Oleh: Rangga Agnibaya
Dosen Mata Kuliah Sastra UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo
Chief Editor komunitaspintu.id
Hari ini kita bersorak ketika untuk pertama kalinya tim nasional sepak bola Indonesia melangkah jauh dalam kualifikasi Piala Dunia. Kita menikmati permainan menawan khas Eropa dari pemain-pemain seperti Jay Idzes, Tom Haye, Sandy Wals, dan Emile Audero. Mereka adalah pemain-pemain keturunan yang memiliki darah campuran Eropa-Indonesia. Dalam konteks sosial-budaya, mereka biasa disebut Indo. Kita dapat melihat jejak “Indo” dalam alur sejarah kolonialisme Belanda di Indonesia (dulu Hindia-Belanda).
Pada masa Hindia-Belanda, identitas atau anak-anak Indo lahir dari pasangan laki-laki Belanda atau Eropa dan perempuan pribumi. Sebagian besar perempuan pribumi tersebut berstatus sebagai gundik, dan biasa disebut Nyai. Anak-anak Indo yang lahir dari pasangan campuran tersebut mengalami kesulitan untuk berasimilasi dengan kaum Eropa totok karena dianggap tidak sederajat. Di sisi yang lain, mereka juga sulit untuk menyatu dengan kaum pribumi sebab dianggap berbeda. Bahkan pada beberapa kasus, si Indo sendiri yang merasa terlalu tinggi derajatnya ketika harus membaur dengan kaum ibunya itu.
Indo Dalam Karya Sastra
Dalam bukunya yang berjudul Citra Kaum Perempuan Di Hindia Belanda, Tineke Hellwig memaparkan sejumlah fakta sosial terkait identitas Indo dan Nyai di dalam novel karya beberapa penulis Belanda. Dari novel penulis-penulis Belanda tersebut karakteristik golongan indo dapat diklasifikasikan ke dalam dua jenis. Pertama, golongan Indo yang cenderung dominan dalam interaksi sosialnya. Golongan ini memiliki citra diri yang agak negatif, seperti culas, iri hati, dengki, penuh dengan intrik, dan manipulatif. Kedua, golongan Indo yang inferior dalam lingkungan sosialnya. Golongan ini berkarakter lemah serta selalu berposisi sebagai pesakitan dalam hubungan sosialnya.
Salah satu karya sastra yang diulas Hellwig adalah De Familie van de Resident (Keluarga Sang Residen), karya Melati Van Java (Hellwig, 2007: 70-72). Tokoh Constance dalam novel tersebut digambarkan sebagai anak Indo yang dibenci oleh ibu tirinya yang Belanda totok. Contstance seperti tokoh bawang putih dalam kisah Bawang Putih Bawang Merah yang selalu dibenci dan disalahkan oleh keluarganya. Ia oleh ibu tirinya, Etty Klovens, dijuluki sebagai ‘anak berakhlak buruk’ dan ‘ular Jawa yang memukau sekalian orang’. Lebih jauh lagi, Etty memanipulasi suaminya, Van Welven, untuk tidak menunjukkan kasih sayang yang terlalu berlebihan kepada Constance.
Rasa benci Etty terhadap Constance sebenarnya merupakan pengalihan rasa bencinya terhadap ibu kandung Constance. Ibu kandung Constance adalah Nyai dari Van Welven sebelum menikah secara resmi dengan Etty. Etty merasa jijik dengan praktik pergundikan yang melahirkan Constance. Diceritakan dalam novel tersebut bahwa Constance menghadapi perlakukan yang tidak mengenakkan dengan sabar dan tanpa perlawanan sehingga dia terlihat lemah dan sangat inferior, bahkan ia menunjukkan sikap patuh ketika dipaksa untuk menikah dengan lelaki yang tidak dicintainya. Constance dengan segala karakter yang melekat pada dirinya dan peristiwa yang dialaminya menjadi gambaran golongan Indo yang inferior dan lemah.
Gambaran tentang golongan Indo yang memiliki citra diri negatif juga digambarkan oleh Hellwig di dalam bukunya. Tokoh Marie dalam cerita berjudul Geketend (Terbelenggu) karya Annie Foore merupakan seorang Indo yang juga sekaligus berperan sebagai Nyai (Hellwig, 2007: 76-78). Posisinya sebagai seorang Nyai sebenarnya sudah cukup menunjukkan citra dirinya yang negatif dan kelam. Ditambah lagi diceritakan pada kisah tersebut bahwa ia berkonflik dengan banyak pihak. Mulai dari pasangannya sendiri, yang ia nikahi dalam keadaan tidak sadarkan diri karena racun yang diberikannya, sampai dengan sahabat suaminya yang pada akhirnya ia bunuh menggunakan tusuk kondenya. Marie juga memengaruhi jalan pikiran anak-anaknya agar berseberangan dengan ayahnya. Hal-hal tersebut cukup untuk menempatkan tokoh Marie sebagai representasi golongan Indo yang berkarakter buruk.
Pada kisah yang lain, yakni Nummer Elf, karya P.A. Daum, terdapat karakter indo yang lebih problematis (Hellwig, 2007: 78-79). Karakter tersebut melekat pada tokoh bernama Yps Nesnaj. Ke-indo-an Yps Nesnaj langsung dapat diketahui melalui namanya yang merupakan kebalikan dari nama ayahnya. Sudah jamak pada saat itu jika seorang anak hasil pergundikan ingin diakui atau diadopsi secara resmi oleh pihak ayahnya, maka ia harus diberi nama kebalikan dari nama ayahnya tersebut. Maka, nama ayah dari Yps Nesnaj adalah Jansen.
Dikisahkan dalam novel Nummer Elf, Yps pada mulanya adalah indo yang rapuh dan lemah. Ketika tuannya, yang tidak lain adalah pasangan pergundikannya, hendak meminang secara resmi perempuan dari kalangan yang sederajat, Yps diperintahkan untuk pulang ke kampung halamannya. Dengan kata lain ia di usir. Namun, ketika pinangan tersebut ternyata ditolak, sang tuan mengajak Yps untuk tinggal bersama lagi dalam satu bahtera. Yps tidak berkeberatan, dan dengan suka rela mau tinggal bersama lagi. Sayangnya, di tengah-tengah kebahagian di kesempatan kedua tersebut ternyata perempuan yang sempat menolak pinangan sang tuan, yakni Lena, bersedia untuk dipinang oleh sang tuan. Sang tuan, George Vermey, tanpa ragu-ragu menerima tawaran Lena, dan sekali lagi Yps ditendang keluar rumah. Sampai pada tahap ini terlihat jelas betapa rapuh dan lemahnya posisi Yps sebagai seorang indo sekaligus Nyai.
Tidak mau terus menerus dilecehkan, maka Yps pun melakukan perlawanan. Ia mengubah perangainya yang patuh dan nrimo menjadi individu antagonis dengan menggoda Vermey yang telah berumah tangga dengan Lena. Vermey pun masuk ke dalam jeratan yang dipasang oleh Yps. Dengan daya tarik seksual yang culas dan licik, Yps membuat mantan tuannya itu tidak pulang ke rumah di mana Lena menanti, dan justru menginap di gubuk Yps untuk beradu cinta. Rumah tangga Vermey dan Lena pun berantakan. Hal tersebut membuat Yps sangat puas.
Namun, keadaan mulai berubah ketika Lena melahirkan seorang anak untuk Vermey. Vermey menginsafi kesalahannya selama ini, serta tidak lagi pergi ke gubuk Yps. Yps merasa sakit hati sampai akhirnya ia memutuskan untuk membunuh Lena menggunakan pil nomor sebelas (Nummer elf). Dari tokoh Yps ini dapat dilihat dua karakter yang berbeda dari seorang indo, yakni indo yang lemah dan inferior di satu sisi, serta indo yang culas dan licik di sisi yang lain.
Pembacaan yang intens dan luas terhadap karya-karya pengarang Hindia-Belanda tentunya akan semakin memperdalam pemahaman kita tentang karakter indo pada zaman Hindia-Belanda. Namun, sayangnya karya-karya pengarang Hindia-Belanda tersebut belum banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Adanya kajian-kajian tentang novel pengarang Hindia-Belanda tidak lepas dari kemampuan penguasaan bahasa Belanda yang dimiliki oleh pengkaji. Menjadi hal yang ironis, di mana penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia justru banyak dilakukan terhadap tulisan-tulisan ilmiah yang mengkaji novel pengarang Hindia-Belanda, sedangkan penerjemahan novel-novelnya sendiri tidak banyak dilakukan.
Struktur Sosial Yang Melahirkan Orang-Orang Indo
Hindia-Belanda pada awal abad 20 merupakan sebuah wilayah jajahan yang ramai dengan isu-isu perubahan. Hal ini terkait dengan posisi Belanda sebagai negara penjajah yang tengah disibukkan dengan tekanan-tekanan moralitas kemanusiaannya sendiri. Ada tuntutan-tuntutan dari dalam negeri Belanda sendiri untuk mempertimbangkan cara mereka memperlakukan negara jajahan. Setelah berpuluh tahun menggunakan pendekatan represif dan hanya menguntungkan diri sendiri tanpa memperhatikan kepentingan negeri koloni, mereka dituntut untuk lebih manusiawi (Niel, 1984: 19).
Dari penggambaran tentang situasi sosial dan kebijakan politik kolonial yang ada pada awal abad ke-20 dapat dilihat terdapat dua golongan besar yang menghuni Indonesia (Hindia-Belanda) pada saat itu, yakni: Golongan Eropa dan Golongan Pribumi. Namun, sejatinya ada satu golongan lagi di luar kedua golongan tersebut, yakni golongan orang Asia yang terdiri dari orang-orang Arab, Cina, dan Jepang (Gouda, 2007: 15). Bahkan pada saat itu orang-orang Jepang cenderung dianggap sederajat dengan orang Eropa.
Pada waktu itu muncul juga dari golongan Eropa dan Pribumi sebuah komunitas masyarakat Indo yang lahir dari pasangan orang tua Eropa-pribumi (Baay, 2010: 175). Orang tua yang melahirkan golongan Indo menikah secara tidak resmi untuk memberi kesempatan pada laki-laki Eropa yang ditugaskan di Hindia-Belanda untuk menyalurkan hasrat seksual mereka. Banyak di antara orang-orang Eropa yang datang ke Hindia-Belanda pada saat itu dalam status belum menikah (Baay, 2010: 37-53).
Data menunjukkan bahwa setengah dari seluruh orang Eropa yang ada di Hindia-Belanda melakukan praktik pergundikan. Terdapat pandangan yang mengatakan bahwa hal yang sulit dimengerti jika ada seorang Eropa yang tidak hidup dengan seorang gundik. Artinya, pergundikan atau fenomena orang Eropa hidup bersama dengan perempuan pribumi, baik itu pembantunya maupun bukan, menjadi praktik yang lumrah. Salah satu alasan mengapa hidup dengan gundik disarankan untuk dilakukan oleh orang Eropa adalah untuk menghindari histeria akibat menahan hasrat seksual terlalu lama. Lebih jauh lagi, menahan hasrat seksual dapat mengarahkan seseorang untuk berbuat asusila. Ditambah lagi, hidup dengan gundik menjadikan kehidupan laki-laki Eropa lebih teratur, seperti jauh dari minuman keras, pelacuran, dan membantu untuk mengatur keuangan (Baay, 2010: 46-48).
Dari praktik pergundikan tersebut anak-anak indo dilahirkan. Van Niel memperkirakan 75% golongan Eropa di Jawa merupakan Indo-Eropa. Sekitar 50.000 Indo-Eropa di Jawa diperlakukan sebagai bagian dari masyarakat Eropa. Banyak dari kaum Indo ini yang diserap menjadi penduduk Indonesia dan tidak lagi menganggap dirinya sebagai bangsa Eropa. Seturut bejalannya waktu, golongan Indo-Eropa ini mengalami pemarjinalan di dalam struktur masyarakat Hindia-Belanda (Niel, 1984: 26). Mereka sulit menyatu dengan golongan ayahnya yang Eropa karena memiliki darah pribumi dari ibunya. Di sisi yang lain, ia sendiri merasa terlalu tinggi untuk melebur dengan golongan ibunya yang pribumi.
Fakta bahwa mereka lahir dari praktik pergundikan membuat nasib mereka semakin tragis. Banyak dari mereka yang telantar karena tidak diakui oleh bapak dan ibunya. Anak-anak Indo yang telantar ini banyak diselamatkan oleh Pastor Van der Grinten dan ditampung di rumah penampungan khusus anak-anak blasteran miliknya. Anak-anak Indo ini didiskriminasikan dalam segala hal. Akses menuju pendidikan sulit, kesempatan kerja tidak jelas, dan selalu dikalahkan oleh anak-anak Eropa totok dalam hal jenjang karir. Reggie Baay (2010: 175-199 ) dalam bukunya Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda menulis bahwa tingkat pengangguran, kemiskinan, dan kejahatan di kalangan Indo-Eropa sangat tinggi. Selain tinggal di lingkungan-lingkungan kumuh Hindia-Belanda, beberapa di antara mereka yang perempuan bahkan terjerumus ke dunia prostitusi.
Akan tetapi, waktu bergulir, roda hidup berputar. Kini kita mengelu-elukan mereka yang berdarah campuran: Indo. Mereka membawa angan kita jauh melambung. Jay Idzes memimpin "pasukan Indo" kita menuju Piala Dunia 2026.
Referensi:Baay, R. (2010). Nyai &Pergundikan Di Hindia Belanda. Jakarta: Komunitas Bambu.
Gouda, F. (2007). Dutch cultures overseas: Praktik kolonial di Hindia Belanda, 1900-1942. Jakarta: Serambi.
Niel, R., (2003). Sistem Tanam Paksa di Jawa. Jakarta: LP3ES.Helwig, Tineke. (2007). Citra Kaum Perempuan Di Hindia Belanda. Jakarta: Yayasan Obor.
*Tulisan ini merupakan versi pendek dan populer dari artikel "Wajah Indo Dalam Kesusastraan Indonesia: Sejak Zaman Hindia-Belanda Hingga Era Modern" yang diterbitkan dalam Bunga Rampai Tadris Bahasa Indonesia UIN Ponorogo.
Tags
Humaniora