Gen Z di Dunia Kerja: Ternyata Jadi ASN Bukan Pilihan Pertama?


Oleh:
Ryan Basith Fasih Khan
Dosen Ekonomi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Dunia memang sudah berubah. Bagi Gen Z, loyalitas bukan lagi soal berapa lama bertahan di kantor, tapi apakah tempat kerja memberi ruang berkembang dan menghargai kehidupan personal mereka.

Ada keresahan yang belakangan membuat saya gelisah. Dari survei kecil-kecilan ke mahasiswa, ternyata banyak dari mereka sama sekali nggak tertarik dengan pekerjaan sebagai ASN, entah itu PNS atau PPPK. Padahal, bagi generasi sebelumnya, jadi pegawai negeri itu seperti tiket emas: hidup tenang, gaji tetap, tunjangan jelas, pensiun terjamin. Singkatnya, “kalau sudah jadi PNS, hidup aman.” Nah, Gen Z ternyata punya cara pandang lain.

Bagi mahasiswa saya, menjadi ASN terdengar membosankan. Mereka membayangkan kerjanya kaku, penuh birokrasi, dan minim ruang buat kreativitas. Apalagi, Gen Z ini generasi yang tumbuh di era internet cepat, TikTok, dan dunia kerja fleksibel. Mereka lebih tertarik ke pekerjaan yang sesuai minat, bisa berkembang, dan ada ruang untuk bereksperimen. Kalau ditawari gaji tetap tapi harus terjebak rutinitas monoton, banyak yang langsung bilang, “nggak deh, Pak.”

Hal ini menarik, karena menunjukkan terjadinya pergeseran nilai. Dulu, orang tua  kita bangga sekali kalau bisa jadi PNS. Bahkan, banyak keluarga menjadikan hal tersebut sebagai target utama: kuliah, lulus, dan daftar CPNS. Tapi sekarang, mahasiswa lebih suka kerja di perusahaan rintisan, jadi freelancer, atau malah membangun usaha sendiri. Mereka lebih memilih ketidakpastian, asal bisa mengejar passion, daripada kepastian yang ditebus dengan harga kebosanan.

Tentu saja, fenomena ini membuat dilema. Negara butuh ASN muda yang melek digital, enerjik, dan inovatif. Tapi di sisi lain, generasi yang diharapkan justru merasa profesi itu nggak seksi. Mereka lebih milih kerjaan yang fleksibel: bisa remote, bisa hybrid, atau yang penting output pekerjaan dihargai. Mereka ingin perusahaan atau institusi yang menghargai ide, bukan sekadar menghitung jam kerja.

Fenomena mahasiswa saya ini sejalan dengan karakter umum Gen Z. Mereka peduli dengan work-life balance, serta lebih suka lingkungan kerja yang transparan, dan menuntut perusahaan menghargai skill mereka. Mereka juga sadar betul bahwa digital skill yang mereka punya bisa dimonetisasi di banyak tempat. Jadi, kalau bisa mendapat uang dari ngonten, desain grafis, atau coding freelance, kenapa harus repot ikut seleksi CPNS yang panjang prosesnya mirip sinetron 300 episode?

Tapi, di sisi lain, saya tidak bisa menyalahkan generasi ini. Dunia memang sudah berubah. Bagi Gen Z, loyalitas bukan lagi soal berapa lama bertahan di kantor, tapi apakah tempat kerja memberi ruang berkembang dan menghargai kehidupan personal mereka. Kalau ASN belum bisa menampilkan wajah yang segar, misalnya dengan sistem kerja berbasis output, pemanfaatan teknologi, atau peluang inovasi, maka wajar saja kalau banyak mahasiswa menoleh ke arah lain.

Namun, ini juga bisa jadi wake up call bagi pemerintah dan birokrasi kita. Kalau ASN ingin tetap jadi profesi idaman, maka sistemnya harus lebih ramah Gen Z. Bukan berarti semua ASN boleh kerja dari Bali sambil ngopi di pantai.  Minimal ada ruang fleksibilitas, transparansi, dan peluang bagi mereka untuk berkembang. Kalau tidak, jangan salahkan kalau kursi ASN lebih banyak diminati generasi yang sudah mapan, sementara Gen Z kabur ke dunia startup, konten kreator, atau kerja-kerja freelance yang dianggap lebih “hidup”.

Keresahan saya sederhana: mahasiswa yang saya ajar ini sebenarnya punya potensi besar untuk jadi motor perubahan di sektor publik. Tapi kalau sistem ASN masih terjebak pola lama, jangan kaget kalau Gen Z lebih memilih jadi “pekerja nomaden digital” daripada masuk kantor pemerintah jam 7 pagi. Mereka bukan tidak cinta negeri, mereka hanya ingin bekerja dengan cara yang lebih sesuai dengan zaman.

Editor: R. Agnibayaa
Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال