Oleh. M. Thoha Ainun Najib
Dosen Ekonomi Syariah FEBI IAIN Ponorogo
Masyarakat kelas menengah di Indonesia ibarat anak tengah dalam sebuah keluarga besar. Ia tidak sekaya si sulung yang mewarisi bisnis keluarga, tapi juga tidak sering diberi bantuan seperti si bungsu yang selalu dimanja. Dan di antara banyaknya beban hidup yang harus dipikul, ada satu hal yang selalu setia mengetuk pintu rekening mereka: pajak!
Bukan rahasia lagi kalau masyarakat kelas menengah adalah target potensial dalam urusan perpajakan. Orang kaya memiliki seribu cara untuk meminimalisir pajak mereka dengan berbagai celah hukum, dan kelompok ekonomi bawah sering mendapat subsidi dan bantuan sosial. Sementara itu, bagaimana dengan kelas menengah. Mereka terkena pajak, tapi tidak cukup kaya untuk bisa menghindarinya dan tidak cukup miskin untuk mendapatkan keringanan. Jika diibaratkan, mereka terlalu tajir untuk dapat BLT, tapi terlalu miskin untuk punya rekening di Swiss.
Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Mari kita sejenak melihat ke Amerika Latin, khususnya ke fenomena yang disebut Chilean Paradox. Secara singkat dapat dijelaskan: negara Chile secara ekonomi dianggap sebagai negara berpenghasilan tinggi, tetapi banyak warganya “merasa” seperti orang miskin karena biaya hidup yang melambung tinggi, serta pajak yang terasa berat bagi kelas menengah.
Masyarakat kelas menengah Chile mengeluh karena mereka membayar pajak lebih besar dibandingkan manfaat yang mereka terima dari negara. Infrastruktur bagus, tapi harus membayar tol dengan tarif yang mahal. Pendidikan tinggi ada, tapi biaya kuliahnya membuat pusing tujuh keliling. Layanan kesehatan tersedia, tapi kalau tidak mempunyai asuransi yang berpremi mahal mereka tetap harus antri panjang di rumah sakit. Semua ini menciptakan perasaan frustrasi: sudah membayar pajak banyak, tapi masih harus membayar lagi untuk layanan yang seharusnya dijamin negara.
Kembali ke konteks Indonesia, di mana kelas menengah juga mengalami hal serupa dengan yang terjadi di Chile. Di Indonesia, pajak penghasilan dipotong langsung dari gaji pegawai. Pajak pertambahan Nilai (PPN) tertempel di semua barang belanjaan, bahkan untuk sekadar membeli kopi susu kekinian. Pajak kendaraan: Ada. Pajak rumah: Ada. Pajak nonton konser: Tunggu dulu, jangan memberi ide untuk hal tersebut.
Yang lebih menarik, pemerintah sering kali meminta kelas menengah untuk lebih "patuh" dalam membayar pajak, sementara mereka, kelas menengah, melihat para konglomerat mendapat berbagai insentif dan kemudahan investasi. Jika kelas menengah terlambat membayar pajak, maka denda dan ‘surat cinta’ dari kantor pajak segera datang. Sebaliknya, jika yang terlambat membayar adalah perusahaan besar, maka ada kemungkinan mendapat keringanan atau setidaknya dibuka jalur untuk negosiasi. Hal ini membuat masyarakat kelas menengah hanya dapat menghela napas panjang untuk mengeluarkan keluh yang terpendam dirongga dada, sambil mengisi formulir SPT tahunan.
Posisi masyarakat kelas menengah di Indonesia semakin terlihat mengibakan, sebab meskipun mereka menjadi tulang punggung perpajakan, namun tidak memiliki suara yang signifikan dalam kebijakan fiskal. Ketika ada rencana kenaikan pajak, misalnya, mereka hanya dapat mengeluh di berbagai platform media sosial.
Jadi, apakah ada solusi bagi masyarakat kelas menengah. Jawabnya: ada. Salah satunya adalah dengan mendorong kebijakan pajak yang lebih adil. Pemerintah seharusnya tidak hanya fokus menekan mereka yang sudah patuh membayar pajak, tetapi justru harus menindak mereka yang masih "kucing-kucingan" dalam melaporkan kekayaan. Selain itu, ada baiknya pajak yang sudah dibayarkan benar-benar dirasakan manfaatnya oleh rakyat secara luas.
Pada akhirnya, masyarakat kelas menengah hanya ingin satu hal: jika memang harus membayar pajak, setidaknya mereka bisa merasakan manfaatnya secara nyata. Jangan sampai mereka terus menerus berada dalam lingkaran setan perpajakan, seperti halnya masyarakat Chile yang terjebak dalam Chilean Paradox—dianggap negara kaya, tapi hidup tetap terasa mahal dan berat.
Editor: R Agnibayaa
Tags
Humaniora