Strawberry Yang Berdarah: Rapuhnya Generasi Yang Kita Bangun Sendiri



Oleh: Isnatin Ulfa
Dosen Fakultas Syariah
UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo

Modernitas yang dikejar tanpa kendali melahirkan hampa spiritual yang luas. Kita sibuk mengejar rasionalitas, kesenangan, dan pencitraan; sementara dimensi suprarasional, seperti nilai-nilai adab, moralitas, takzim pada orang tua, dan kesadaran bahwa hidup adalah amanah yang kelak dipertanggungjawabkan—perlahan makin memudar.

Kasus pembunuhan seorang ibu oleh anaknya di Medan baru-baru ini mengguncang nurani banyak orang. Kita tersentak, bertanya-tanya bagaimana mungkin seorang anak, yang dulu digendong, didoakan, dan dibesarkan dengan penuh harap, pada akhirnya menjadi sosok yang justru merenggut nyawa orang yang paling mencintainya. Namun tragedi ini bukan muncul dari ruang kosong; ia lahir dari rangkaian panjang patahan sosial, budaya, dan spiritual yang pelan-pelan menggerogoti fondasi generasi kita.

Pertama, kita hidup di zaman ketika mencari ilmu tidak lagi dipandang sebagai ibadah, melainkan sekadar perlombaan nilai, ranking, dan pencapaian akademik. Banyak anak tumbuh dengan keyakinan bahwa sekolah hanyalah gerbang ke prestise, bukan perjalanan untuk mendapatkan kebijaksanaan. Mereka haus angka, bukan makna. Dalam kepala mereka, keberhasilan tidak lagi diukur dari keluhuran akhlak, tetapi dari seberapa cepat mereka memuaskan ekspektasi dunia. Akibatnya, saat tekanan datang, mereka kehilangan kompas batin yang seharusnya menuntun.

Lalu lahirlah yang sering kita sebut sebagai generasi strawberry: indah dilihat, rapi, penuh gaya, tetapi mudah hancur ketika tersentuh sedikit ujian. Mereka tumbuh dalam fasilitas yang serba mudah, serba cepat, serba instan. Tidak terbiasa gagal dan tidak pernah benar-benar ditempa. Maka ketika realitas menghantam, tekanan sekolah, tuntutan ekonomi, konflik keluarga, atau bahkan sekadar teguran orang tua, jiwa mereka retak. Ada yang jatuh dalam depresi, ada yang menutup diri, ada pula yang meledak menjadi agresi. Dan pada titik ekstrem, seperti dalam kasus Medan itu, kemarahan yang tak terkendali berubah menjadi kekerasan mengerikan terhadap orang yang seharusnya mereka hormati.

Di sisi lain, generasi ini juga tumbuh semakin jauh dari akar budaya dan agama. Modernitas yang dikejar tanpa kendali melahirkan hampa spiritual yang luas. Kita sibuk mengejar rasionalitas, kesenangan, dan pencitraan; sementara dimensi suprarasional, seperti nilai-nilai adab, moralitas, takzim pada orang tua, dan kesadaran bahwa hidup adalah amanah yang kelak dipertanggungjawabkan—perlahan makin memudar. Dalam kekosongan itu, anak-anak kehilangan pegangan tentang apa yang benar, apa yang mulia, dan apa yang suci.

Semua ini diperparah oleh kenyataan pahit bahwa banyak anak lahir dari orang tua yang semakin sibuk: sibuk bekerja, sibuk mengejar tuntutan hidup, bahkan sibuk tenggelam dalam media sosial. Waktu makan malam bersama tergantikan oleh notifikasi. Tatapan mata digantikan layar. Percakapan hangat digantikan keheningan yang asing. Anak tumbuh tanpa jangkar emosi, tanpa ruang curhat, tanpa pelukan yang menenangkan. Beberapa menjadi rapuh, mudah runtuh. Sebagian lagi tumbuh sebaliknya—superagresif, mudah menyerang, membully, melukai, bahkan sampai pada titik paling gelap: melukai orang tuanya sendiri.

Fenomena kekerasan oleh anak terhadap orang tua, seperti yang terjadi di Medan, adalah alarm keras bagi kita semua. Ia memberi tahu bahwa keretakan bukan hanya terjadi di satu rumah, tetapi di seluruh struktur sosial kita. Itu tanda bahwa ada yang salah dalam cara kita mendidik, mencintai, mendampingi, dan memaknai peran keluarga pada era modern.

Tragedi ini seharusnya tidak hanya membuat kita menangis, tetapi juga mengajak kita menata ulang. Menata ulang cara kita mendidik anak. Cara kita menghadirkan diri sebagai orang tua. Cara sekolah menanamkan nilai. Cara masyarakat membangun ruang aman. Cara bangsa ini menjaga akar moral dan spiritualnya.

Karena pada akhirnya, tidak ada modernitas yang bisa menebus hilangnya empati. Tidak ada teknologi yang bisa menggantikan sentuhan kasih keluarga. Dan tidak ada kesuksesan akademik yang lebih penting dibanding membangun manusia yang utuh. Manusia yang kuat jiwanya, lembut hatinya, dan tahu bagaimana mencintai serta menghormati.

Editor: R. Agnibayaa

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال