Oleh: Lutfiana D. Mayasari
Dosen FTIK IAIN Ponorogo
Penulis Esai Isu-isu Perempuan dan Gender
Membahas mengenai mental illnes memang belum umum di Indonesia. Padahal Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO sudah menyatakan bahwa seseorang dinyatakan sehat jika fisik, mental, dan jiwanya dalam kondisi sehat. Data menunjukkan bahwa satu dari empat orang di dunia mengalami gangguan mental dengan kadar yang bervariasi. Namun, kesehatan dalam perspektif masyarakat Indonesia masih terbatas pada kesehatan fisik belaka. Depresi, stress, dan berbagai cedera mental lainnya bukan dianggap sebagai gangguan kesehatan. Salah satu mental illnes yang paling rentan menyerang manusia, khususnya perempuan adalah Baby Blues Syndrome.
Baby Blues syndrome adalah depresi ringan yang terjadi pada ibu-ibu dalam masa beberapa jam setelah melahirkan, sampai beberapa hari setelah melahirkan, dan kemudian akan hilang dengan sendirinya jika diberikan pelayanan psikologis yang baik. Tingginya potensi perempuan terserang Baby Blues syndrome beriringan dengan tingginya angka ibu melahirkan di Indonesia. Dr. Jiemi Ardian, dokter spesialis kejiwaan, menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang menyebabkan seseorang mengalami mental illness, termasuk Baby Blues syndrome.
Konflik Antara Harapan dan Kenyataan
Menjadi seorang ibu, apalagi ibu baru, tentu sesuatu yang sangat spesial bagi mayoritas perempuan. Terlebih lagi, hari ini gambaran tentang kehidupan keluarga kecil bahagia yang diisi dengan gelak tawa bayi banyak disuguhkan oleh artis-artis di media sosial.
Namun pada kenyataannya, justru keletihan tiada tara yang didapat; luka melahirkan belum sembuh; bayi tantrum dan menangis sepanjang malam; jam tidur yang kacau; makan tidak nyaman; dan berbagai situasi dan kondisi yang tidak mengenakkan yang harus dihadapi seorang perempuan yang baru saja melahirkan. Alih-alih mendapat dukungan untuk menjadi new mother yang baik, tak jarang justru cibiran yang didapatkan. Pada umumnya, orang-orang di sekitar justru melakukan penghakiman tanpa mau tahu alasan dan apa yang dirasakan oleh seorang perempuan yang menjadi ibu baru.
Situasi ini diperparah ketika ia diremehkan peran dan kemampuannya sebagai ibu hanya karena tidak mampu memberikan ASI eksklusif dengan tuduhan takut dadanya menjadi kendor, badan yang semakin melar, muka yang tidak karu-karuan dan lain sebagainya. Pada beberapa kasus, perempuan diejek karena melahirkan dengan cara dibelah seperti amoeba, dan mendapat stigma manja karena melahirkan secara caesar, serta guyonan-guyonan lain yang sebenarnya sama sekali tidak dapat diterima: “Nanti kalau nggak dandan suamimu selingkuh, loh.” Bagaimana perempuan dapat berpikir untuk berdandan, sedangkan untuk berdamai dengan berbagai situasi “tidak nyamannya” pasca melahirkan saja sudah mengeluarkan energi yang cukup besar.
Akumulasi dari berbagai ketimpangan antara harapan dan kenyataan serta posisi diremehkan ini kemudian membuat seorang ibu merasa gagal. Gagal menjadi ibu yang sesungguhnya karena tidak melahirkan pervaginam; gagal menjadi ibu karena tidak memberi ASI eksklusif; dan pada kasus tertentu ada yang merasa gagal karena anaknya tidak tumbuh selayaknya bayi pada umumnya.
Situasi menjadi semakin buruk tatkala orang-orang di sekitarnya, terutama suami, yang seharusnya mendukung justru lebih banyak menuntut: harus jadi ibu yang baik, harus jadi istri sholehah, harus menjadi anak dan mantu yang berbakti, dan hal-hal yang lain. Jika seperti ini, maka deperesi tak dapat dihindarkan. Pada titik ekstrem, ibu justru menaruh kebencian yang tinggi pada anak yang baru dilahirkannya karena menganggap bahwa kesulitan yang ia alami bertubi-tubi datang disebabkan oleh kehadirannya.
Bahkan dalam keadaan yang terburuk, tak jarang berakhir dengan mengakhiri hidup anak kandungnya sendiri seperti banyak diberitakan. Sebagian besar berita mem-framming perilaku sang ibu: seolah-olah ia seorang ibu yang tidak cakap dan tak bermoral. Masyarakat menyebutnya sebagai ibu yang kurang iman dan kurang dekat dengan Tuhan. Pun dalam keadaan yang sangat terpuruk, tetap perempuan yang disalahkan. Bagaimana dengan tanggung jawab orang-orang di sekitarnya.
Benarkah Baby Blues Syndrome disebabkan karena kurangnya iman
Al-Quran memperkenalkan istilah jiwa yang tenang (an-nafsu al-muthmainnah), sementara Al-hadits menyebut kata al-fithrah. Keduanya adalah syarat bagi kesehatan mental yang harus dimiliki seorang muslim. Hidup dengan jiwa yang tenang harus berdasarkan fitrah yang telah diberikan oleh Allah yaitu akidah tauhid. Tentu saja fitrah ini membutuhkan sesuatu yang memeliharanya dan membuatnya tumbuh menjadi lebih baik.
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Tirmidzi, ketenangan jiwa akan bisa diraih jika seseorang merasa aman, percaya pada diri sendiri, teguh pendirian, dan mendapat kasih sayang dari lingkungan sekitar. Di sisi yang lain, Al-Farabi, ilmuwan dan filsuf klasik muslim, memperkenalkan konsep kesehatan mental yang berkaitan dengan daya fantasi. Jika daya fantasi pada seseorang sangat kuat, tidak disibukkan dengan hal-hal inderawi yang masuk ke dalamnya melalui indera, serta tidak sedang melayani daya rasional, maka ia bisa mengkhayalkan segala hal yang diberikan akal aktif melalui peniruannya terhadap hal-hal yang bersifat inderawi dan terlihat. Kemudian ia membuat sketsa untuk objek inderawi itu di dalam daya penginderaan.
Baik Al-Quran, hadits, maupun filsuf muslim sepakat bahwa kondisi kesehatan mental dan jiwa seseorang juga dipengaruhi oleh bagaimana perlakuan dari orang sekitarnya. Kesehatan jiwa dalam Islam tidak hanya didapatkan dari internal individu tersebut, namun juga dipengaruhi oleh kehidupan orang-orang di sekelilingnya. Sekokoh apapun keimanan seseorang akan Tuhannya, jiwanya akan rapuh karena tidak percaya pada diri sendiri, dan merasa tidak aman di lingkungan terdekatnya. Kondisi seperti ini yang akan membuat mentalnya terganggu.
Seberapa khusu’nya seseorang beribadah, namun jika setiap hari mendapatkan penghakiman dan penghinaan yang masuk ke inderanya, merasuk ke dalam diri, dan menjadi sugesti akan “ketidakmampuannya”, pada akhirnya akal fiktif akan mengambil alih perannya dan melakukan hal-hal yang melampaui batas.
Stigma bahwa Baby Blues Syndrome adalah akibat dari lemahnya iman harus segera diakhiri. Semua perempuan memiliki potensi untuk terkena Baby Blues Syndrome. Seorang ibu yang baru melahirkan memerlukan apresiasi dan dukungan. Berhenti menghakimi situasinya, dan perhatikan apa yang ia rasakan.
Salah satu cara yang paling mudah dapat kita mulai dari diri kita sendiri, yaitu dengan menghindari kata-kata yang cenderung memojokkan seperti: “kok gitu sih? Harusnya gini lho.”
Editor: Rangga AgnibayaGambar ilustrasi diambil dari https://www.halodoc.com/kesehatan/sindrom-baby-blues
Tags
Perempuan dan Gender