Perempuan Pasar: Peran Ganda dan Stigma



Oleh: Lutfiana D. Mayasari
Dosen FTIK UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo
Penulis Esai-esai Perempuan dan Gender

Terjadi ketidakadilan gender bagi pedagang perempuan di pasar. Selain menghabiskan waktu sebagai pedagang dengan rentang waktu yang padat, dari pagi hingga sore hari, mereka juga harus menyelesaikan pekerjaan domestik, sebelum dan sepulang bekerja di pasar.

Pedagang perempuan di pasar harus melakukan peran ganda. Di pagi hari, ia harus sudah menyiapkan sarapan keluarga dan kebutuhan domestik di pagi hari, lalu menyelesaikan pekerjaan domestik lainnya lagi sepulang dari pasar. Pola pikir bahwa urusan domestik adalah tangungjawab perempuan tidak berkurang meskipun di waktu yang sama ia juga harus ikut menjadi tulang punggung keluarga.

Tak hanya tentang beban ganda yang harus dirasakan oleh pedagang perempuan di pasar, selain itu mereka juga mendapat stigma terkait tempat sumber penghasilan yang dihasilkan: Pasar. Hal ini lantaran terdapat beberapa hadits misoginis yang menempatkan pasar sebagai tempat yang lekat dengan maksiat karena adanya banyak perempuan di dalamnya.

Menjadi Tempat Maksiat Hanya Karena Banyak Perempuan


Salah satu hadits misoginis yang sering dijadikan hujjah tentang betapa buruknya pasar adalah sebagaimana berikut ini:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

"Tempat yang paling dicintai Allah adalah masjid-masjid dan tempat yang paling dibenci Allah adalah pasar-pasar."

Hadits lainnya diriwayatkan oleh Imam Nawawi, tentang sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “ Tempat yang paling dibenci Allah adalah pasar-pasar”

Pasar dimaknai sebagai tempat yang melalaikan, tempat tabarruj, tempat mengumbar aurat, ikhtilat atau bercampurnya laki-laki dan perempuan. Selain itu, pasar juga dipandang sebagai tempat di mana akan terjadi banyak obrolan yang tidak bermanfaat. Alasan lainnya, pasar juga dipandang sebagai tempat penipuan, kebohongan, riba, sumpah palsu, dan ingkar janji. Pemahaman ini selalu beriringan dengan keberadaan perempuan di pasar.

Teks-teks hadits misoginis sebagaimana tersebut di atas dimaknai secara tekstual, sehingga pedagang perempuan di pasar pun tak luput dari stigmatisasi tersebut. Jika benar demikian, lantas bagaimana dengan Sayyidah Khadijah yang menjalani profesi sebagai pedagang sepanjang hidupnya. Faktanya, beliau menggunakan hasil perdagangannya tersebut untuk membiayai dakwah Nabi Muhammad SAW. Jika memang pasar dimaknai sebagai sebuah lokasi yang lekat dengan hal-hal negatif, lantas mengapa Nabi justru mendirikan pasar Suqul Anshar, tepat setelah membangun masjid Nabawi di Madinah. Begitu pula khulafaur rasyidin yang selalu melakukan pembangunan pasar setelah membangun masjid.

Pasar Sebagai Sumber Ekonomi

Fakta bahwa pasar menjadi prioritas pembangunan nabi Muhammad dan khulafaur Rasyidin setelah masjid menunjukkan bahwa sumber perekonomian harus dihidupkan bersamaan dengan didirikannya rumah ibadah. Hal ini juga membuktikan bahwa pasar memiliki arti penting sepanjang sejarah peradaban Islam. Tujuan ekonomi atau pun pasar dalam Islam sebenarnya dapat dilihat dari sudut pandang lain yaitu tauhid. Dalam al-Quran surat adz-Dzariyaat ayat 56 disebutkan, yang artinya:

“Dan (ingatlah) Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk mereka menyembah dan beribadah ke-pada-Ku”.

Menurut Imam Syafi’i (150H – 240H) makna ayat tersebut ialah bahwa manusia diperintahkan untuk mentaati perintah dan menjauhi larangan Allah SWT, serta hendak-lah manusia melakukan segala aktivitas yang baik dengan niat untuk beribadah kepada Allah SWT. (Ahmad Mustofa, 2006). Ayat ini sangat jelas menegaskan bahwa tujuan utama penciptaan manusia adalah tauhid. Artinya, segala aktivitas manusia wajib bertujuan untuk beribadah kepada Allah SWT. Demikian juga dengan aktivitas ekonomi dan pasar, maka segala praktik yang ada di dalam pasar juga harus dalam rangka menegakkan tauhid kepada Allah SWT.

Pasar dan Perempuan dalam Perspektif Mubadalah

Dalam perspektif mubadalah, hadits-hadits misoginis tentang pasar seharusnya dimaknai sebagai penolakan terhadap sifat-sifat yang harus dihindari, dan bukan penolakan kepada tempatnya. Di mana pun dan kapan pun perbuatan culas, menggunjing, mengumbar aurat, dan akhlah madzmumah lainnya harus dihindari. Bahkan di tempat yang diyakin sebagai tempat suci sekalipun, akan hilang makna kesuciannya jika dipenuhi dengan sifat-sifat culas, angkuh, penipun, dan kesombongan manusia.

Sifat culas, angkuh, pembohong, dan sombong harus dijauhi oleh seluruh manusia, apa pun gendernya. Memaknai pasar sebagai tempat kotor hanya karena banyaknya perempuan yang beraktifitas di dalamnya jelas bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan tauhid dalam Islam. Pada dasarnya seluruh manusia di dunia diwajibkan untuk memperbanyak akhlak mahmudah dan menjauhi akhlak madzmumah tanpa melihat jenis kelaminnya.

Yang harus menjadi perhatian bersama saat ini adalah bagaimana meringankan double murden yang dialami oleh pedagang perempuan di pasar. Di waktu yang bersamaan ia dituntut untuk memenuhi perekonomian keluarga, mengerjakan urusan domestik, dan menelan stigma buruk berdasakan narasi ekstrem dan hadits misogoginis tentang pasar: tempat yang mereka jadikan sumber perekonomian keluarga.

Editor: R. Agnibayaa
*Tulisan ini sebelumnya pernah tayang di mubadalah.id dengan judul yang berbeda
Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال