Oleh: R.N. Bayu Aji
Dosen Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Surabaya
Semangat memerangi rasisme di lapangan hijau yang dilakukan FIFA bisa dijadikan renungan terhadap perjalanan sepak bola. Ketika kita berhasil memerangi rasisme di ranah sepak bola, bisa jadi hal itu dapat memunculkan lagi pemain Tionghoa yang menjadi kebanggaan sepak bola nasional.
Sepak bola merupakan olahraga paling digemari di seluruh dunia. Sepak bola ditinjau dari kesejarahan tidak bisa kita lepaskan dari peranan bangsa Eropa. Sejak dikenalnya sepak bola yang lebih modern di abad ke-15, olahraga paling populer ini berkembang hingga ke penjuru negeri.
Kolonialisasi yang dilakukan oleh bangsa Eropa di Benua Amerika, Afrika dan Asia, turut serta mempopulerkan dan menjadikan sepak bola sebagai permainan global. Ketika Belanda melakukan kolonialisasi di Indonesia, transformasi sepak bola terjadi di Indonesia, terutama di Surabaya. Catatan-catatan sejarah yang ada menunjukkan bahwa awal dibentuknya bond-bond (perkumpulan) sepak bola diawali oleh pemuda Belanda, John Edgar di Surabaya. Bond sepak bola yang ada di surabaya pada tahun 1890-an antara lain Victoria (1895), Sparta (1896), SIOD (Scoren Is Ons Doel), Rapiditas, dan THOR.
Tumbuhnya bond-bond sepak bola yang diawali oleh pemuda Belanda di Surabaya memperkuat tumbuhnya persepakbolaan di kalangan Tionghoa dan Bumiputera. Tumbuhnya gairah sepak bola di kalangan Tionghoa juga tidak terlepas dari pembedaan golongan masyarakat ke dalam tiga kelas di Hindia Belanda tahun 1855 yakni Belanda (Eropa), Vreemde Oosterlingen (Timur Asing) dan Inlander (Bumiputera).
Ketika terjadi penggolongan tersebut, orang-orang Tionghoa yang tergolong dalam Vreemde Oosterlingen “dipaksa” lebih menyatukan identitas mereka. Persatuan tersebut juga masuk dalam ranah sepak bola. Pertama-tama, orang Tionghoa melakukan sepak bola dalam kalangan mereka sendiri. Selanjutnya, setelah berkembang pesat pada awal abad ke-20, tumbuh bond-bond di kalangan Tionghoa.
Bond-bond Tionghoa terbentuk di kota besar di antaranya adalah Tionghoa Surabaya, UMS Batavia, BRC Buitenzorg (Bogor), YMC Bandung, Union dan TNH Semarang. Bond-bond tersebut secara berturut-turut melakukan Steden-Wedstrijden (pertandingan antar kota).
Semangat orang Tionghoa dalam sepak bola pada tahun 1932 tidak kalah menghebohkan dengan kondisi perpolitikan di Hindia-Belanda (Indonesia). Sepak bola pada waktu itu digunakan untuk membakar semangat orang Tionghoa agar berpegang pada ide Indonesierschap Lim Koen Hian, tokoh PTI (Partai Tionghoa Indonesia). Indonesierschap berpandangan bahwa orang Tionghoa adalah bagian dari Indonesia.
Akhirnya, pemboikotan dilakukan oleh Liem terhadap kompetisi SVB (Soerabaiasche Voetbal Bond) Belanda. Hal inilah yang kemudian bisa membakar semangat orang Tionghoa untuk menegaskan tentang pentingnya (ke)indonesia(an). Semangat itu meresap masuk ke ranah sepak bola.
Semangat (ke)indonesia(an) ikut mengantarkan peranan orang Tionghoa dalam perkembangan sepak bola. Muncul nama-nama seperti The San Liong, Beng Ing Hien dan Phoa Sian Liong, baik ketika membela Tionghoa Surabaya maupun Persebaya Surabaya pada tahun 1950-an. Ketiga pemain itu juga menjadi bagian timnas Indonesia ketika menahan Uni Soviet 0-0 di Olimpiade Melbourne 1956.
Bergantinya Era Soekarno ke Orde Baru membuat paradoks terjadi pada ranah sepak bola, khususnya bagi kalangan Tionghoa di Surabaya. Tidak ada lagi nama-nama tenar mewarnai sepak bola lokal maupun nasional dari orang Tionghoa. Seakan-akan orang Tionghoa menghilang begitu saja dari ranah sepak bola.
Paling tidak, ada beberapa hal yang menjadi faktor hilangnya orang Tionghoa dalam sepak bola Indonesia. Pertama, rasialisme yang terjadi di masyarakat. Seringkali pemain sepak bola Tionghoa diteriaki "China" oleh suporter. Hal itu mengakibatkan keengganan bagi mereka menggeluti sepak bola.
Kedua, perbedaan antara pribumi dan non-pribumi kerap masih dirasakan dalam kehidupan sehingga ketika terjadi kerusuhan dalam sepak bola bisa bergeser pada sentimen ras. Kentalnya sentimen ras pasti menggangu kondisi psikis seseorang.
Ketiga, pandangan orang Tionghoa yang pragmatis bahwa sepak bola tidak bisa dijadikan sebagai sandaran hidup. Mereka lebih suka beraktualisasi pada wilayah perdagangan saja dari pada sepak bola. Selain itu, orang Tionghoa lebih suka menekuni pendidikan dan kemudian berwirausaha.
Saat ini kampanye terhadap sentimen rasial (let’s kick racism out of Football) dilakukan oleh FIFA. Momen tersebut sebenarnya bisa digunakan untuk menumbuhkan dan menarik gairah orang Tionghoa untuk kembali berjaya melalui sepak bola Indonesia.
Sempat muncul nama Suwito yang mempunyai darah Tionghoa di Persebaya Surabaya pada tahun 2002. Akan tetapi, prestasinya meredup seiring kecilnya kesempatan bermain.
Dunia sepak bola juga bisa berkaca pada cabang olahraga bulutangkis. Banyak pemain bulutangkis dari keturunan Tionghoa yang berprestasi hingga level internasional. Apabila orang Tionghoa diberikan kesempatan untuk menggeluti sepak bola, bukan tidak mungkin seluruh potensinya akan didedikasikan demi harumnya nama sepak bola Indonesia.
Editor: R. Agnibayaa
Tags
Humaniora