Oleh: Khaidarulloh
Dosen Filsafat Hukum Islam, Fakultas Syariah, UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo
Co-Editor komunitaspintu.id
"Ketika nalar dimatikan dan pertanyaan dianggap durhaka, di sanalah peradaban mulai mundur diam-diam. Kampus bukan sekadar pabrik ijazah. Ia seharusnya menjadi tempat lahirnya kegelisahan; lumbung gagasan"
Baru-baru ini, jagat media sosial kembali ramai karena pernyataan seorang influencer yang menyarankan agar jurusan filsafat dihapus saja dari dunia kampus. Alasannya? Tidak relevan. Tidak menjawab kebutuhan zaman. Katanya, “Ngapain kuliah filsafat? Lulusan filsafat mau kerja di mana?.” Komentar semacam ini bukan baru, tapi selalu berhasil memantik perdebatan. Dan jujur saja, komentar itu bukan sekadar nyinyir—ia cerminan mentalitas zaman ini: zaman yang hanya menghargai yang instan, yang praktis, yang bisa langsung dikonversi jadi uang. Padahal, filsafat tidak pernah mati. Ia hanya berubah wujud—berjalan di samping kita, dalam bentuk pertanyaan yang terus menggema: Kenapa aku harus kuliah? Untuk siapa aku belajar mati-matian ini? Kenapa sistem pendidikan rasanya kaku dan membosankan? Yang mati bukan filsafat. Yang mati adalah keberanian kita untuk bertanya.
Filsafat: Tidak Praktis, Tapi Penting
Tentu, filsafat tidak mengajarkan cara membuat Excel atau strategi marketing viral. Tapi filsafat memberi kita sesuatu yang lebih mendasar: kemampuan berpikir jernih di tengah banjir kebisingan. Ketika algoritma media sosial membentuk opini publik, ketika narasi dikuasai elite politik, filsafat hadir sebagai benteng terakhir kesadaran: Apakah semua yang viral itu benar? Apakah semua yang legal itu adil? Tanpa filsafat, kita hanya jadi konsumen informasi. Tidak kritis. Tidak peduli. Hidup dalam autopilot. Maka tak heran, mereka yang tidak pernah bersentuhan dengan filsafat justru yang paling lantang menyuruh agar filsafat dibungkam.
Kita hidup di era ketika kecepatan dianggap lebih penting daripada kedalaman, dan konten lebih penting daripada konteks. Filsafat tidak menjanjikan hasil instan, tapi ia mengajarkan keberanian untuk ragu, sebelum percaya. Inilah fondasi berpikir merdeka. Di tengah dunia yang menyederhanakan segalanya jadi "like atau dislike", filsafat datang menawarkan pertanyaan: Mengapa kamu menyukai itu? Untuk siapa kamu membenci itu? Inilah yang membuat filsafat tidak praktis—karena ia tidak menjual solusi cepat, tapi melatih kita untuk tidak tertipu oleh solusi yang tampak mudah.
Menghapus Filsafat adalah Menghapus Kemampuan Berpikir
Mereka yang ingin menghapus jurusan filsafat sebetulnya sedang mendorong kita menjadi bangsa pekerja yang patuh, bukan pemikir yang merdeka. Mahasiswa dilatih bukan untuk menciptakan makna, tapi untuk memenuhi target. Maka, jangan kaget kalau kampus hanya jadi tempat produksi sarjana, bukan tempat pertempuran gagasan. Ingat: bangsa yang tidak menghargai filsafat, adalah bangsa yang mudah dijajah ulang—bukan oleh senjata, tapi oleh ide-ide kosong yang dibungkus rapi.
Apa jadinya bangsa tanpa kemampuan berpikir reflektif? Ia bisa maju secara teknologi, tapi mundur secara moral. Ia bisa membangun gedung pencakar langit, tapi kehilangan integritas di ruang sidang. Menghapus filsafat adalah proyek diam-diam untuk menyingkirkan kritik. Karena filsafat itu tidak nyaman. Ia mengusik. Ia menggugat. Dan itulah yang membuat kekuasaan tidak suka padanya. Jadi, saat seseorang berkata filsafat harus dihapus, pertanyaannya bukan "apa gunanya filsafat?", tapi: "siapa yang diuntungkan jika kita berhenti berpikir?"
Islam dan Filsafat: Aliansi yang Terlupakan
Sebagian dari kita bahkan tergoda berpikir bahwa filsafat bertentangan dengan agama. Bahwa berpikir kritis berarti meragukan iman. Tapi sejarah Islam justru membantah itu. Para ulama besar—Al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rushd—adalah filsuf. Mereka tidak menjauhi agama karena filsafat. Mereka mendekat pada Tuhan dengan jalan berpikir. Dalam Al-Qur’an, Tuhan tidak pernah menyuruh manusia untuk diam. Tapi berkali-kali mengajak berpikir: afala ta'qilun, afala tatafakkarun. Apakah kamu tidak berpikir? Filsafat dalam Islam bukan musuh iman, melainkan sahabatnya. Ia tidak menggantikan wahyu, tapi membantu manusia memahami wahyu dengan akal sehat dan nurani yang tajam. “The spirit of Islam is the spirit of inquiry. The birth of Islam is the birth of inductive intellect.” kata Muhammad Iqbal (1877–1938) dalam The Reconstruction of Religious Thought in Islam. Iqbal adalah seorang filsuf, penyair, dan pemikir Muslim terkemuka dari India yang mengingatkan kembali bahwa sejak awal Islam adalah agama yang lahir dari semangat bertanya dan berpikir progresif.
Islam datang bukan untuk membungkam akal, melainkan menghidupkannya. Dalam sejarahnya, peradaban Islam justru tumbuh ketika ulama dan filsuf duduk bersama. Masalah kita hari ini bukan karena filsafat terlalu jauh dari Islam, tapi karena kita terlalu jauh dari sejarah kita sendiri. Kita lupa bahwa kekuatan Islam dulu lahir bukan hanya dari semangat, tapi juga dari intelektualitas. Jika kita mau membangkitkan kembali peradaban Islam, maka jembatan pertama yang harus kita bangun adalah dialog antara wahyu dan akal, iman dan refleksi. Dan itulah hakikat filsafat dalam Islam.
Mahasiswa: Jangan Jadi Operator Sistem
Hari ini, mahasiswa terlalu sibuk mengejar nilai, lomba, atau konten personal branding, tapi jarang bertanya: Untuk siapa semua ini? Filsafat mungkin tidak menjanjikan pekerjaan instan, tapi ia memberi kompas agar kita tidak tersesat. Saat dunia makin kacau, pemikiranlah yang akan menyelamatkan kita. Filsafat bukan soal kutipan rumit, tapi keberanian untuk menggugat yang mapan. Ia hidup di ruang kelas, warung kopi, atau bahkan di dalam kegelisahan tengah malam. Syaratnya satu: berani bertanya. Maka jika hari ini masih ada mahasiswa yang berpikir filsafat harus dihapus, maka kampus tidak gagal mengajarkan filsafat—kampus telah gagal mengajarkan berpikir.
Kampus bukan sekadar pabrik ijazah. Ia seharusnya menjadi tempat lahirnya kegelisahan; lumbung gagasan, bukan hanya kebanggaan. Tapi sayangnya, sistem pendidikan hari ini lebih sibuk menilai presensi ketimbang menumbuhkan kehadiran intelektual. Mahasiswa dijejali silabus, tapi jarang diajak berdialog. Maka yang tercipta bukan pemikir, tapi pengikut. Filsafat melatih kita untuk tidak sekadar menjalankan sistem, tapi juga mempertanyakan apakah sistem itu adil, relevan, dan manusiawi. Inilah mengapa filsafat bukan tambahan, tapi kebutuhan—agar mahasiswa tidak hanya tahu apa yang harus dikerjakan, tapi juga mengapa ia harus peduli.
Inspirasi:
Sir. Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, London: Oxford University Press, 1934.
Tags
Filsafat