Pakaian Lebaran: Penanda Identitas Sosial dan Gaya Hidup Zero Waste

 



Oleh: Ibnu Hasyim*

Lebaran: Pakaian Baru. Fakta tersebut seolah menjadi tradisi penting bagi umat Muslim di Indonesia. Pasar tradisional, pusat perbelanjaan modern, hingga platform e-commerce berlomba menawarkan promosi pakaian yang menarik digunakan saat Hari Raya Idul Fitri.

Pada awalnya, pakaian lebih berfungsi sebagai pelindung tubuh manusia dari panasnya siang dan dinginnya malam, serta pelindung tubuh dari segala kotoran. Namun seiring meningkatnya peradaban manusia, fungsi pakaian tidak hanya sebagai kebutuhan manusia, tetapi juga memiliki fungsi sosial. Dengan kata lain, pakaian dapat pula disebut sebagai sebuah ekspresi budaya manusia. Tradisi mengenakan pakaian baru saat lebaran menunjukkan bagaimana pakaian menjadi bagian dari dinamika sosial yang lebih luas, termasuk dalam aspek ekonomi dan gaya hidup. Di balik kemeriahan perayaan ini, muncul pertentangan antara melestarikan tradisi dan risiko terjerumus dalam perilaku konsumtif yang berlebihan.

Diriwayatkan dari Al-Hasan bin Ali RA, beliau berkata:

“Rasulullah SAW telah memerintahkan kami pada dua hari raya agar memakai pakaian terbaik yang kami temukan.” (HR Al-Baihaqi dan Al-Hakim)

Dalam hadis tersebut, Rasulullah SAW menganjurkan umat Muslim untuk mengenakan pakaian terbaiknya saat merayakan hari raya. Pakaian terbaik dalam konteks ini bukan secara khusus mengharuskan pakaian baru. Makna hakiki “baju lebaran” dalam Islam sesungguhnya adalah mengenakan pakaian terbaik yang dimiliki saat itu. Namun, seiring perkembangan zaman, filosofi ini perlahan terkikis dan bergeser menjadi perilaku konsumtif. Sebagaimana ditegaskan dalam studi tentang masyarakat konsumtif, “konsumsi telah berevolusi dari sekadar pemenuhan kebutuhan dasar dan fungsional menjadi sebuah budaya dan sistem nilai dalam masyarakat modern”. Pergeseran ini terlihat jelas dalam fenomena pakaian lebaran, di mana saat ini masyarakat berlomba membeli pakaian lebaran bermerek terkenal atau mengikuti trend terkini tanpa mempertimbangkan kebutuhan sebenarnya dan kemampuan finansial mereka. Bahkan, tidak jarang harga yang dibayarkan untuk pakaian tersebut sangat tidak masuk akal. Akibatnya, pengeluaran menjadi membengkak dan seringkali terjerumus ke dalam hutang. Yang lebih memprihatinkan, banyak pakaian yang hanya dikenakan sekali saat hari raya kemudian terlupakan begitu saja di dalam lemari.


Pakaian Lebaran Penanda Indentitas Sosial

Fenomena lebaran di Indonesia menunjukkan adanya pergeseran makna yang signifikan dalam tradisi berpakaian: dari yang awalnya bernilai spiritual dan sederhana, kini berubah menjadi ajang pamer status sosial dan kemapanan ekonomi. Hal ini sejalan dengan pandangan sosiolog Amerika, T.B. Veblen, yang menyatakan bahwa kelas-kelas sosial menggunakan konsumsi berlebihan untuk membedakan diri dalam hierarki sosial, sementara kelas-kelas bawah berusaha meniru tingkatan di atas mereka.

Jean Baudrillard, filusuf Perancis, juga menegaskan bahwa dalam masyarakat konsumsi, objek tidak lagi sekadar memiliki nilai guna, tetapi telah bertransformasi menjadi tanda atau simbol status. Dalam konteks Lebaran di Indonesia, pakaian tidak lagi hanya berfungsi sebagai busana penanda kesucian hari raya, tetapi telah menjadi medium untuk menunjukkan identitas sosial. Hal ini tidak hanya berdampak pada kondisi keuangan pribadi, tetapi juga berkontribusi pada permasalahan lingkungan mengingat industri fashion terkenal sebagai penyumbang polusi terbesar kedua di dunia. Siklus trend fashion yang semakin cepat mendorong produksi massal pakaian dengan kualitas rendah yang cepat dibuang. Alhasil, limbah tekstil menumpuk dan mencemari lingkungan.

Gaya Hidup Zero Waste

Untuk mengatasi fenomena pergeseran makna dalam tradisi berpakaian saat Lebaran agar tidak terjebak dalam sikap konsumtif yang berlebihan, masyarakat perlu mengubah pola pikir dalam menyikapi kebutuhan berbusana di hari raya. Memahami bahwa esensi dari mengenakan pakaian terbaik saat lebaran bukan berarti harus membeli yang baru, melainkan memakai pakaian yang bersih, rapi, dan pantas, sudah cukup untuk menanamkan nilai kesederhanaan dalam perayaan Idul Fitri.

Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah dengan memanfaatkan kembali pakaian yang sudah dimiliki, langkah tersebut selaras dengan konsep “reuse” dalam prinsip 5R gaya hidup zero waste yang menekankan penggunaan kembali barang yang telah dipakai agar tidak cepat berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Zero waste merupakan cara untuk meminimalisir penggunaan produk sekali pakai dan menggunakan produk yang pemakaiannya lebih lama. Sebagaimana dijelaskan dalam studi lingkungan, gaya hidup zero waste merupakan bentuk penyadaran yang muncul dari individu akan pentingnya merawat alam yang menjadi tempat hidup sehari-hari. Banyak pakaian yang sebenarnya masih dalam kondisi baik dan layak pakai, hanya saja sering kali tersingkir oleh keinginan untuk membeli yang baru. Dengan merawat dan memadupadankan pakaian lama, seseorang tetap bisa tampil menarik tanpa harus mengeluarkan biaya tambahan yang besar.

Memilih pakaian berkualitas dan tahan lama juga membantu mengurangi kebiasaan belanja berlebihan dan apabila ingin memiliki pakaian baru, sebaiknya pakaian lama yang masih layak diberikan kepada mereka yang membutuhkan. Selain mengurangi limbah tekstil, tindakan ini juga mencerminkan kepedulian sosial, sejalan dengan semangat Idul Fitri.

Maka, penting bagi setiap individu untuk menyadari bahwa lebaran bukan tentang perlombaan dalam hal berpakaian atau menunjukkan kemapanan, tetapi lebih kepada merayakan kemenangan spiritual setelah menjalani ibadah puasa selama sebulan penuh. Memahami makna ini akan membantu mengembalikan tradisi mengenakan pakaian terbaik ke esensi yang sebenarnya, yakni kesederhanaan, kebersihan, dan kepantasan. Perayaan Idul Fitri seharusnya menjadi momen untuk mensyukuri apa yang telah dimiliki, bukan untuk berlebihan dalam berbelanja hingga melupakan nilai-nilai spiritual. Sikap bijak dalam berpakaian tidak hanya membantu menjaga keuangan dan kelestarian lingkungan, tetapi juga memperkuat nilai-nilai spiritual yang menjadi inti dari perayaan Idul Fitri.

*Mahasiswa Tadris Bahasa Indonesia IAIN Ponorogo

Editor: Rangga Agnibaya

Referensi:

1. Konsumsi Menuju Konstruksi Masyarakat Konsumtif, M. Chairul Basrun Umanailo dkk, https://journal.trunojoyo.ac.id/simulacra/article/view/4995.

2. Penerapan Gaya Hidup Zero Waste Sebagai Upaya Penyelamatan Lingkungan

Di Indonesia, Kartini Rustan dkk, https://www.publish.ojs-indonesia.com/index.php/SIBATIK/article/view/887.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak