Mitos dan Magi: Kehendak Berkuasa Melalui Yang Transenden

 


Oleh: Ibnu Hasyim
Mahasiswa Tadris Bahasa Indonesia FTIK IAIN Ponorogo


C.A. Van Peursen, filusuf kebudayaan dari Belanda, dalam bukunya Strategi Kebudayaan berpandangan bahwa manusia dalam memahami makna dan tantangan kehidupan selalu menggunakan strategi tertentu. Van Peursen membagi strategi tersebut dalam tiga tahap: mitos, ontologis, dan fungsional. Masing-masing tahap strategi tersebut jika diterapkan secara berlebihan dan serampangan akan tergelincir menjadi sesuatu yang negatif: Mitos menjadi magi, ontologi menjadi substansialisme, dan fungsionalisme berubah menjadi operasionalisme.

Dalam konteks pemahaman mitos atau mitologis, batas antara manusia dan lingkungannya ternyata begitu lentur dan tidak terbatas. Hubungan antara subjek (Alam) dan objek (Manusia) melebur menjadi satu kesatuan yang utuh, sehingga manusia tidak lagi dapat dipandang sebagai entitas yang berdiri sendiri. Manusia dalam tahap ini belum dapat dikatakan makhluk yang sepenuhnya. Karena ada pada tahap mitos, ia merupakan objek yang terbuka, dan belum mempunyai eksistensi yang definitif dan mandiri.

Van Peursen menjelaskan dalam bukunya bahwa ketergantungan eksistensi manusia mitos terhadap lingkungannya tergambarkan dengan jelas melalui kisah seorang perantau yang bertemu dengan sekelompok peneliti di benua Afrika. Perantau tersebut mengalami pengucilan dari sukunya, namun kemudian mendapatkan perawatan dari rombongan peneliti yang ditemuinya. Meskipun akhirnya dirawat dengan baik oleh para rombongan peneliti, perantau tersebut akhirnya meninggal. Kematian perantau yang dikucilkan tersebut menunjukkan bahwa dalam pemahaman mitologis, eksistensi seseorang sepenuhnya tergantung pada keberlangsungan hubungannya dengan komunitas asal. Terputusnya ikatan dengan suku berarti hilangnya jaminan keberadaan, sehingga membuat seseorang menjadi depresi atau gila. Situasi seperti ini mengakibatkan kelangsungan hidup menjadi mustahil. Dalam tradisi mitologis, nama diri tidak sekadar penanda identitas personal, melainkan representasi dari ikatan dengan komunitas. Ketika hubungan dengan sukunya terputus, sang perantau kehilangan esensi dirinya sendiri.

Magi Sebagai Representasi Kehendak Berkuasa

Ruang lingkup mitologis menunjukkan bahwa batas antara subjek dan objek (pelaku dan lingkungan), sedemikian tipisnya sehingga keduanya hampir tidak dapat dibedakan. Manusia dan alam raya saling meresapi, dan oleh karena itu kekuatan manusia dan ‘yang ilahi’ juga saling terlebur. Dalam konteks ini, magi muncul sebagai aspek yang menarik. Bagi masyarakat primitif, magi memiliki peran yang sangat signifikan. Magi dapat dipandang sebagai aspek negatif dari mitos. Jika dalam mitos manusia mengalihkan perhatiannya menuju dimensi kekuatan supernatural yang lebih tinggi (dewa, ketuhanan, alam semesta), maka dalam magi sebaliknya. Dalam magi, manusia justru berupaya menguasai dan memanipulasi kekuatan tersebut. Dengan kata lain, mitos lebih bersifat transenden dan spiritual, mirip dengan pengalaman religius yang mendalam. Sementara magi lebih bersifat pragmatis dan instrumental, dengan tujuan untuk mengendalikan berbagai fenomena di sekitarnya. Fenomena ngelmu dalam wacana perdukunan mungkin menjadi contoh paling mendekati.

Praktik magi dimaksudkan untuk melindungi diri dari ancaman, memengaruhi kekuatan alam, mengendalikan individu lain, dan bahkan memiliki tujuan merusak seperti membunuh seseorang melalui manipulasi simbolik dengan menusuk-nusuk representasi atau gambaran targetnya. Praktik-praktik magi yang lebih kasar dan vulgar dapat kita jumpai di Afrika. Seorang dukun di Afrika sering memiliki kekuasaan yang sangat besar dalam sukunya. Mereka menggunakan magi bukan sekadar untuk spiritual, tetapi untuk mengontrol dan membatasi kebebasan masyarakat. Dengan menggunakan ketakutan dan kekuatan simbolik, dukun mampu menciptakan semacam pemerintahan yang tidak demokratis di dalam sukunya. Praktik magi membuat masyarakat merasa terkekang. Mereka tidak berani melawan atau mencari jalan keluar baru karena takut akan kutukan atau kekuatan gaib sang dukun. Akibatnya, masyarakat terjebak dalam lingkaran ketakutan dan tradisi yang sudah ada. Kekuasaan dukun ini seolah-olah mewakili seluruh kekuatan suku, sehingga tidak ada seorang pun yang berani melawannya. Hasrat untuk bebas pun terpasung, dan masyarakat hanya bisa pasrah di bawah kekuasaan magis yang menakutkan ini

Pada ranah keilmuan dan ilmiah, sejumlah ahli seperti G. van der Leeuw dan J. Wach, membedakan antara religi (yang terutama diwujudkan dalam mitos-mitos) dan magi. Mereka menegaskan bahwa dalam religi manusia bermaksud untuk mengabdi kepada kekuatan yang lebih tinggi, sementara dalam magi, manusia justru berupaya menguasai kekuatan tersebut seperti yang dijelaskan sebelumnya. Lebih lanjut, mereka mengamati bahwa manusia memiliki kecenderungan alamiah untuk ingin mengendalikan berbagai proses yang terjadi di alam semesta. Keinginan untuk menguasai inilah yang pada akhirnya mendorong manusia menuju praktik magis, di mana mereka berusaha memperoleh kendali atas kekuatan-kekuatan di luar dirinya. Maka, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam kompleksitas hubungan antara mitos, manusia, dan magi, kita diajak untuk memahami bahwa eksistensi manusia tidak berdiri sendiri, melainkan terjalin erat dengan alam semesta, kekuatan supernatural, dan komunitas, menciptakan suatu kesatuan dinamis yang melampaui batas-batas fisik dan spiritual.

Referensi:

C.A. Van Peursen, Strategi Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius, 1988.
James Dananjaya, Folklor Indonesia, Jakarta: Grafiti Pers, 1994.

Editor: R Agnibayaa

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak