Rocky Gerung: Waktu Senggang Yang Menghasilkan Artes Liberales

 


Oleh: Rangga Agnibaya
Dosen FTIK IAIN Ponorogo


Hari ini ketika kita berbicara tentang ‘waktu senggang’, ‘waktu luang’, atau mungkin ‘wektu selo’ dalam bahasa Jawa, maka yang terlintas dalam benak adalah hal-hal yang berkaitan dengan kesenangan, konsumsi, dan kenikmatan. Tiga kata yang masih bersifat umum tersebut (kesenangan, kunsumsi, kenikamatan), jika diwujudkan dalam konsep yang lebih bersifat konkret, maka akan ditemui konsep-konsep seperti wisata, healing, touring, belanja, mall, spa, bioskop, dan berbagai hal yang secara substansi berlawanan dengan aktivitas bekerja. Konsep-konsep tersebut merupakan perwujudan dari keinginan untuk lepas dari kepenatan yang dihasilkan oleh aktivitas bekerja, baik secara fisik maupun mental.

Waktu senggang dalam pemahaman umum merupakan aktivitas yang disengaja sebagai antogonis (lawan) dari aktivitas bekerja. Maka, waktu senggang semacam ini eksistensinya tergantung dari eksistensi konsep lain, yakni ‘bekerja’. Waktu senggang dalam pandangan mainstream adalah ‘waktu lain’ yang diadakan sekadar untuk berbeda dengan ‘waktu bekerja’. Lebih jauh lagi, bahkan waktu senggang berkait erat dengan kemalasan (laziness).

Dalam buku Kebudayaan dan Waktu Senggang karya Fransiskus Simon yang membahas pemikiran Joseph Pieper dijelaskan bahwa waktu senggang adalah suatu waktu yang tidak harus dipertentangkan dengan “waktu bekerja”. Pandangan umum yang mempertentangkan konsep waktu senggang dan aktivitas bekerja, menurut Pieper, dilandasi pemahaman atas pengertian ‘bekerja’ sebagai kegiatan yang memadukan beberapa hal, seperti ketegangan pikiran, kesediaan untuk menderita, dan kesiapan menjadikan aktivitas bekerja sebagai media merengkuh makna terdalam dari kehidupan. Jika ketiga indikator tersebut yang dijadikan dasar dalam memahami aktivitas bekerja, maka tidak mengherankan apabila waktu senggang lekat dengan kemalasan (laziness).

Kerja Sebagai Aktivitas Natural Manusia

Sejarah peradaban manusia yang terentang jauh ke belakang mencatat bahwa manusia tak pernah terpisah dari praktik ‘bekerja’.[1] Bekerja menjadi bagian tidak terpisahkan dari sepak terjang manusia menjalani kehidupannya. Beberapa analisis sosial dari para pemikir bahkan mengklaim bahwa bekerja merupakan aktivitas natural manusia yang menjadi dasar fundamental untuk eksistensinya.

Karl Marx, misalnya, filusuf yang memproklamirkan Manifesto Komunisme bersama Fredrich Engels tersebut menganggap aktivitas kerja merupakan penanda perbedaan antara manusia dengan hewan. Jika hewan ‘bekerja’ berdasarkan dorongan-dorongan instingnya untuk sekadar mempertahankan hidupnya, sebaliknya manusia bekerja dalam rangka mewujudkan ide-ide yang ada di dalam benaknya. Marx memberikan analogi dengan membandingkan cara kerja laba-laba dengan seorang arsitek. Jika laba-laba membangun tempat tingggalnya yang rumit secara spontan dan dipandu instingnya, sebaliknya seorang arsitek, yang paling bodoh sekalipun, membangun bangunan berdasarkan konsep dan ide yang ada di dalam benaknya. Dengan demikian, di akhir pembangunan, sang arsitek dapat melakukan evaluasi terhadap apa yang telah dikerjakan: sudah sesuai atau belum dengan konsep atau ide awal yang ada di kepalanya; lebih baik atau lebih buruk dari konsep awal yang ada di benaknya; dan seterusnya. Hal ini yang menyebabkan manusia atau arsitek dapat melakukan revisi dan perbaikan. Revisi dan perbaikan yang dilakukan tersebut menjadi dasar berkembangnya kebudayaan manusia. Fakta ini yang tidak dapat ditemui di dunia hewan.

Selain Marx, Joseph Pieper juga memiliki pandangan terkait aktivitas kerja ala manusia[2]. Pieper menganggap bahwa hari ini “kerja” telah dikultuskan secara ekstrem. Bekerja akhirnya setara dengan berdoa. Orang yang tidak bekerja dekat dengan dosa. Pengkultusan kerja ini yang menyebabkan dehumanisasi di segala bidang kehidupan, di mana manusia jauh dari fitrahnya sebagai manusia. Kerja bukan lagi sarana ekspresi eksistensi manusia yang bernilai sakral. Dalam bekerja, manusia terjebak pada rutinitas, otomatisasi, dan mekanisasi.

Jika menggunakan perspektif Pieper tentang kerja, maka makna kehidupan manusia adalah kerja total. Manusia seperti mitos Sisifus pada zaman Yunani kuno: bekerja tanpa tahu apa maknanya, namun demikian terus dilakukan. Berangkat kerja ke kantor merupakan aktivitas menggugurkan kewajiban semata.

Rocky Gerung: Waktu Senggang dan Artes Liberales

Waktu senggang bagi Pieper merupakan sebuah “jeda” yang menitikberatkan pada laku-sikap kontemplatif, imajinatif, dan penggunaan daya kognitif. Jika digunakan penjelasan yang lebih sederhana, waktu senggang merupakan aktivitas memanfaatkan ‘jeda’ untuk kegiatan intelektual. Di sisi yang lain, ia sekaligus aktivitas menyelami spiritualitas.

Beberapa waktu belakangan, khususnya sepuluh tahun terakhir, kita melihat dan akrab dengan sepak terjang Rocky Gerung. Ahli filsafat yang kerap muncul dalam acara-acara talk show politik dan kajian sosial-budaya tersebut seolah tidak pernah lelah memberikan pandangan-pandangan kritis, bahkan cenderung dekonstruktif, terhadap berbagai fenomena sosial yang tengah terjadi di masyarakat. Lebih jauh, Rocky bahkan gemar menguliti habis kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggapnya tidak tepat. Ia seperti pendekar mabuk yang menghantam siapa saja yang dianggap sesat berpikir, tidak rasional, dan anti-akal sehat. Rocky menyebut pihak-pihak tersebut sebagai “Dungu”. Dalam realitas kita hari ini, sosok Rocky Gerung mungkin dapat dijadikan contoh bagaimana seseorang mengakrabi waktu senggang. Daya kritis yang dimiliki oleh Rocky Gerung, kegemarannya dalam berdialektika, serta kemampuannya dalam berbicara (retorika), menjadikannya seseorang dengan kemampuan yang dalam masa Yunani Kuno disebut dengan Artes Liberales.[3]

Artes Liberales sendiri dalam masa Yunani Kuno merupakan kemampuan yang membedakan antara seorang budak dan orang merdeka. Artes Liberales berasal dari pemikiran Aristoteles dalam bukunya Metaphysics yang kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Filsuf Thomas Aquinas. Kurikulum Artes Liberales mengajarkan kemampuan atau keterampilan-keterampilan penting yang hanya dapat diberikan kepada orang-orang merdeka. Kurikulum ini sering dihadap-hadapkan dengan kurikulum Artes Serviles, yakni keterampilan-keterampilan yang hanya dapat diberikan kepada para budak. Jika suatu pekerjaan atau aktivitas dalam konteks artes liberales dihargai dengan penghormatan, sebaliknya aktivitas dalam rangka artes serviles dihargai dengan materi atau upah. Penghormatan yang diperoleh dari artes liberales lebih menghadirkan kepuasan jiwa, sedangkan penghargaan materi yang diperoleh dari artes serviles terkait dengan kepuasan ragawi semata. Rocky Gerung sendiri mengaku pernah mengajar di Universitas Indoneia (UI) sebagai dosen tanpa mengharap upah sama sekali.

Waktu senggang ala Joseph Pieper yang identik dengan aktivitas kontemplatif, imajinatif, kognitif dan terwujud dalam praktik intelektual dapat disebut juga sebagai salah satu bentuk artes liberales. Maka, apa yang dilakukan oleh Rocky Gerung dalam konteks aktivitas kritisnya dapat dikatakan sebagai keterampilan dalam arti artes liberales. Aktivitasnya berdialektika, melakukan tafsir sosial atas fenomena di masyarakat, dan mengevaluasi tata nilai mapan yang dianggap merugikan masyarakat merupakan kemampuan dalam konteks artes liberales, seperti orang-orang merdeka zaman Yunani Kuno yang kerap berkontemplasi dan berdiskusi untuk mengisi waktu. Para budak zaman itu tidak punya waktu untuk aktivitas semacam itu, dan sudah tentu tidak memiliki keterampilan dalam arti artes liberales. Mereka hanya memiliki kemampuan artes serviles, yakni keterampilan kasar yang mengandalkan otot daripada otak.

Yang manakah Kita.


[1] Untuk memahami konsep Kerja menurut Karl Marx baca buku: Kapital karya Karl Marx; Pemikiran Karl Marx karya Franz Magnis-Suseno; Karl Marx, Revolusi, dan Sosialisme karya Ken Budha Kusumandaru, dll.

[2] Fransiskus Simon, terutama halaman 62

[3] Fransiskus Simon, 91-94


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak