Oleh: Putri Ardina Setia Sari
Mahasiswa Tadris Bahasa Indonesia
UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo
Wacana dan persepsi tentang kecantikan bukan sesuatu yang lahir secara alami, melainkan hasil konstruksi sejarah, budaya, dan sistem kekuasaan.
Sejak masa lampau, warna kulit terang telah menjadi simbol kecantikan di Indonesia. Dalam kisah seperti Ramayana, perempuan cantik digambarkan berkulit seputih bulan. Pengaruh Belanda memperkuat citra ini dengan menghadirkan perempuan Kaukasia sebagai standar ideal. Saat Jepang mengambil alih kekuasaan, muncul citra perempuan Asia, tetapi tetap saja kulit putih dianggap lebih menarik. Setelah kemerdekaan, budaya pop Amerika ikut membentuk kembali bayangan kecantikan melalui film, musik, dan iklan. Kini, produk pemutih kulit mendominasi pasar kosmetik Indonesia.
L. Ayu Saraswati dalam bukunya yang berjudul Putih: Warna Kulit, Ras, dan, Kecantikan di Indonesia Transnasional mengurai sejarah panjang tentang wacana kecantikan dan warna kulit. Saraswati memandang bahwa kecantikan bukan sesuatu yang netral. Ia dapat terbentuk dari sejarah kolonial, pengaruh transnasional, dan sistem sosial yang terus berlangsung. Tubuh perempuan menjadi objek utama dari penilaian ini. Perasaan kagum, malu, atau tidak percaya diri terhadap tubuh sendiri adalah bagian dari efek budaya yang membentuk persepsi kita terhadap kecantikan dan tubuh. Tulisan ini merupakan review pendek bab "Putih Kosmopolitan: Efek dan Afek Iklan Pemutih Kulit dalam Majalah Perempuan Transnasiona" ldari buku setebal 250 halaman tersebut.
Kecantikan sebagai Modal dan Produk Global
Kecantikan tidak hanya menjadi simbol, tetapi juga menjadi bentuk modal atau aset yang dapat ditukar dengan status sosial, pekerjaan, atau pasangan hidup. Perempuan banyak menginvestasikan waktu dan uang untuk tampil cantik. Pemutih kulit menjadi salah satu alat utama yang digunakan untuk memenuhi standar ini. Sejarah mencatat penggunaan bahan pemutih kulit bahkan sejak zaman Yunani kuno hingga Cina, dan bahan-bahan berbahaya seperti timah dan merkuri pun dipakai demi mencapai kulit putih.
Pada konteks masa kini, praktik memutihkan kulit tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di banyak negara lain seperti Jepang, Korea, Nigeria, dan Filipina. Ini menunjukkan bahwa warna kulit terang telah menjadi standar kecantikan global. Di Indonesia, warna kulit terang lebih diharapkan untuk perempuan daripada laki-laki. Warna kulit dihubungkan dengan femininitas, sementara maskulinitas tidak selalu dikaitkan dengan warna kulit. Oleh sebab itu, Indonesia menjadi tempat menarik untuk melihat bagaimana warna kulit, gender, dan kekuasaan berinteraksi secara kompleks.
Putih Kosmopolitan dan Budaya Populer
Dalam majalah seperti Cosmopolitan Indonesia, muncul bentuk baru dari citra putih yang disebut putih kosmopolitan. Citra ini tidak terikat pada etnis tertentu, melainkan pada gaya hidup global yang modern dan berkelas. Model dalam iklan berasal dari berbagai negara dan tidak selalu disebutkan identitas rasnya. Kulit terang yang ditampilkan bukan semata-mata untuk menampilkan identitas ras Kaukasia, melainkan juga sebagai lambang mobilitas, kemewahan, dan keberhasilan.
Putih kosmopolitan menjadi gambaran ideal perempuan modern yang bisa menjelajah dunia, menikmati produk global, dan menjalani hidup yang bebas. Dalam iklan-iklan produk kecantikan, emosi positif seperti kagum dan iri diarahkan kepada sosok perempuan berkulit terang. Hal tersebut menjadikan warna kulit sebagai pusat daya tarik dan kekuasaan. Representasi ini tidak bisa dilepaskan dari struktur ekonomi dan budaya global, termasuk pengaruh kuat budaya Amerika di Indonesia.
Pada bagian lain analisisnya, Saraswati menegaskan bahwa majalah seperti Cosmopolitan menampilkan pemberdayaan perempuan, tetapi dalam banyak aspek tetap menyuarakan nilai-nilai patriarkal. Perempuan digambarkan sebagai individu yang merdeka tetapi tetap diukur berdasarkan selera laki-laki. Artikel-artikel di dalam majalah mendorong pembacanya, terutama perempuan, untuk memperbaiki penampilan demi mendapat perhatian pria. Bahkan, hubungan dengan laki-laki kulit putih digambarkan sebagai pencapaian tinggi. Dalam konteks ini, putih tidak hanya menjadi warna kulit tetapi juga simbol status sosial.
Standar kecantikan dalam majalah ini juga mendisiplinkan tubuh perempuan. Mulai dari anjuran pemakaian krim wajah, diet, hingga saran berpakaian, semua diarahkan untuk membentuk tubuh yang sesuai dengan harapan masyarakat. Meskipun dikemas dalam narasi kendali diri dan kesenangan pribadi, perempuan tetap diarahkan untuk mengikuti standar kecantikan yang ditentukan oleh budaya dominan: Patriarki.
Dengan demikian, wacana dan persepsi tentang kecantikan bukan sesuatu yang lahir secara alami, melainkan hasil konstruksi sejarah, budaya, dan sistem kekuasaan. Warna kulit terang menjadi simbol yang penuh makna: dari warisan kolonial hingga gaya hidup kosmopolitan. Di Indonesia, citra putih telah berkembang melampaui etnis dan menjadi lambang modernitas serta nilai sosial. Emosi dan perasaan masyarakat dibentuk melalui media, iklan, dan budaya pop sehingga membentuk persepsi kolektif tentang tubuh yang ideal.
Untuk memahami kecantikan secara utuh, maka penting untuk melihat bagaimana emosi, indra, dan budaya bekerja sama dalam membentuk cara kita menilai tubuh dan identitas orang lain. Dalam dunia yang terus terhubung secara global, wacana tentang kecantikan akan terus berubah, namun jejak kekuasaan dan sejarah tetap menjadi fondasinya.
Editor: R. Agnibayaa
Tags
Humaniora
