Dari Kampus ke Lapangan Kerja: Siapa yang Diterima, Siapa yang Ditinggal

 


Oleh: M. Thoha Ainun Najib
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo

Di negeri ini, cari kerja kadang lebih susah daripada cari jodoh. Sudah kirim CV rapi, foto 4x6 senyum tiga jari, surat lamaran pakai template dari internet, tetap saja yang diterima anak kampus bonafide. Ya sudahlah, mungkin bukan rezeki. Atau mungkin, sistemnya memang didesain bukan untuk kita.

Sambutlah fenomena job criteria by design alias proses rekrutmen yang secara elegan (tapi kejam) menyaring siapa yang layak masuk dan siapa yang selamanya menatap kesempatan kerja dari luar jendela. Dari permintaan lulusan top tier university, umur maksimal 27 (padahal lulus umur 25 aja sudah bersyukur), hingga kemampuan multitasking 10 pekerjaan dengan gaji UMR, semuanya terdengar sangat efisien. Tapi untuk majikan.

Dalam teori ekonomi neoklasik, pasar tenaga kerja diasumsikan rasional. Permintaan bertemu penawaran dan terciptalah upah yang “adil’’. Tapi itu dalam buku. Dalam kenyataan, proses seleksi kerja ibarat filter Instagram, dalam artian bisa mempercantik statistik HRD sambil menghapus realitas: ketimpangan sosial, bias gender, dan eksklusi sistemik.

Contohnya, data BPS (per Mei 2025) menunjukkan bahwa pengangguran terdidik (S1 dan D3) semakin dominan. Banyak lulusan yang akhirnya nyambi jadi konten kreator, admin olshop, atau buka les privat tanpa sertifikasi. Ini bukan karena mereka tidak kompeten, akan tetapi karena sistem rekrutmen kadang menilai dari “siapa kamu”, bukan “apa yang kamu bisa”.

Lalu kita punya bias institusional: kampus ternama diasumsikan mencetak pekerja lebih produktif. Padahal, menurut teori signalling dari Michael Spence, ijazah sering kali cuma sinyal, bukan bukti kemampuan. Lulusan kampus elite mungkin hanya lebih piawai mengikuti sistem, bukan selalu lebih baik menghadapi dunia nyata. Tapi ya, HRD lebih percaya logo kampus daripada pengalaman hidup bertahan dengan gaji magang.

Tak ketinggalan bias kelas dan jenis kelamin. Perempuan kadang ditanya soal rencana menikah sebelum ditanya soal keahlian. Pelamar dari daerah atau kampus swasta kecil kerap gugur sebelum tahap wawancara, bahkan jika CV-nya lebih panjang dari disertasi dosennya. Ini bukan pasar kerja bebas tetapi pasar kerja dengan syarat dan ketentuan yang tidak semua orang membacanya.

Akibatnya, banyak lulusan "terpinggirkan" akhirnya masuk ke sektor ekonomi informal. Mereka jualan online, freelance tanpa kontrak, atau jadi supir aplikasi yang algoritmanya lebih galak dari dosen killer. Ekonomi informal memang menyerap banyak tenaga kerja, tapi tanpa jaminan sosial, tanpa jenjang karir, dan tanpa cuti tahunan. Istilah kerennya: survival employment.

Padahal kalau kita bicara ekonomi inklusif, kriteria kerja seharusnya didesain agar membuka akses, bukan mempersempit. Dalam teori kapital manusia (human capital), investasi pada pendidikan seharusnya meningkatkan peluang kerja. Tapi kalau semua pintu dijaga oleh kriteria elitis, maka siap-siap saja generasi muda menganggur sambil update status LinkedIn: “Open to Work”.

Maka, pertanyaannya bukan lagi siapa yang lolos seleksi kerja, tapi: apakah sistem kerja kita memang adil sejak rekrutmen. Jika tidak, kita hanya sedang menciptakan ilusi meritokrasi di atas fondasi ketimpangan. Seolah-olah siapa pun bisa sukses, padahal yang menentukan bukan bakat akan tetapi akses, alamat, dan akreditasi kampus.

Editor: R. Agnibayaa
Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال