TERMA HUKUM
Oleh: Khaidarulloh
Dosen Filsafat Hukum Islam Fakultas Syari’ah IAIN Ponorogo
Pengantar Editor:
Kolom baru di komunistaspintu.id yang berjudul Terma ini menghadirkan tulisan-tulisan yang mencoba menjelaskan sebuah terminologi atau konsep-konsep dalam ranah imu sosial, politik, ekonomi, agama, hukum, serta lainnya, baik secara etimologi maupun historis.
***
“Politilae Legius Non Leges Politii Adoptandae," yang dalam bahasa Indonesia berarti "Politik harus tunduk pada hukum, bukan sebaliknya," memberikan refleksi mendalam atas dilema yang dihadapi banyak negara, termasuk Indonesia, dalam menegakkan supremasi hukum.”
Akar Historis
Prinsip ini berakar dari pemikiran klasik tentang supremasi hukum yang berkembang sejak zaman Romawi Kuno. Para filsuf seperti Cicero menekankan bahwa hukum harus berdiri di atas kepentingan politik untuk memastikan keadilan yang universal. Pemikiran ini berlanjut dalam konsep rule of law yang dikembangkan oleh pemikir abad pertengahan seperti Thomas Aquinas, yang mengajarkan bahwa hukum harus mengacu pada moralitas dan kebaikan bersama, bukan kepentingan penguasa.
Di Eropa abad ke-17 dan 18, gagasan ini semakin menguat dengan pemikiran John Locke dan Montesquieu. Locke menekankan bahwa hukum harus menjadi pembatas kekuasaan negara, sementara Montesquieu melalui konsep “trias politica” menegaskan bahwa hukum harus berada di atas eksekutif dan legislatif. Prinsip ini menjadi dasar dalam penyusunan banyak konstitusi modern yang menegaskan supremasi hukum atas politik. Dalam konteks Indonesia, semangat ini tercermin dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945: “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Namun, dalam praktiknya, sering terjadi ketimpangan di mana politik mendominasi hukum, sehingga menciptakan krisis kepercayaan terhadap sistem hukum.
Sejarah membuktikan bahwa hukum adalah pondasi utama yang menopang peradaban maju. Sejak zaman Yunani Kuno, Plato dan Aristoteles telah menekankan pentingnya hukum sebagai alat untuk menciptakan ketertiban sosial. Dalam konsep rule of law, yang dikembangkan oleh pemikir seperti John Locke dan Montesquieu, hukum diposisikan sebagai kekuatan yang lebih tinggi daripada kekuasaan politik. Di Indonesia, gagasan ini sejalan dengan prinsip negara hukum yang diamanatkan dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 di atas. Artinya, segala keputusan dan kebijakan politik harus berlandaskan hukum, bukan sebaliknya. Namun, dalam praktiknya, kita kerap menyaksikan bagaimana hukum justru dikendalikan oleh kepentingan politik.
Dilema Politik dan Hukum di Indonesia
Dalam realitas demokrasi, hubungan antara politik dan hukum sering kali berada dalam ketegangan. Beberapa peristiwa dalam sejarah Indonesia menunjukkan bagaimana hukum sering kali dijadikan alat bagi kepentingan politik. Dari era Orde Lama, Orde Baru, hingga era Reformasi, politik sering kali mendikte hukum.
Pada masa Orde Baru, hukum menjadi alat legitimasi kekuasaan, di mana undang-undang dibuat dan ditegakkan bukan untuk kepentingan keadilan, tetapi untuk melanggengkan status quo. Reformasi 1998 membawa harapan baru dengan membuka ruang demokratisasi dan supremasi hukum. Namun, seiring waktu, muncul tantangan baru: hukum tetap berada dalam cengkeraman kepentingan politik. Kasus-kasus hukum yang melibatkan tokoh politik sering kali menunjukkan bahwa hukum tidak selalu berfungsi sebagaimana mestinya. Penegakan hukum yang “tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas” menunjukkan bahwa hukum masih tunduk pada kekuatan politik tertentu. Fenomena ini menimbulkan defisit kepercayaan publik terhadap institusi hukum.
Salah satu contoh nyata terbaru adalah “teror” terhadap kebebasan pers yang dialami oleh para jurnalis. Serangan digital, intimidasi, dan upaya membungkam media yang kritis terhadap kebijakan pemerintah menunjukkan bagaimana hukum sering kali gagal melindungi kebebasan berekspresi. Ketika jurnalisme investigatif yang mengungkap penyalahgunaan kekuasaan justru mendapat tekanan, ini adalah indikasi bahwa hukum masih bisa dimainkan oleh kepentingan politik tertentu. Hak ini menjadi bahan renungan bersama, apalagi yang merasa dirinya intelektual!
Membumikan Supremasi Hukum
Dalam teori politik modern, supremasi hukum adalah pilar utama demokrasi yang sehat. Supremasi hukum menegaskan bahwa tidak ada individu atau kelompok yang berada di atas hukum, termasuk mereka yang berada dalam lingkaran kekuasaan. Salah satu prinsip fundamental dalam supremasi hukum adalah equality before the law, atau kesetaraan di hadapan hukum. Prinsip ini menegaskan bahwa setiap warga negara, tanpa terkecuali, harus mendapatkan perlakuan hukum yang sama, tanpa diskriminasi berdasarkan status sosial, ekonomi, atau politik. Konsep ini mengingatkan kita pada prinsip yang dikemukakan oleh Mahfud MD, mantan Menkopolhukam era Jokowi, dalam bukunya Politik Hukum di Indonesia, bahwa hukum harus menjadi panglima yang berdiri di atas segala kepentingan politik, menjamin keadilan tanpa diskriminasi.
Namun, supremasi hukum tidak dapat berjalan tanpa institusi yang kuat. Dalam konteks Indonesia, lembaga penegak hukum seperti Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan kepolisian harus memiliki independensi yang kuat dari intervensi politik. Sayangnya, upaya untuk melemahkan institusi-institusi ini kerap terjadi, baik melalui revisi regulasi maupun melalui tekanan politik. Hal yang akhir-akhir ini aktual.
Saatnya hukum kembali pada hakikatnya sebagai penjaga moralitas dan keseimbangan sosial. Dengan menegakkan equality before the law secara nyata, memastikan independensi institusi hukum, serta menjamin kebebasan pers dan akademik, kita dapat membangun sistem hukum yang benar-benar berpihak pada keadilan, bukan kepentingan segelintir elit. Hukum harus menjadi pagar yang melindungi rakyat, bukan senjata yang menekan mereka. Inilah tugas besar bagi kita semua: memastikan bahwa hukum tetap tegak, tanpa takut terhadap bayang-bayang kekuasaan politik. Prinsip “Politik harus tunduk pada hukum, bukan sebaliknya” bukan sekadar slogan, tetapi sebuah keniscayaan dalam negara yang ingin maju dan berkeadaban. Jika hukum terus-menerus dikendalikan oleh politik, maka keadilan akan menjadi ilusi. Sebaliknya, jika hukum berdiri tegak tanpa tunduk pada kepentingan politik, maka kepercayaan publik terhadap sistem hukum akan meningkat, dan demokrasi akan berkembang dengan sehat. Semoga.
Referensi:1. Montesquieu, (The) Spirit Of Laws: Dasar-Dasar Ilmu Hukum dSan Ilmu Politik, Jakarta: Nusa Media 20102. Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Cet. 10, Depok : Rajawali Pers, 20203. Beberapa Bacaan LainnyaEditor: Rangga Agnibaya
Tags
Terma