Ryan Basith Fasih Khan
Dosen Fakultas Ekonomi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Tidak ada yang menolak kerja sama internasional. Tidak ada yang anti perdagangan bebas. Tapi kerja sama seharusnya dilakukan dengan prinsip kesetaraan, transparansi, dan keberpihakan terhadap rakyat. Apalagi rakyat yang paling rentan: buruh dan pekerja informal.
(Refleksi Kritis atas Kesepakatan Dagang RI-AS dan Implikasinya terhadap Buruh dan Kedaulatan Digital)
Belakangan ini, publik dihadapkan pada kabar bahwa Indonesia dan Amerika Serikat telah menandatangani kesepakatan kerja sama ekonomi yang mengatur tarif dagang dan pertukaran data digital. Sekilas, ini terdengar seperti bagian dari diplomasi ekonomi biasa. Namun, jika dicermati lebih dalam, muncul pertanyaan yang sangat mendasar: di mana letak keadilan bagi pekerja Indonesia ketika ekspor barang ke Amerika dikenai tarif 19%, sementara produk dari Amerika masuk ke Indonesia tanpa tarif sepeser pun?
Pertanyaan ini bukan retoris. Bagi banyak orang yang bekerja di sektor industri padat karya seperti tekstil, garmen, sepatu, hingga mebel dan industri rumah tangga selisih tarif seperti ini bukan hanya soal selisih angka di atas kertas. Ini menyangkut kelangsungan hidup. Ketika produk Indonesia menjadi lebih mahal di pasar luar, maka produsen Indonesia akan kehilangan daya saing. Barang-barang dari negara lain menjadi lebih menarik secara harga dan lebih cepat dibeli oleh pembeli besar di Amerika. Imbasnya? Pabrik di Indonesia bisa mengurangi produksi, melakukan efisiensi tenaga kerja, bahkan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Seperti yang sudah terjadi di banyak tempat: yang paling terdampak adalah buruh.
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyebut bahwa sekitar 40.000 buruh bisa kehilangan pekerjaan dalam beberapa bulan ke depan. Mereka tidak sedang melebih-lebihkan. Ketika beban ekspor semakin berat, dan pasar ekspor besar seperti Amerika semakin tertutup dengan kebijakan tarif tinggi, maka pelaku industri hanya punya dua pilihan: bertahan dengan merumahkan pekerja, atau mati pelan-pelan.
Tentu saja, dunia usaha bisa saja mencoba memindahkan pasar. Tapi prosesnya tidak sederhana. Negara tujuan baru belum tentu memiliki daya beli yang sama. Lagipula, kesepakatan seperti ini seharusnya memperkuat posisi Indonesia dalam rantai nilai global, bukan justru menjatuhkan daya saing produk kita sendiri.
Lebih jauh, kesepakatan ini juga mencakup satu hal lain yang tidak kalah krusial: pemindahan data pribadi warga negara Indonesia ke yurisdiksi Amerika Serikat. Ini jelas bukan isu kecil. Dalam dunia digital, data adalah identitas. Dan ketika data pribadi mulai dari lokasi, preferensi, perilaku, hingga biometrik dipindahkan ke luar negeri tanpa kejelasan kontrol dan regulasi yang kuat, maka yang dikorbankan bukan hanya privasi, tapi juga kedaulatan.
Isu ini menjadi lebih mengkhawatirkan karena publik sama sekali tidak dilibatkan dalam proses ini. Tak ada diskusi terbuka, tak ada konsultasi publik, bahkan penjelasan dari otoritas terkait pun baru muncul setelah tekanan media dan organisasi masyarakat sipil semakin keras. Ini yang disebut dengan kebijakan "di atas kepala rakyat". Padahal, urusan data adalah urusan masa depan. Negara yang tidak punya kendali atas datanya pada dasarnya sedang menyerahkan kendali atas rakyatnya ke pihak lain.
Di sinilah letak masalahnya: kesepakatan seperti ini terasa begitu tergesa. Seolah-olah ingin menunjukkan bahwa Indonesia aktif dalam perdagangan global dan siap menjadi mitra dagang strategis bagi negara besar. Tapi apa artinya strategi global jika yang dikorbankan adalah pekerja lokal dan data rakyat?
Jika pembangunan yang ingin didorong hanya dilihat dari angka neraca dagang atau komitmen pembelian pesawat Boeing dari Amerika, maka pembangunan itu kehilangan makna sosialnya. Angka boleh tumbuh, tetapi apa gunanya pertumbuhan kalau lapangan kerja tergerus dan kedaulatan digital dilepas begitu saja?
Alih-alih membuka ruang diskusi dan menjelaskan argumen yang kuat soal manfaat kesepakatan ini, narasi yang muncul justru cenderung meremehkan kekhawatiran publik. Buruh yang bersiap melakukan aksi unjuk rasa dituduh "salah paham", padahal suara mereka justru merupakan cerminan keresahan riil di lapangan.
Tidak ada yang menolak kerja sama internasional. Tidak ada yang anti perdagangan bebas. Tapi kerja sama seharusnya dilakukan dengan prinsip kesetaraan, transparansi, dan keberpihakan terhadap rakyat. Apalagi rakyat yang paling rentan: buruh dan pekerja informal. Kalau mereka terus dikesampingkan dalam setiap proses negosiasi, maka cepat atau lambat, yang hilang bukan hanya kepercayaan, tapi juga stabilitas sosial.
Kebijakan perdagangan perlu didesain dengan perspektif yang lebih manusiawi. Bukan sekadar hitungan angka dan diplomasi antar elit, tapi juga perhitungan terhadap dampak sosial, etika data, dan masa depan tenaga kerja lokal.
Perdagangan bukan tujuan akhir. Ia hanyalah sarana. Dan jika sarana itu mulai mengorbankan prinsip-prinsip dasar keadilan sosial dan hak asasi, maka sudah saatnya kita bertanya: apakah arah pembangunan kita masih waras?
Editor: R. Agnibayaa
Tags
Humaniora