Oleh: Dhika PuspitasariDosen Linguistik PBSI Universitas PGRI Madiun
Masalah yang sering dialami setiap orang yang hendak menulis adalah: Bagaimana saya harus memulai tulisan saya. Pada beberapa kasus situasi ini didorong oleh setidaknya dua faktor. Eko Endarmoko, penulis Kamus Tesaurus Bahasa Indonesia, dalam Polisi Bahasa: Tentang Peran Penutur Yang Absen menyebutkan faktor tersebut adalah: pertama, orang takut tidak dapat menyampaikan pesan yang ingin disampaikan dengan baik. Bisa jadi pesan tersebut ditangkap secara keliru, atau bahkan tidak dapat dipahami sama sekali. Faktor kedua ialah rasa takut karena tidak mampu menerapkan kaidah bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Dalam konteks penerapan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar, dijumpai beberapa orang atau pihak menjadikan hal tersebut sebagai alasan untuk mengurungkan niat menulisnya. Batal menulis karena takut tidak sesuai dengan kaidah yang baik dan benar. Hal ini sungguh sangat disayangkan.
Di sisi yang lain, Eko mengkritik pihak-pihak yang tetap melanjutkan menulis tapi tanpa mengindahkan kaidah yang tepat. Sikap untuk tetap melanjutkan menulis meski belum terlalu paham tentang kaidah yang berlaku merupakan satu langkah yang tepat, namun juga harus disertai keinginan dan komitmen untuk mengakrabi, mencari tahu, dan mempelajari kaidah-kaidah yang baku. Menulis harus tetap lanjut, tapi juga harus memahami kaidah.
Pada ruang lingkup penulisan karya sastra, misalnya, penulis kadang bersembunyi di balik konsep Licentia Poetica. Konsep ini memberikan kuasa penuh kepada penulis tentang bagaimana memperlakukan bahasa. Dengan konsep tersebut tidak mengherankan jika ditemui penggunaan bahasa yang tidak tepat atau bahkan nyeleneh, khususnya dalam bentuk puisi-puisi abstrak dan absurd. Dalam pandangan Eko, sah-sah saja hal tersebut terjadi dalam konteks sastra, namun idealnya penulis terlebih dulu harus memahami bentuk bakunya sebelum memodifikasi menjadi tidak beraturan demi memunculkan nilai sastra.
Eko berseloroh bahwa para penulis sebenarnya tidak perlu merasa khawatir terhadap “momok” kaidah ini, toh ekosistem pembaca kita juga tidak terlalu peduli terhadap pelaksanaan kaidah dalam sebuah tulisan. Tidak terlalu menjadi masalah apakah nanti yang tertulis sate atau satai, orangtua atau orang-tua atau orang tua, obyek atau objek, dan seterusnya. Bagi Eko, pemakluman-pemakluman “kecil” ini yang akhirnya menyuburkan kebiasaan buruk di kalangan penulis. Jargon naif yang berkembang adalah, “Kan yang penting orang paham dan mengerti yang dimaksud.”
Bahasa merupakan penanda identitas, maka sudah sepatutnya kaidah atau aturan dalam berbahasa menjadi aspek penting yang harus selalu dipertimbangkan dalam menulis. Semoga kaidah bahasa tidak lagi menjadi momok bagi para penulis atau calon penulis. Memahami kaidah merupakan salah satu bentuk sikap rasa bangga terhadap bahasa kita sendiri.
Editor: Rangga Agnibaya
Tags
Bahasa