Digital Fatigue dan Sisi Kelam Teknologi Dalam Pendidikan

 


Oleh: Safiruddin Al Baqi
Dosen Pendidikan Anak Usia Dini IAIN Ponorogo
Konsen menulis dengan tema-tema Psikologi


Setelah lebih dari dua tahun terjebak dalam rutinitas belajar daring, kini siswa telah kembali ke ruang-ruang kelas. Namun, yang menarik untuk dicermati adalah bagaimana berbagai keluhan yang muncul selama pembelajaran online, seperti susah fokus, cepat lelah, atau sering lupa yang ternyata tidak serta-merta hilang. Meski layar laptop tidak lagi menjadi pusat pembelajaran, banyak siswa masih mengalami gejala-gejala yang identik dengan kelelahan digital atau digital fatigue.

Digital fatigue merupakan kondisi kelelahan mental, emosional, dan fisik akibat paparan teknologi digital yang berlebihan. Istilah ini populer selama masa pandemi, tetapi relevansinya masih terasa kuat hingga kini. Siswa mungkin sudah tidak lagi belajar melalui Zoom atau Google Meet, namun gaya hidup digital mereka tidak berubah. Sepulang sekolah, banyak dari mereka tetap menatap layar gawai untuk bermedia sosial, gim daring, atau tontonan streaming. Kebiasaan multitasking juga masih melekat, seperti belajar sambil membuka notifikasi, mendengarkan musik, bahkan menonton video secara bersamaan. Semua ini secara perlahan membebani kerja otak dan memengaruhi kualitas belajar mereka di kelas.

Dari perspektif psikologi pendidikan, fenomena ini dapat dipahami melalui teori beban kognitif atau cognitive load yang dikembangkan oleh John Sweller. Otak manusia memiliki kapasitas terbatas untuk memproses informasi dalam waktu tertentu. Ketika siswa terbiasa terpapar informasi dari banyak sumber secara bersamaan, seperti saat berpindah-pindah antara tugas sekolah dan notifikasi media sosial, kapasitas memori kerjanya menjadi cepat penuh. Akibatnya, mereka lebih sulit memahami, menyimpan, dan mengingat informasi dengan baik. Ini menjelaskan mengapa banyak siswa tampak cepat lelah, mudah lupa, dan kesulitan mempertahankan perhatian saat guru menjelaskan di depan kelas.

Sayangnya, gejala ini sering kali disalahpahami sebagai bentuk kemalasan atau ketidakseriusan belajar. Padahal, siswa sebenarnya sedang menghadapi kelelahan mental yang belum mereka sadari. Perubahan gaya belajar pasca-pandemi tidak bisa hanya sebatas kembali ke ruang kelas. Ia juga harus disertai dengan perubahan kebiasaan digital yang lebih sehat dan seimbang.

Di sinilah peran penting guru dan orang tua. Mereka perlu lebih peka terhadap tanda-tanda kelelahan mental ini dan membantu siswa membangun kembali ritme belajar yang fokus dan tidak terlalu bergantung pada teknologi. Mendorong aktivitas non-digital seperti membaca buku fisik, menulis tangan, berdiskusi langsung, atau bahkan sekadar beristirahat dari layar, bisa menjadi langkah kecil yang berdampak besar. Selain itu, penting untuk menciptakan lingkungan belajar yang tidak hanya menuntut hasil, tapi juga memperhatikan kesehatan mental siswa.

Digital fatigue bukan sekadar dampak dari pembelajaran daring, tapi juga cerminan dari pola hidup yang semakin bergantung pada teknologi. Menyadari dan mengatasinya bukan berarti kita harus menolak kemajuan digital, melainkan belajar menggunakannya secara bijak. Jika tidak, ruang kelas akan tetap terasa melelahkan, meskipun tidak di hadapan layar.

Editor: Rangga Agnibaya

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak