Pengajaran Seni Pada Anak di Sekolah


Oleh: Ali Jenggot
Mengajar Seni di MI Ma'arif Serag Pulung Ponorogo

Seni adalah keindahan obyektif sekaligus subyektif yang dihasilkan dari sebuah tindakan seseorang berupa karya yang bisa dilihat, disentuh, dirasakan, dan didengarkan. Seni yang bisa dilihat misalnya seperti; gambar, koreografi, tulisan, ukiran, tari dan lain sebagainya, sedangkan yang bisa didengarkan misalnya nyanyian, lantunan, dan pembacaan puisi. Berbagai bentuk seni tersebut dapat dilestarikan dengan bermacam cara, salah satunya dengan diajarkan pada anak-anak.

Faktanya, mengajarkan kesenian pada anak di sekolah merupakan hal yang tidak mudah dan penuh tantangan, mengingat kencenderungan seni pada anak belum terlihat. Dengan bahasa lain, dapat dikatakan bahwa siswa masih belum yakin dengan bidang seni yang akan diakrabinya. Hal ini masih ditambah dengan kenyataan bahwa banyak sekolah belum menyediakan semua bidang seni yang memungkinkan siswa dapat memilih kesenian yang betul-betul diminatinya. Dua hal tersebut merupakan problem yang yang sering dihadapi ketika mengajar kesenian di sekolah.

Penulis sering menghadapi kesenjangan antara kurikulum yang diterapkan dengan konteks kebutuhan seluruh siswa yang ada di sekolah, sehingga kerap kali sekolah hanya menyediakan cabang seni tertentu yang sering dilombakan pada event-event yang ada. Sebagai contoh, di sekolah tempat penulis mengajar seni terdapat cabang seni kaligrafi dan lukis yang diberlakukan kepada seluruh siswa semua jenjang. Pada saat proses pembelajaran akan terlihat minat masing-masing anak terhadap pelajaran seni yang sedang berlangsung. Mereka yang menyukai kaligrafi dan melukis akan semangat belajar dan serius dalam menerima pelajaran, tetapi berbeda dengan anak-anak yang dari awal memang tidak memiliki minat terhadap bidang seni tersebut. Mereka yang tidak memiliki minat menunjukkan antusiasme belajar yang rendah, sehingga mengakibatkan kondisi kelas tidak kondusif. Jika tidak segara diatasi hal ini dapat mempengaruhi keseriusan pada anak-anak yang sejak awal memiliki minat.

Beberapa solusi yang dapat ditempuh adalah dengan cara memberikan kebebasan kepada siswa untuk memilih bidang seni yang diminati pada awal semester, serta menyediakan guru seni yang memadai untuk berbagai bidang seni, dengan konsekuensi semakin banyak pula tenaga pengajar yang dibutuhkan. Solusi tersebut sebenarnya belum menyentuh aspek efektivitas dan efisiensi bagi sekolah. Dengan kata lain, belum tercapai keseimbangan antara azas kemanfaatan dan semua beban yang harus ditanggung.

Selain problem terkait manajerial, pengajaran seni di sekolah juga menantang dalam hal teknis. Aspek teknis menjadi penting sebab teknik pengajaran seni memiliki pengaruh terhadap keberhasilan dalam memotivasi dan mendukung minat belajar siswa.

Penulis sering kali menemukan kesulitan dalam melatih siswa dalam seni melukis dan menggambar, terutama dalam hal pemilihan warna dan teknik arsir. Teknik arsir dan pemilihan warna penting untuk ditekankan sebab keindahan sangat bersifat subyektif. Warna pilihan anak terkadang berbeda dengan warna yang dianjurkan oleh guru, misalnya. Ketika mereka selesai melukis, siswa merasa puas dengan gambar yang dihasilkan dan menganggap pilihan warna mereka sudah tepat dan memenuhi unsur keindahan, tetapi belum tentu indah bagi guru yang menilai. Hal ini sering menjadi titik sekat antara seniman (siswa) dan penikmat/ penilai seni (guru).

Seandainya seni dikembalikan pada fitrahnya, yakni semata sebuah minat untuk kepuasan senimannya sendiri, dan mengesampingkan kebutuhan penikmat seni, maka seni akan berdiri kokoh secara independen tak tercemar dengan tendensi-tendensi yang dapat mengubah tujuan seni tersebut ada. Dalam konteks pengajaran seni di sekolah, maka kurikulum yang memasung kebebasan siswa menentukan standar keindahannya sendiri tidak diperlukan. Jika seperti ini adanya, maka seni akan dapat dengan mudah diteladani di sekolah karena siswa atau anak didik merasa bebas berekspresi tanpa memedulikan prestasinya di bidang seni (menjadi juara dalam event-event seni). Kepuasan siswa sebagai seniman dalam menghasilkan karya yang dapat dinikmatinya sendiri menjadi satu-satunya ukuran prestasi. Sayangnya, hal ini akan terkesan egois dan tak memberi sumbangsih karya yang dapat dinikmati oleh banyak orang. Bertolak pada kebermanfaatan hasil seni, pembelajaran dan pengajaran seni suka tidak suka harus terstandarisasi agar terukur dari sisi keindahan yang disepakati banyak orang.

Tulisan ini berdasarkan pengalaman penulis sebagai guru pelajaran seni di sekolah, yang bisa jadi berbeda dengan yang dialami oleh guru seni lainnya. Konteks tempat, waktu, dan kondisi sangat mempengaruhi hasil pengamatan dan pengalaman yang terjadi pada masing-masing guru, termasuk kemapanan aspek manajerial di sekolah juga sangat mempengaruhi pengajaran seni di tempat tersebut.

Editor: Rangga Agnibaya

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak