Oleh: Anis Rahmadhani
Mahasiswa UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo
Penulis Muda komunitaspintu.id
Juara II Lomba menulis Esai Mahasiswa Tingkat Nasional 2024
Ketika kita menyebut kata “Majapahit”, bayangan umum yang muncul adalah sebuah kerajaan besar yang menguasai Nusantara, tokoh-tokoh heroik seperti Gajah Mada yang menggema sebagai simbol nasionalisme kuno. Namun, di balik narasi besar itu, sangat sedikit yang benar-benar memahami bagaimana Majapahit mengelola kekuasaannya, membentuk ruang hidup masyarakatnya, dan menjalin hubungan antara spiritualitas, politik, dan kebudayaan dalam satu sistem terpadu. Agus Aris Munandar dalam buku Ibukota Majapahit: Masa Jaya dan Pencapaian melakukan interpretasi yang tajam dan mendalam terhadap bagaimana Majapahit, khususnya ibukotanya dibangun, dijalankan, dan dimaknai dalam konteks peradaban Jawa Kuno.
Majapahit dan Kejayaan
Masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1350–1389 M) merupakan puncak kejayaan Majapahit. Dalam bukunya, Munandar menulis bahwa “tidak ada konflik internal atau pun eksternal dengan daerah-daerah lainnya, kecuali peristiwa Pasundan-Bubat di tahun 1357 M.” (hlm 2). Dalam sejarah tercatat bahwa peristiwa Pasundan-Bubat merupakan tragedi kelam yang terjadi di lapangan Bubat Majapahit. Pada peristiwa tersebut Raja Pasundan mati ketika hendak berkunjung ke Majapahit.
Selain tidak adanya konflik internal saat masa Raja Hayam Wuruk, kejayaan Majapahit bukan karena penaklukan semata, tetapi karena strategi diplomasi dan perdagangan maritim. Munandar menegaskan bahwa para utusan dari luar Jawa datang bukan akibat penaklukan, melainkan karena “perjalanan muhibah armada dagang Majapahit yang megah ke daerah-daerah. Mereka lalu mengagumi kebesaran Majapahit” (Hlm 2).
Dapat ditambahkan lagi, kejayaan dan kebesaran Majapahit juga karena sistem hukumnya yang kuat. Prasasti-prasasti seperti Bendasari dan Trowulan menyebut keberadaan kitab Kutaramanawadharmasastra, yaitu sebuah kodifikasi hukum pidana dan perdata yang mencakup masalah warisan, pencurian, asusila, hingga fitnah. Salah satu yang mengesankan adalah adanya perlindungan terhadap perempuan secara eksplisit, seperti pada Pasal 207: “Barangsiapa memegang seorang gadis... orang yang memegang itu dikenakan pidana mati oleh raja yang berkuasa”. (hlm 21). Ini menunjukkan bahwa Majapahit memiliki keberanian hukum yang luar biasa maju untuk zamannya.
Tafsir Baru Teks Nagarakrtagama
Pada Bab "Mengubah Paradigma Lama", Munandar melakukan dekonstruksi terhadap tafsir lama atas sumber-sumber klasik. Dalam subbab “Arah Mata Angin Mpu Prapanca” (hlm 69), ia menyoroti kesalahan besar para arkeolog terdahulu dalam menafsirkan arah mata angin versi Nagarakrtagama. Ia menulis bahwa “para peneliti situs Majapahit di Trowulan selama ini telah menafsirkan secara keliru tentang arah mata angin yang dimaksudkan oleh Mpu Prapanca” (hlm viii).
Munandar mengusulkan pandangan bahwa Mpu Prapanca dalam Nagarakrtagama menggunakan arah mata angin secara simbolik. Dalam kosmologi Jawa Kuno, arah tidak hanya merujuk ke timur-barat-utara-selatan secara fisik, tetapi mewakili struktur spiritual dan hirarkis: timur berarti awal, barat berarti akhir, utara melambangkan kekuasaan, dan selatan sebagai tempat leluhur. Dengan pendekatan hermeneutik dan arkeologis, ia menunjukkan letak sesungguhnya dari keraton dan tata kota Majapahit sebagai pusat kuasa yang terstruktur secara kosmologis dan administratif.
Karya Sastra Majapahit
Aspek budaya dan sastra juga menjadi kajian Munandar dalam bukunya. Pada bab "Karya Sastera dan Tafsirnya", Munandar mengungkapkan jika karya sastra merupakan cermin dari nilai-nilai kebudayaan masa itu. Karya seperti Nagarakrtagama, Sutasoma, dan Pararaton bukan hanya narasi sejarah, melainkan juga refleksi atas tata nilai dan visi masyarakatnya. Munandar mengungkap bahwa “sebagian besar para penggubah karya sastera Jawa kuno berasal dari lingkungan kaum agamawan” (hlm 129), karena hanya mereka yang memiliki kemahiran dalam menulis dan memahami ajaran keagamaan.
Kutipan menarik dalam buku ini terdapat dalam pupuh (69 1-3) Nagarakrtagama, yang menjelaskan bangunan suci Prajñaparamitapuri untuk Rajapatni (nenek Hayam Wuruk) sebagai berikut:
“Bangunan suci Prajñaparamita merupakan permata dunia... pendeta agung Jñanawidya, merupakan pendeta sepuh Tantragata yang telah menerima ilham dan memahami berbagai ilmu agama, sungguh bagaikan Mpu Bharada yang menjelma pada dirinya...” (hlm 16).
Teks ini menunjukkan bahwa dalam budaya Majapahit, perempuan seperti Rajapatni tidak sekadar disanjung sebagai keluarga raja, tetapi dijadikan dewi perwujudan dalam sistem religius dan kosmologis kerajaan. Ini juga menegaskan simbiosis antara kekuasaan politik dan struktur spiritual.
Lebih jauh lagi, Munandar menunjukkan bahwa teks-teks ini tidak hanya hidup dalam tulisan, tetapi juga diterjemahkan ke dalam relief-relief di candi-candi. Kisah Bhubuksah-Gagangaking, Parthayajna, Panji, hingga Sudhamala diabadikan dalam batu di Candi Jago, Panataran, Surawana, dan Tegowangi. Relief itu tidak hanya berfungsi sebagai penghias, tetapi juga sebagai alat edukasi dan penyebaran nilai spiritual. Ini mencerminkan tingkat literasi visual yang tinggi dalam masyarakat Majapahit, sekaligus menjadikan candi sebagai pusat pengetahuan dan kebudayaan.
Pesan Majapahit Untuk Masa Depan
Munandar menyodorkan bagan segi delapan yang menggambarkan delapan pilar kejayaan Majapahit: pemerintahan yang efektif, hukum yang maju, seni, spiritualitas, perdagangan Nusantara, relasi internasional, kestabilan politik, dan upacara istana yang teratur. Di tengah-tengah segi delapan itu, ia menempatkan figur sentral: Hayam Wuruk. Namun ia tak lupa menegaskan bahwa kejayaan itu tidak akan tercapai tanpa kehadiran Gajah Mada, sang Mahapatih visioner yang “berhasil menjelmakan sumpah Palapa ke dalam kenyataan sejarah.” (hlm 32).
Melalui buku Ibukota Majapahit: Masa Jaya dan Pencapaian kita memahami bahwa Majapahit bukan utopia yang penuh glorifikasi kosong, melainkan sebuah model historis dari peradaban Nusantara yang bisa kita gali untuk membangun masa depan. Dan dari sanalah kita bisa belajar, bahwa kejayaan sejati tidak dibangun dari perang, tidak dibangun dari retorika semata, melainkan dari tatanan nilai yang hidup dalam ruang, kata, dan keyakinan masyarakatnya.
Referensi:Agus Aris Munandar, Ibukota Majapahit, Masa Kejayaan dan Pencapaian, Jakarta: Komunitas Bambu, 2008.Editor: R. Agnibayaa
Tags
Humaniora