Jeriken, Naraka, dan Svarga




Oleh: Dhika Puspitasari
Dosen Linguistik Universitas PGRI Madiun


Bahasa Indonesia yang kita pakai hari ini merupakan bahasa yang telah bercampur dengan berbagai bahasa. Percampuran tersebut akibat interaksi yang terjadi antara masyarakat pribumi dengan orang-orang luar nusantara. Interaksi itu terjadi dalam konteks perdagangan, penyebaran agama, politik, budaya, dan yang paling berbekas adalah kolonialisme Belanda.

Dalam pembelajaran Bahasa Indonesia, baik sekolah menengah maupun pendidikan tinggi, dijelaskan bahwa akar bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu. Saat wilayah Indonesia masih bernama Nusantara (wilayahnya mencakup Indonesia, Malaysia, Thailand, dan negara-negara Asean lainnya), bahasa Melayu menjadi Lingua Franca yang digunakan sebagai bahasa penghubung dalam konteks perdagangan dan misi-misi diplomatik.

Seiring perkembangannya, termasuk karena pengaruh jejak kolonialisme di Indonesia, bahasa Indonesia yang diresmikan menjadi bahasa nasional bukan lagi murni bahasa Melayu yang dulu menjadi Lingua Franca. Bahasa Indonesia yang kita pakai hari ini merupakan bahasa yang telah bercampur dengan berbagai bahasa. Percampuran tersebut akibat interaksi yang terjadi antara masyarakat pribumi dengan orang-orang luar nusantara. Interaksi itu terjadi dalam konteks perdagangan, penyebaran agama, politik, budaya, dan yang paling berbekas adalah kolonialisme Belanda. Maka, tidak mengherankan jika khazanah bahasa kita dipenuhi dengan kosa kata serapan dari bahasa asing.

Sebagai contoh, terdapat kata konveksi dan konfeksi dalam bahasa Indonesia. Satu kata menggunakan huruf “v”, yang satu lagi pakai “f”. Konveksi berasal dari bahasa Inggris (convection), yang memiliki arti “perpindahan benda cair atau gas karena perbedaan suhu dan tekanan.” Adapun konfeksi berasal dari bahasa Belanda (confectie), yang berarti pakaian jadi yang dibuat secara massal.

Satu contoh lagi, jika berkunjung ke rumah saudara atau kerabat saat hari raya, kita akan menjumpai berbagai makanan ringan di dalam wadah-wadah dari kaca. Kita menyebut wadah itu toples. Namun, penulisan dan penyebutan yang benar adalah stoples. Stoples diserap dari bahasa Belanda: stopfles. Jadi yang benar bukan toples, apa lagi topless. Kain yang menutup meja tempat toples-toples itu berada agar tampak lebih elok dilihat, biasa kita sebut taplak. Kata ini pun juga berasal dari bahasa Belanda: tafellaken.

Ada lagi contoh lain. Ketika seseorang membeli bensin secara eceran dalam volume yang banyak, maka ia membutuhkan sebuah tempat atau wadah yang berukuran besar. Wadah tersebut juga biasa digunakan sebagai tempat penyimpanan air bersih dalam masyarakat kita. Kita sering menyebutnya sebagai jerigen. Padahal, penulisan dan pengucapan yang benar adalah jeriken. Jeriken diserap dari bahasa Belanda dan Inggris: jerrycan

Dalam wilayah akademis dan ilmiah kita sering menjumpai istilah teoritis. Namun, sebenarnya penulisan yang benar adalah teoretis, bukan teoritis, sebab serapan langsung dari bahasa Belanda: theoretisch. Orang yang ahli dalam hal teori disebut teoretikus (Belanda: theoreticus). Di kalangan akademisi, kita juga memahami bahwa sebuah penelitian harus terstandardisasi. Ingat, standardisasi, bukan standarisasi. Kata tersebut serapan dari bahasa Belanda, standaardisatie. Bahasa Inggris: standardization.

Beberapa istilah atau kosa kata serapan dari bahasa asing yang telah diurai sudah semestinya kita pahami, setidaknya sebagai bentuk komitmen kecintaan kita kepada bahasa nasional. Namun, kekeliruan penyebutan dan penulisan kosa kata itu tidak memiliki risiko (dari kata bahasa Inggris: Risk) yang berat. Misalnya, sebagai indikator kita masuk surga atau neraka.

Omong-omong, tahukah anda jika kata neraka dan surga berasal dari bahasa Sanskerta: naraka dan svarga.


Buku sumber tulisan: 
UU Suhardi, Celetuk Bahasa: Mengungkap 100+ Salah Kaprah, Jakarta: Tempo Publishing, 2017.

Editor: R. Agnibayaa




Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال