Oleh: Rangga Agnibaya
Dosen UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo
Editor komunitaspintu.id
Dosen UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo
Editor komunitaspintu.id
“Diciptakan alam pria dan wanita/ Dua makhluk dalam asuhan dewata/ Ditakdirkan bahwa pria berkuasa/ Adapun wanita lemah lembut manja.” Penggalan lirik lagu 'Sabda Alam' karya Ismail Marzuki ini tentu saja bukan lirik lagu favorit para pegiat gender yang susah payah memperjuangkan kesetaraan gender di segala lini kehidupan. Lagu yang diciptakan pada tahun 1956 tersebut seolah memberi kesimpulan terhadap realitas sosial selama ratusan, bahkan ribuan tahun, yang mempertontonkan supremasi budaya patriarki.
Lirik lagu 'Sabda Alam' karya Ismail Marzuki bisa menjadi representasi cara pandang dan berpikir masyarakat yang menjadikan budaya patriarki sebagai rujukan dalam hal nilai-nilai. Budaya Patriarki sendiri merupakan sebuah sistem di mana laki-laki mendominasi di segala bidang kehidupan, serta memiliki otoritas besar dan hak istimewa dibanding perempuan. Sistem nilai ini sebenarnya tidak bersifat kodrati, melainkan dikonstruksi secara sosial. Karena dibangun selama ribuan tahun, dan pada konteks tertentu dilegitimasi oleh nilai-nilai agama, maka sistem nilai yang sangat bias gender ini terlihat natural dan bersifat given atau ‘terberi’.
Nawal El Saadawi, seorang sastrawan dan pejuang hak-hak perempuan, dalam bukunya yang berjudul Perempuan Dalam Budaya Patriarki mengungkapkan bahwa laki-laki selama ribuan tahun telah membangun dan mempertahankan hegemoninya atas perempuan. Hal ini menyiratkan pemahaman bahwa selama ribuan tahun tersebut terjadi interaksi yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan. Saadawi menyebut perempuan berada dalam kekuasaan laki-laki. Tidak hanya di lingkup publik kekuasaan tersebut dipraktikkan dan dilanggengkan, melainkan juga di ruang domestik yang bahkan tertutup dari sorot mata khalayak. Menurut penuturan Saadawi dalam bukunya, subordinasi yang menyebabkan perempuan di jazirah Arab tertinggal dan tertindas justru lebih banyak disebabkan oleh mengakar kuatnya budaya patriarki.
Dalam bukunya, misalnya, Saadawi mengungkapkan sebuah potret buram dan brutal dari ketertindasan perempuan, khususnya di Arab dan Afrika. Potret buram dan brutal tersebut bercerita tentang bagaimana tubuh perempuan diperlakukan sebagai objek yang harus tunduk terhadap norma dan aturan yang keji. Aturan dan norma keji tersebut mewujud dalam praktik penyunatan pada salah satu bagian sensitif perempuan. Tragisnya, penyunatan tersebut tidak dilakukan berdasarkan prosedur medis yang baku. Saadawi, yang ketika itu juga merupakan seorang dokter, sering menangani pasien perempuan yang mengalami pendarahan hebat setelah menjalani praktik penyunatan dengan seorang Daya. Daya adalah dukun yang biasa melakukan penyunatan pada perempuan.
Saadawi berpandangan kritis bahwa praktik penyunatan yang dilakukan secara keji dan tidak prosedural tersebut dilakukan dalam rangka “mendisiplinkan” tubuh perempuan. Pendisiplinan tersebut dilakukan dalam bingkai prasangka negatif budaya patriarki yang menganggap perempuan sebagai manusia yang lekat dengan sikap dan sifat negatif. Ia sendiri, sebagai anak perempuan di keluarga konservatif, sering merasa iri terhadap saudara laki-lakinya yang seolah bebas dari pendisiplinan. “Mengapa mereka diperbolehkan keluar rumah seenaknya, aku tidak? Mengapa mereka boleh berlari-larian seenaknya, sedangkan aku tidak? Mengapa mereka boleh tertawa keras-keras, aku tidak? Jika aku berbicara dengan orang lain, aku harus menundukkan kepalaku dan tidak boleh menatap matanya.” Tulis Saadawi dalam bukunya.
Akar Historis Representasi Negatif Perempuan
Jika patriarki menganggap perempuan perlu untuk didisiplinkan dengan larangan-larangan dan bahkan dengan rasa sakit, maka konsep perempuan tidak tertib dan sumber masalah menjadi dasar yang kuat bagi pandangan tersebut. “Ku akui kau memang manis tapi kau iblis, kau pikir kaulah segalanya.” pekik grup band Edane dalam lagunya yang berjudul ‘Kau pikir kaulah segalanya’. Penggalan lagu tersebut seolah menjadi ungkapan yang mewakili pandangan laki-laki terhadap perempuan. Band Edane sendiri semua anggotanya adalah laki-laki. Dalam konteks lagu Edane tersebut perempuan yang dimaksud merupakan perempuan yang bersikap seenaknya sendiri kepada laki-laki sehingga Edane bersumpah dalam lagunya itu, “Tapi bisa ku balas kau lebih gila.”
Secara historis dapat ditelusuri jejak pandangan negatif terhadap perempuan, baik dalam ranah Mitologi, Filsafat, dan Teologi. Dalam mitologi Yunani Kuno, misalnya, terdapat kisah manusia perempuan pertama ciptaan Zeus bernama Pandora. Pandora dianggap menjebak laki-laki untuk membuka guci suci yang akhirnya menyebabkan kehidupan mereka penuh dengan cobaan. Kisah Pandora ini mirip dengan kisah teologi tentang peran perempuan dalam kejatuhan laki-laki. Dalam agama-agama Samawi dikenal cerita seorang perempuan bernama Hawa yang merayu dan membujuk laki-laki bernama Adam untuk memakan buah terlarang yang ada di surga. Setelah memakan buah terlarang tersebut Adam dan Hawa akhirnya dihukum oleh Tuhan dengan diturunkan ke bumi.
Dalam bidang filsafat pun banyak para filusuf yang berpandangan sangat bias gender. Mereka memosisikan perempuan pada posisi yang ‘rendah’. Plato, seorang filsuf pada masa Yunani Kuno, memiliki pandangan bahwa setiap manusia yang dalam masa hidupnya penuh dengan dosa, maka ketika mati akan bereinkarnasi menjadi perempuan. Jika dalam kehidupan keduanya itu masih penuh dengan dosa, maka ia akan bereinkarnasi menjadi binatang buas. Di sini dapat dilihat bahwa perempuan hanya menjadi “pembatas” antara laki-laki dan binatang.
Pandangan dan kisah-kisah bias gender dari perspektif mitologi, teologi, dan filsafat tersebut seolah menunjukkan bahwa perempuan menjadi sumber “ketidaktertiban” dan “ketidakpatuhan” manusia. Hal ini lantas menjadi alasan bagi sebuah sikap, nilai, dan bahkan ideologi, untuk “menertibkan” dan “mendisiplinkan” perempuan. Penertiban dan pendisiplinan tersebut berlangsung dalam berbagai bentuk dan sepanjang waktu.
Tubuh Perempuan Yang Didisiplinkan Melalui Panopticon Patriarki
Sebagai objek yang didisiplinkan, perempuan seolah dipaksa agar segala yang melekat pada “kediriannya” sesuai dengan norma yang berlaku di masyarkat, meskipun norma tersebut merupakan konstruksi tradisi patriarki yang sangat subjektif dan bias. Michele Foucault, seorang pemikir Perancis, dalam buku berjudul Discipline and Punish menulis bahwa pendisiplinan tubuh dan perilaku manusia merupakan bentuk baru praktik penghukuman. Jika dulu hukuman yang menyakiti tubuh, seperti mencambuk, menggantung, dan memenggal menjadi senjata utama untuk menertibkan masyarakat, maka di era modern penertiban masyarakat dilakukan dengan cara pengendalian tubuh dan perilaku melalui sistem nilai dan norma yang berlaku. Pengendalian tersebut bertujuan untuk membentuk kepatuhan, ketertiban, dan harmoni.
Perempuan dengan segala yang melekat pada dirinya menjadi salah satu objek yang dikendalikan dan didisiplinkan melalui sistem nilai dan norma yang berlaku. Apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh perempuan; apa yang pantas dan tidak pantas untuk perempuan; dan apa yang harusnya dilakukan perempuan “normal” dikonstruksikan melalui nilai dan norma, yang faktanya, diproduksi oleh budaya patriarki. Seorang perempuan yang menjadi korban pelecehan di jalan saat tengah malam pun akan tetap terlihat salah. “Perempuan kok di jalan tengah malam, sungguh tidak pantas,” mungkin ungkapan itu yang akan disematkan padanya. Perempuan sebagai korban tetapi tetap disalahkan. Ironisnya, di sisi yang lain, Bon Jovi bernyanyi, “I have made mistakes, I’m just a man (aku membuat kesalahan, aku hanya seorang laki-laki)”. Penggalan lirik dalam lagu ‘Always’ itu terdengar romantis, tapi sejatinya egois. Apa yang dinyanyikan oleh Bon Jovi itu sama halnya dengan memaklumkan seorang balita yang menumpahkan air dari gelas: tidak perlu disalahkan, karena masih kecil.
Pada akhirnya perempuan seperti di dalam sebuah penjara yang tak kasat mata. Ruang geraknya seolah dibatasi dengan beraneka ragam nilai dan norma yang dikonstruksi budaya patriarki: apa yang boleh dan apa yang dilarang. Dalam Discipline and Punish Foucault menjelaskan tentang panopticon, yakni sebuah penjara model baru yang membatasi dan mengawasi perilaku tahanan secara tersembunyi. Sang tahanan tidak tahu kapan diawasi dan dikendalikan perilakunya, tapi ia bersikap seolah diawasi terus-menerus. Sitem nilai dan norma yang membatasi ruang gerak perempuan adalah panopticon. Foucault menegaskan bahwa panopticon merupakan metafora kekuasaan di era modern. Kekuasaan tersebut mampu mengontrol perilaku seseorang dari dalam dirinya sendiri. Seseorang bersikap disiplin dan tertib bukan karena dipaksa, melainkan karena merasa terus diawasi. Begitu juga sistem nilai dan norma budaya patriarki yang mengarahkan “kedirian” perempuan, ia mengawasi, mengontrol, dan mendisiplinkan dari dalam diri.
Tubuh Perempuan Yang Ditundukkan Oleh Patriarki dan Kapitalisme
Dalam bukunya yang berjudul Tubuh Sosial: Simbolisme Diri dan Masyarakat Antony Synnot menjelaskan bahwa hari ini tubuh manusia tidak lagi bersifat privat. Pada era modern, tubuh manusia menjadi ruang terbuka dan bersifat publik. Tubuh manusia ‘dipaksa’ untuk terus menyesuaikan diri dengan norma sosial, nilai etis, dan bahkan ideologi tertentu agar dipandang “normal”. Penyesuaian-penyesuaian itu berlangsung dalam proses yang ideologis dan kadang tak terasa sebagai bentuk penindasan.
Misalnya, seorang anak perempuan bagian tubuhnya harus dilubangi untuk dipasang anting-anting sebagai penanda identitasnya sebagai perempuan. Hari ini praktik tersebut tidak terlalu menjadi keharusan, tapi ada di suatu masa ketika praktik itu menjadi normalisasi identitas anak perempuan. Ketika anak perempuan itu tumbuh besar, ia juga terus melalui serangkaian penyesuaian-penyesuaian agar identitasnya sebagai perempuan tidak goyah. Mainan dan pakaian yang harus dikenakannya sebagai perempuan juga harus sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Puncaknya ketika perempuan berada pada fase dewasa dan sudah menghendaki “pengakuan” dari lawan jenis, ia sekali lagi harus tunduk pada ideologi kecantikan.
L. Ayu Saraswati menulis sebuah buku berjudul Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional. Dalam bukunya itu Saraswati mengurai bagaimana konsep tentang “Cantik” dimaknai oleh masyarakat Indonesia dari waktu ke waktu. Ia menemukan fakta bahwa konsep “cantik” di Indonesia salah satunya terkait dengan sejarah kolonialisme Belanda di Indonesia. Cantik yang putih dan langsing merupakan ideologi impor yang dibawa dari tanah Eropa melalui penjajahan. Konsep tersebut bertahan hingga hari ini karena telah menjadi industri budaya yang bertumpu pada media dan periklanan (advertising). Ketika perempuan berlomba-lomba untuk menjadi putih dan langsing melalui produk-produk kecantikan, misalnya, agar terlihat “normal”, maka pada tataran ini sejatinya perempuan telah ditundukkan setidaknya dua kali: oleh Patriarki dan Kapitalisme.
Dalam konteks budaya dan peradaban Jawa, Tubuh dan “kedirian” perempuan semakin terlihat hanya sebagai objek yang dipaksa patuh terhadap nilai patriarki. Dalam peradaban Jawa, perempuan tidak hanya harus memahami standar dan ukuran kecantikan, namun juga tentang bagaimana ia harus bersikap dan bertindak: sebagai anak, istri, ibu, dan seterusnya. Sebagai istri, misalnya, perempuan Jawa harus menjaga segala sesuatu yang melekat pada “kediriannya” demi mengangkat harkat dan martabat suaminya. “Harusnya dirimu menjadi perhiasan sangkar maduku …” petikan lagu ‘Dua Sejoli’ milik Dewa 19 tersebut dapat menjadi penegas pandangan perempuan sekadar “perhiasan” bagi laki-laki. Selain itu, novel karya Pramoedya Ananta Toer berjudul Gadis Pantai menggambarkan dengan jelas bagaimana perempuan dalam lingkaran feodalisme dan patriarki Jawa.
Merujuk pada fakta dan fenomena yang ada di masyarakat, perempuan ternyata tidak hanya ditundukkan, tapi juga didisiplinkan agar sesuai dengan ukuran-ukuran yang ditetapkan oleh patriarki. Jika ditelisik lebih jauh, pola normalisasi atau pendisiplinan tubuh perempuan tersebut sejatinya merupakan, meminjam istilah Pierre Bourdieu, praktik kekerasan simbolik. Kekerasan tersebut tidak kasat mata, namun nyata. Apa yang sebenarnya menindas dipersepsi oleh korbannya sebagai sesuatu yang “lumrah”, “sudah semestinya”, dan yang paling ironis, bersifat “kodrati”.
Membaca Kembali Teks-teks Feminis
Untuk dapat mengurai dan membongkar budaya dan ideologi patriarki diperlukan praktik pembacaan kembali terhadap teks-teks feminis yang membentang dalam ruang dan waktu. Hal ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana relasi tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan dicoba untuk diubah. The Second Sex karya Simone de Beauvoir, sebagai contoh, dapat menumbuhkan kesadaran kritis bahwa dalam dunia yang dikuasai ideologi patriarki, perempuan tidak “dilahirkan”, melainkan dibentuk. Perempuan merupakan konstruksi sosial dan budaya, dan bukan sesuatu yang kodrati. De Beauvoir menegaskan, “Perempuan tidak pernah didefinisikan sebagai dirinya sendiri, melainkan selalu dalam hubungannya dengan laki-laki.” Sebagai contoh, Seorang perempuan dipanggil dengan sebutan "Bu Joko" di lingkungan tempat tinggalnya karena merupakan istri dari laki-laki bernama Joko, padahal ia sendiri bernama Sinta.
Dalam dunia sastra, karya Virginia Woolf, Ruang Bagi Perempuan, dapat dibaca kembali untuk melihat pentingnya seorang perempuan memiliki “ruangnya” sendiri untuk dapat berekspresi. Woolf menuliskan pengalamannya, “Seorang perempuan perlu memiliki uang dan ruangannya sendiri untuk dapat menulis cerita fiksi,” Ruang yang dimaksud oleh Woolf di sini merujuk pada situasi di mana perempuan tidak terbebani oleh urusan-urusan sekunder dan domestik, serta mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Lebih lanjut, Ia dengan nada mengecam menjelaskan bahwa ketika seorang perempuan mulai berpikir dan menuliskan ide-idenya (dalam konteks masa Woolf aktif menulis), maka sebenarnya ia tengah masuk ke dalam badai. Artinya, penolakan dan sikap kontra akan dihadapinya. Hal ini dapat dimaknai secara ekstrem: berpikir dan berekspresi tidak untuk dilakukan oleh perempuan.
Dari dua buku karya De Beauvoir dan Woolf tersebut dapat dilihat bahwa usaha untuk bersikap kritis dan mendobrak ideologi patriarki telah dilakukan. Meskipun masih dapat ditambah lagi literatur feminisme dari Julia Kristeva, Nawal El Saadawi, dan tentu saja Habis Gelap, Terbitlah Terang karya RA Kartini. Teks-teks feminisme dapat menjadi kompas yang mengarahkan pada titik di mana perempuan tidak lagi dianggap sebagai “liyan” atau The Other. Titik di mana perempuan didefinisikan sebagai identitas yang utuh, dan bukan sekadar pelengkap laki-laki.
Faktanya, laki-laki menciptakan sebuah budaya dan dunia berdasarkan ukuran-ukurannya, termasuk untuk “dipatuhi” oleh perempuan. Akan tetapi, laki-laki juga menetapkan standar yang menjerat dirinya sendiri. Jika tidak percaya dengarlah nyanyian band The Cure berikut ini: “I try to laugh about it/ Cover it all up with lies/ I try and laugh about it/ Hiding the tears in my eyes/ 'Cause boys don't cry.
Ternyata, laki-laki tidak boleh menangis.
ReferensiAntony Synnott, Tubuh Sosial: Simbolisme Diri dan Masyarakat, Yogyakarta: Jalasutra, 2016.L. Ayu Saraswati, Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional, Jakarta: Marjin Kiri, 2021.Michele Foucault, Discipline and Punish: The Birth Of The Prison, New York: Vintage, 1977.Nawal El Saadawi, Perempuan Dalam Budaya Patriarki, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.Simone de Beauvoir, The Second Sex, Yogyakarta: Narasi, 2016.Virginia Woolf, Ruang Bagi Perempuan, Penerbit kakaktua, 2024.Widya Nirmalawati, Tubuh Perempuan: Studi Feminisme dan Relasi Kuasa, Penerbit Forum, 2024
Tags
Filsafat