Pendidik Berjoget Demi Konten: Antara Ekspresi Diri dan Etika Profesi


Oleh: Yoga Prismanata
Dosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo
Penulis Komunitas Pintu

Media sosial kini menjadi pusat bersosialisasi dan berkomunikasi seluruh penduduk dunia. Semua orang yang memiliki gawai dan akses internet menggunakan media sosial untuk berkomunikasi, mencari informasi, dan juga berbagi beberapa hal. Selain manfaat dan kemudahan yang diperoleh, kehadiran media sosial juga memiliki andil dalam mengubah perilaku masyarakat menjadi lebih ekspresif. Pengguna media sosial kini tidak ragu lagi dalam membagikan pandangan, kisah, hobi, dan bakatnya. Banyak ditemukan akun media sosial yang mengunggah konten-konten sesuai dengan preferensi pemiliknya.

Hari ini banyak bermunculan pembuat konten (content creator), bahkan dari kalangan profesi yang dikenal dengan kode etiknya yang cukup mengikat, salah satunya adalah profesi pendidik. Konten yang dibuatpun tidak hanya seputar konten edukatif terkait profesinya, tetapi juga konten yang dikategorikan sebagai non-edukatif atau hiburan. Konten non-edukatif yang teramati, dan saat ini semakin bermunculan di kalangan pendidik adalah konten joget atau tarian dengan gerakan tertentu. Umumnya, gerakan atau koreografi ini dilakukan semata-mata hanya untuk mengikuti tren yang sedang berlangsung saat itu.

Seperti yang kita tahu, profesi pendidik memiliki kode etik yang kuat, mengikat, serta harus dijunjung tinggi. Kode etik tersebut tidak hanya dilaksanakan ketika mereka sebagai pendidik di kelas saja, akan tetapi seharusnya juga mereka pegang teguh ketika di luar kelas atau lingkungan masyarakat. Terlebih lagi ketika mereka berinteraksi di media sosial yang tentu dapat diakses oleh siapapun. Berdasarkan hal tersebut, maka perilaku pendidik juga perlu dikelola dengan baik sesuai kode etik, terutama ketika mereka hadir di lingkungan masyarakat internet.

Kita meyakini bahwa media sosial turut memberikan wadah bagi para pendidik untuk berekspresi. Kita meyakini juga bahwa setiap individu memiliki perbedaan sikap terkait bagaimana berekspresi di media sosial sesuai dengan nilai yang dipegang. Akan tetapi, pendidik memiliki batasan yang sangat jelas yaitu kode etik seorang pendidik. Kode etik tersebut memiliki fungsi penting untuk menjaga profesionalitas, etika, reputasi, integritas, serta kepercayaan. Jika seorang pendidik berekspresi terlalu bebas di ruang publik yang dapat diakses secara luas, maka hal tersebut dikhawatirkan akan merusak etika, reputasi, dan kepercayaan masyarakat terhadap dirinya. Pendidik diyakini sebagai seseorang yang mampu membentuk generasi penerus bangsa. Oleh karena itu, pertanyaannya adalah apakah etis seorang pendidik menempatkan dirinya sebagai seseorang yang berekspresi tanpa batasan, terutama di ruang media sosial.

Citra Ideal Pendidik

Ideal berarti sesuatu hal yang paling sempurna atau sesuai dengan konteks tertentu. Pada konteks etika pendidik maka patokan ideal yang tepat ialah menggunakan kode etik pendidik, baik guru maupun dosen. Mari kita kutip salah satu poin dalam kode etik guru, “Seorang guru tidak melakukan tindakan dan mengeluarkan pendapat yang akan merendahkan martabat profesionalnya.” Satu lagi, kita kutip poin di kode etik dosen yang kurang lebih memiliki konteks yang sama, “Seorang dosen wajib senantiasa menjaga kelestarian keutuhan keluarga, keharmonisan dan kesejahteraan keluarga, serta reputasi sosialnya di masyarakat.” Kita dapat melihat bahwa poin yang sesuai dengan substansi terkait etika seorang pendidik ialah aspek martabat dan reputasi.

Martabat merupakan hak untuk dihormati dan dihargai, serta diperlakukan secara etis. Sedangkan, reputasi mencerminkan terkait bagaimana orang lain menilai dan mempercayai suatu entitas. Kedua aspek tersebut menentukan seseorang dilihat seperti apa di mata orang lain. Pendidik perlu dipandang sebagai orang yang dipercaya untuk mendidik generasi bangsa, baik dari segi pengetahuan, sikap, maupun keterampilannya. Pendidik juga perlu dipandang sebagai seorang yang bermartabat, karena pendidiklah yang menjadi salah satu role model atau teladan untuk para anak didiknya. Apapun yang dilakukan oleh pendidik akan selalu dijadikan referensi oleh anak didiknya. Mereka akan lebih mudah menerima apapun yang dilakukan oleh guru atau dosennya sebagai suatu kebenaran. Kurang lebih mereka memiliki pemikiran seperti ini, “Saya bisa meniru atau melakukan hal yang sama dengan apa yang guru atau dosen saya lakukan, karena hal itu benar atau tidak masalah jika dilakukan”.

Figur pendidik yang bereputasi dan bermartabat menjadi komponen penting dalam perkembangan kompetensi generasi penerus untuk dapat membawa bangsa ke tingkat kehidupan yang lebih baik. Pendidik yang menjaga citra diri akan lebih mudah mendapat trust atau kepercayaan dari masyarakat. Pendidik yang menjaga citra diri juga akan lebih mampu mengontrol dirinya untuk fokus terhadap pengembangan potensinya sebagai pendidik. Meskipun pada dasarnya pendidik juga memerlukan ruang ekspresi dan aktualisasi, sama seperti orang pada umumnya. Maka, sebenarnya hal yang lumrah jika para pendidik juga mengikuti tren berekspresi di media sosial. Penggunaan media sosial yang massif membuat sebagian dari para pendidik memanfaatkannya juga untuk berekspresi.

Relevansi Konten Joget dengan Profesi Pendidik

Konten non-edukatif yang disajikan dalam media sosial dapat kita temukan sangat banyak hari ini, bahkan mungkin menjadi jenis konten paling populer. Hal tersebut wajar, karena media sosial sebagian besar digunakan penggunanya untuk menghabiskan waktu luang. Data yang dirilis oleh datareportal.com tahun 2024 mengungkap bahwa 58,9% responden mengatakan alasan utama dalam menggunakan media sosial ialah untuk mengisi waktu luang. Sesuai dengan fakta bahwa memang sebagian besar dari kita biasa mengisi waktu luang dengan menonton hiburan. Data tersebut sekaligus menjawab sebuah pertanyaan mengapa konten hiburan biasanya lebih diminati daripada konten yang sifatnya edukatif. Kebutuhan akan konten hiburan itu besar, maka secara teori orang yang akan menawarkan konten hiburan-pun juga semakin besar. Konten hiburan atau non-edukatif faktanya memang memiliki peminat yang sangat besar.

Besarnya peminat konten non-edukatif memantik banyak kalangan pendidik untuk membuat konten yang sifatnya hiburan, seperti konten joget atau tarian di media sosial. Konten hiburan atau non-edukatif adalah jenis konten yang sangat potensial untuk mendatangkan jumlah penonton atau viewer besar. Maka tidak mengherankan jika sebagian dari kalangan pendidik juga menjadi tertarik untuk mendapatkan jumlah penonton konten dengan jumlah ratusan, ribuan, atau bahkan jutaan di sosial media. Fenomena ini berpotensi besar memunculkan gejala narsistik dalam diri mereka, seperti bangga dengan capaian jumlah penonton yang muncul; merasa dirinya lebih penting dan menarik dibanding dengan orang lain; dan lain sebagainya. Sekarang pertanyaan untuk para pendidik adalah seberapa pentingkah konten joget atau tarian tersebut untuk menunjang kehidupan kita sebagai seorang guru atau dosen. Jika memang ingin berekspresi dan beraktualisasi diri melalui media sosial, maka bukankah lebih tepat ketika membuat konten yang lebih edukatif tetapi tetap fun tanpa menonjolkan unsur jogetan atau tarian di dalamnya.

Pendidik sekaligus pembuat konten di masa kini sudah hal yang lumrah, tetapi penting bagi kita sebagai pendidik untuk mampu memilih jenis konten apa yang akan dibuat dan diunggah. Maka sekali lagi, seberapa pentingkah konten joget atau tarian untuk menunjang profesi pendidik ini. Bukankah justru akan merendahkan citra pendidik jika terus aktif membuat konten joget atau tarian. Terlebih jika pendidik mengenakan pakaian yang tidak sesuai dengan etika atau norma sosial, maka hal tersebut semakin memperburuk citra yang bersangkutan sebagai pendidik. Jika ada anggapan tentang tidak adanya hubungannya antara kegemaran konten jogetnya di media sosial dengan kegiatan mengajarnya, maka bagaimana jika nanti ada anak didik yang mulai menganggap mereka sebagai sosok yang tidak perlu dihormati selayaknya pendidik lain karena kontennya yang demikian. Hal tersebut secara logika akan memperberat tugasnya sebagai pendidik.

Potensi Dampak Negatif

Pada konteks ini, kita perlu membuat pengecualian tertentu, misalnya pendidik dengan kualifikasi seni budaya yang dimungkinkan membuat konten joget atau tarian untuk kebutuhan edukasi. Pengecualian ini penting agar pembahasan ini tidak terlalu digeneralisir terlalu luas sehingga keluar dari esensi yang sebenarnya. Konten joget atau tarian yang diunggah oleh pendidik di media sosial memiliki dampak negatif, baik untuk anak didik, profesi, maupun untuk diri pendidik sendiri. Dampak terhadap anak didik yang paling potensial adalah menurunnya rasa hormat kepada pendidik. Hal tersebut secara rasional dapat dipahami dengan mudah. Seorang pendidik merupakan pembimbing belajar anak didiknya di kelas. Gambaran seorang pendidik tentunya ialah orang yang cerdas, berwibawa, bijak, dan tegas. Terlepas apakah mereka tipe pendidik yang menyenangkan atau tidak ketika membersamai anak didiknya belajar. Sesuai dengan hal tersebut, maka akan cukup aneh jika konten yang dibuat justru bertolak belakang dengan gambaran atau citra yang seharusnya dimiliki atau sengaja dibangun oleh seorang pendidik. Misalnya, seorang pendidik ketika di kelas memiliki citra yang tegas dan berwibawa, tetapi media sosialnya diisi dengan konten joget atau tarian.

Dampak berikutnya adalah bagi profesi dan pendidik itu sendiri. Seorang pendidik haruslah mampu diikuti semua perkataan dan perilakunya oleh anak didiknya. Hal tersebut dikarenakan pendidik adalah director atau pengarah ke sesuatu yang dianggap benar. Kekhawatiran terbesarnya adalah profesi pendidik akan kehilangan reputasi sebagai seorang pengarah yang ideal di mata masyarakat. Profesi pendidik dikhawatirkan tidak akan dilihat lagi sebagai suatu profesi yang sakral sehingga tidak lagi dihormati dan dipercayai. Tren mengunggah konten joget di kalangan pendidik seolah membangun sebuah persepsi bahwa pendidik yang kekinian adalah pendidik yang up to date dan berpotensi dekat dengan anak didiknya. Sebaliknya, pendidik yang tidak mengikuti tren tersebut dianggap tidak dekat dengan anak didiknya. Pola seperti demikian terus berkembang yang akhirnya memantik sebagian pendidik untuk membuat konten serupa. Pendidik lain akan mendapatkan beban sosial yang cukup berat akibat munculnya stigma tersebut. Konsekuensi negatif yang dapat terjadi adalah pendidik yang semula tidak berpikiran demikian menjadi ikut-ikutan menyuburkan tren konten joget tersebut agar mendapat predikat sebagai guru atau dosen muda, kekinian, dekat dengan anak didiknya, dan sebagainya.

Batasan Etika Profesi Pendidik di Era Digital

Fenomena pendidik dengan konten joget atau tariannya di media sosial membawa pada sebuah kesadaran akan pentingnya menakar batasan konten yang dapat diunggah. Jika kita saat ini menyimpulkan bahwa konten joget atau tarian dari kalangan pendidik adalah sesuatu hal yang melewati batas etika, maka seharusnya kita juga harus memberi takaran batasan konten yang tepat. Penggunaan media sosial selain sebagai wujud ekspresi dan bersosialisasi, bisa digunakan juga untuk menciptakan pembelajaran yang lebih kontekstual. Pendidik dapat mengikuti kejadian-kejadian yang sedang hangat atau viral di media sosial, sehingga dapat digunakan sebagai studi kasus atau bahan kajian dalam pembelajaran.

Anak didik di era sekarang merupakan pengguna media sosial yang aktif, sehingga pendidik dapat memanfaatkan media sosial untuk mengirimkan substansi materi pembelajaran. Pendidik dapat mendekatkan proses belajar melalui platform media sosial yang sering digunakan anak. Pendidik juga dapat memanfaatkan media sosial untuk mengunggah konten-konten pembelajaran dengan cara yang lebih fun atau menyenangkan. Anak didik dapat menonton konten guru atau dosennya dengan cara menyenangkan, menghibur, dan sekaligus memberikan pengetahuan atau pemahaman. Konten yang dibuat pun masih boleh menambahkan beberapa gerakan tarian sederhana dengan tetap menekankan sisi materi atau subtansi pembelajaran. Pendidik yang menerapkan prinsip “ngonten” seperti demikian, maka akan lebih membawa unsur kemanfaatan yang lebih baik daripada konten yang sekedar joget atau tarian.

Selain memberikan manfaat, “ngonten” dengan memegang nilai atau prinsip tersebut akan dapat menjaga reputasi dan martabat pendidik, bahkan dapat meningkatkan diri ke level pendidik kreatif dan menyenangkan. Anak didik akan menempatkan kedekatannya dengan guru atau dosennya tepat pada tempatnya. Mereka akan memiliki kepercayaan dan juga rasa nyaman dalam belajar. Selain itu, mereka juga akan senang dan tenang ketika belajar, sekaligus tetap menghormati guru atau dosennya. Etika adalah salah satu hal yang dapat dijadikan batasan bagi pendidik. Pendidik yang berkarakter akan selalu memperbesar upayanya dalam meningkatkan kualitas anak didik, serta sumbangsihnya untuk kualitas Pendidikan. Selain itu, ia selalu konsisten menjaga citra, reputasi, dan martabatnya. Bagi pendidik yang suka membuat konten, refleksi dan evaluasi diri terhadap kualitas konten sebagai pendidik menjadi poin terpenting. Jika sudah tepat sesuai nilai dan prinsip etika, maka pendidik dapat mempertahankan dan bahkan meningkatkan. Jika belum sesuai dengan etika, maka sekali lagi refleksi dan evaluasi diri akan selalu menjadi hal penting dan bermanfaat.

Editor: R. Agnibayaa
Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال