi kontak antara budaya Belanda dan pribumi. Kontak itu kemudian menghasilkan kebudayaan campuran yang disebut sebagai kebudayaan Indis. Soekiman menekankan jika konsep Indis dalam bukunya hanya terbatas pada ruang lingkup di daerah Jawa, yaitu tempat bertemunya kebudayaan Eropa (Belanda) dengan Jawa (Hal. 11).
Dalam proses akulturasi kebudayaan yang terjadi, peran penguasa kolonial di Hindia-Belanda (Indonesia) sangat menentukan. Sementara itu, bangasa Indonesia menerima nasib sebagai bangsa terjajah serta menyesuaikan diri sebagai aparat penguasa jajahan atau kolonial. Hal ini menyebabkan ciri-ciri Barat (Eropa) tampak lebih menonjol.
Namun faktanya, sebelum terjadi percampuran budaya ini, peradaban Indonesia sudah cukup tinggi sehingga ada sebagian golongan masyarakat pribumi (Jawa) yang cukup aktif dalam proses percampuran budaya ini. Golongan tersebut merupakan pendukung gaya hidup Indis. Gaya hidup golongan masyarakat pendukung kebudayaan Indis menunjukan perbedaan mencolok dengan kelompok-kelompok sosial lainnya, terutama dengan kelompok masyarakat tradisional Jawa.
Beberapa unsur kebudayaan Indis di antaranya adalah bahasa, kelengkapan hidup, Pendidikan, kesenian, dan kemewahan gaya hidup. Dalam hal bahasa, misalnya. Bahasa yang digunakan oleh bangsa Eropa untuk berkomunikasi dengan masyarakat Jawa adalah bahasa Pijin. Bahasa Pijin adalah bahasa campuran, yang pada umumnya digunakan oleh orang-orang keturunan Belanda dengan ibu Jawa, Cina Keturunan dan Timur asing. Bahasa Pijin pada umumnya muncul dalam keadaan kebahasaan darurat.
Bahasa Budaya Indis
Saat awal kedatangan orang Eropa, penduduk setempat tidak memahami bahasa para pendatang tersebut, tapi mereka memiliki keinginan untuk mengerti. Begitupula bagi bangsa Eropa, mereka menyederhakana tata bahasa dan kosakata mereka dengan harapan penduduk asli dapat mengerti apa yang dikatakannya. Selain itu, berkembang pula bahasa Kreol. Bahasa Kreol adalah bahasa yang awalnya berasal dari bahasa pijin, namun kemudian menjadi bahasa ibu bagi suatu komunitas. Bahasa ini muncul ketika komunikasi yang awalnya bersifat mendasar menjadi lebih kompleks dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Hasil percampuran budaya dan bahasa antara orang Belanda dan orang Jawa juga melahirkan bahasa Petjoek. Penggunaan bahasa petjoek di wilayah Jawa bervariasi, tergantung lokasinya. Misalnya, di Jakarta, bahasa ini mengandung unsur Melayu dan Tionghoa, sementara di Bandung dan sekitarnya, lebih banyak mengandung unsur bahasa Sunda.
Perlengkapan Hidup Budaya Indis
Selanjutnya terkait dengan unsur kelengkapan hidup. Kelengkapan hidup di sini merujuk pada segala hasil ciptaan manusia yang berfungsi melindungi dan melengkapi sarana kehidupan, sehingga memudahkan aktivitas sehari-hari. Rumah sebagai tempat tinggal, berbagai perabotan rumah tangga, pakaian, senjata, alat-alat produksi, hingga sarana transportasi merupakan hal-hal yang masuk ke dalam unsur ini.
Dalam konteks masyarakat Indis, kelengkapan hidup tidak hanya berfungsi sebagai kebutuhan praktis, tetapi juga menjadi simbol status sosial yang penting. Gaya hidup mewah yang tercermin dari kepemilikan berbagai kelengkapan hidup berkualitas tinggi menjadi indikator kekayaan dan kedudukan seseorang dalam hierarki sosial. Semakin lengkap dan mewah perlengkapan hidup yang dimiliki, semakin tinggi pula prestise yang melekat pada pemiliknya. Selain kelengkapan hidup, terdapat pula simbol-simbol lain yang menjadi tolak ukur status sosial dalam masyarakat, seperti jabatan yang dihormati, penghasilan yang tinggi, dan tingkat pendidikan yang baik. Semua ini berfungsi sebagai penanda posisi dan prestise seseorang dalam struktur masyarakat.
Pendidikan Dalam Konteks Indis
Dalam hal pendidikan, masyarakat Jawa masih sangat sederhana, terutama dilakukan melalui tradisi lisan, di mana pengetahuan dan nilai-nilai diwariskan dari generasi ke generasi melalui penuturan langsung. Pengetahuan ini biasanya berasal dari para sesepuh yang memiliki pengalaman hidup yang luas dan mendalam. Keyakinan akan pentingnya pendidikan tradisional ini tertanam kuat dalam budaya Jawa sebagai cara untuk melestarikan tradisi.
Seiring berjalannya waktu, sistem pendidikan tradisional Jawa yang awalnya berfungsi untuk menjaga kelangsungan budaya dan pengetahuan antar generasi mulai mengalami perubahan. Perubahan tersebut berlangsung ketika bersentuhan dengan masyarakat Indis (campuran Jawa-Eropa). Saat itu, terjadi pertukaran budaya dua arah, di mana anak-anak keturunan Eropa terpengaruh oleh unsur-unsur budaya Jawa, sementara anak-anak priyayi (bangsawan Jawa) menyerap berbagai pengaruh dari budaya Eropa.
Seperti yang diuraikan oleh Soekiman dalam bukunya, "Para priyayi yang telah menjadi bagian dari masyarakat Indis mulai menginginkan pendidikan modern bagi anak-anak mereka." Tujuan utama mereka adalah mempersiapkan generasi penerus untuk dapat menduduki posisi penting dalam struktur administrasi pemerintahan Hindia-Belanda, di mana profesi terebut sangat dihormati dan dipandang tinggi dalam masyarakat Jawa pada masa itu.
Seni Dalam Budaya Indis
Persentuhan antara budaya Eropa dan Jawa juga terjadi di wilayah seni sehingga menghasilkan seni Indis. Jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa ke Indonesia, masyarakat Jawa telah memiliki tradisi kesenian yang sangat maju dan beragam. Kesenian ini mencakup berbagai bidang seperti seni kerajinan kriya, seni pertunjukan, sastra, dan bahkan film. Di antara berbagai jenis kerajinan yang berkembang luas di seluruh pulau Jawa dan Nusantara, seni pintal atau tenun merupakan salah satu yang paling menonjol.
Masyarakat Jawa juga mengembangkan seni pembuatan perhiasan tubuh dan senjata tradisional. Namun seiring waktu, perkembangan industri modern membawa perubahan besar. Ketika pabrik-pabrik mulai memproduksi barang-barang serupa secara massal, kerajinan tradisional ini berangsur-angsur mengalami kemunduran. Beberapa jenis kerajinan bahkan akhirnya punah karena tidak mampu bersaing dengan produksi massal.
Dalam bidang seni pertunjukan, pengaruh Eropa mulai terlihat dalam kehidupan masyarakat Indis Hal ini ditandai dengan munculnya kelompok-kelompok slaven concerten atau slavenorkest, yaitu kelompok pemain musik. Kepemilikan kelompok slavenorkest (pemain musik) menjadi penanda penting status sosial di kalangan masyarakat Indis. Para landheer (tuan tanah) dan elit masyarakat Indis secara khusus memelihara kelompok musik ini sebagai simbol kemewahan dan prestise. Ini menunjukkan bagaimana kesenian diintegrasikan ke dalam sistem nilai dan status sosial mereka.
Pengaruh Eropa pada kesenian Jawa juga terlihat di institusi tradisional seperti Keraton Yogyakarta, di mana Sultan Hamengkubuwono memiliki Abdi Dalam yang khusus bertugas memainkan musik Barat. Ini menggambarkan bagaimana elit Jawa mengadopsi elemen kebudayaan Eropa sebagai bagian dari gaya hidup mereka yang halus dan terpelajar.
Kemewahan Gaya Hidup Budaya Indis
Pada bagian "Kemewahan Gaya Hidup" Soekiman menjelaskan dengan detail, bahwa gaya hidup masyarakat Indis menunjukkan perbedaan yang mencolok dengan kelompok-kelompok sosial lainnya di Indonesia pada masa kolonial. Perbedaan tersebut tercermin jelas melalui arsitektur tempat tinggal mereka, khususnya rumah pesanggrahan yang menjadi simbol status dan kemewahan. Rumah pesanggrahan dalam kebudayaan Indis merupakan elemen arsitektur penting yang mencerminkan perpaduan harmonis antara budaya Jawa dan Eropa. Pesanggrahan merujuk pada bangunan peristirahatan atau rumah singgah yang digunakan untuk beristirahat sementara. Pesanggrahan biasanya terletak di area dengan pemandangan indah dan iklim sejuk.
Ciri khas rumah bergaya Indis dapat dilihat dari lingkungan sekitarnya yang sering dikelilingi perkebunan kopi atau tanaman lainnya. Halaman rumah dirancang dengan estetika tinggi, dilengkapi kolam-kolam air dengan air mancur, patung-patung dekoratif, dan pot-pot bunga yang tertata dengan indah. Selain itu, keagungan arsitektur Indis tampak dari beberapa elemen khasnya. Jendela-jendela yang luas dan tinggi dengan petak-petak kaca (glazen ruiten) menjadi ciri utama yang memungkinkan sirkulasi udara dan pencahayaan alami yang optimal bagi penghuni rumah. Ornamen dekoratif pada rumah Indis memadukan unsur Eropa dan lokal dengan indah, menciptakan identitas arsitektur yang unik.
Jejak kolonialisme Belanda di Indonesia dapat dibaca dengan jelas dalam budaya Indis. Hari ini sebagian dari masyarakat Indonesia masih melakukan praktik-praktik peninggalan budaya Indis, seperti makan dengan sendok dan garpu, memakai jas dipadu dengan bawahan kain, rekreasi ke tempat sejuk, dan lain sebagainya. Budaya Indis telah menjadi kekayaan kebudayaan Indonesia, sekaligus penanda terjadinya akulturasi budaya di bekas wilayah jajahan.
Referensi:Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis dari Zaman Kompeni Sampai Revolusi, Jakarta: Komunitas Bambu, 2011.Editor: R. Agnibayaa
Tags
Humaniora