Patriarki Tak Mengenal Jenis Kelamin

 


Oleh: Lutfiana Dwi Mayasari

Dosen FTIK IAIN Ponorogo

Penulis Esai isu-isu Perempuan dan Gender

Sejalan dengan semakin menguatnya gerakan perempuan untuk kesetaraan, isu patriarki kerap mewarnai dialektika di dalamnya. Suatu budaya di mana laki-laki dianggap lebih superior dibanding perempuan di segala lini dan bidang. Laki-laki ditempatkan sebagai subjek dalam sistem sosial, sedang perempuan diperlakukan sebagai objek.

Dampak patriarki secara historis adalah perempuan acapkali mendapat perlakukan yang tidak manusiawi.  Pada masa peradaban Yunani, menurut Syekh Mahmudunnasir (2006), perempuan hanya menjadi pelengkap kehidupan laki-laki. Hanya menjadi simpanan petinggi istana dan tempat pelampiasan hawa nafsu, misalnya. Perempuan bisa diperjualbelikan dan diserahkan kepemilikannya kepada orang lain menggunakan wasiat. Posisinya sebagai masyarakat kelas dua dianggap najis dan kotoran sehingga tidak memiliki kuasa atas kepemilikan harta dan pusaka.

Marjinalisasi perempuan di segala bidang ini juga dilakukan oleh tokoh-tokoh pemikir besar di masa Yunani kuno, seperti Plato dan Aristoteles. Salah satu teori yang berkembang saat itu menyatakan bahwa idealitas laki-laki ditentukan dari kemampuannya dalam memerintah. Semakin banyak negara yang ditaklukkan, semakin banyak perempuan yang ditundukkan. Dan semakin banyak penjajahan yang ia lakukan, maka akan semakin meneguhkan idealitas laki-laki.

Berlanjut pada peradaban Romawi. Fatimah Umar Nasir dalam bukunya menjelaskan bahwa peradaban Romawi secara resmi mencabut dan menghilangkan hak sipil bagi kaum perempuan. Harta yang perempuan dapatkan adalah hak keluarga laki-laki, meskipun ia yang berkerja. Perempuan diberlakukan sebagai objek semata. Konsekuensi yang terjadi adalah sang ayah akan meminta sejumlah uang kepada laki-laki yang akan melamarnya sebagai uang pengganti.

Karena suami sudah merasa membeli, maka istri harus mengerjakan segala yang diminta suaminya. Dan setelah suami meninggal, istri juga tidak berhak atas harta yang ditinggalkan. Harta suami akan jatuh ke anak laki-laki. Jika tidak memiliki anak laki-laki, diberikan kepada saudara laki-laki ayah. Fenomena historis tersebut merupakan sejarah kelam bagi perempuan, hingga datangnya agama Islam dengan menyuarakan kesetaraan. Islam engeluarkan perempuan dari lembah kehinaan sebagai masyarakat kelas dua, dan memperjuangkan kediriannya sebagai manusia.

Perubahan dimensi patriarki: dari sikap menjadi mental

Menentang budaya patriarki adalah bentuk dari implementasi syariat Islam sesuai dengan amanah dalam al-Quran dan al-Hadits. Namun demikian, meskipun ayat-ayat kesetaraan menjadi salah satu spirit perjuangan Islam, ideologi patriarki tampaknya telah tersemat kuat, dipelihara, dan disimpan secara rapat di dalam tubuh masyarakat. 

Marjinalisasi dan pemiskinan ekonomi, pembatasan akses pendidikan, stereotipe peyoratif, kewajiban perempuan untuk tunduk pada gender lain dianggap sebagai kelaziman yang memang sudah selayaknya demikian. Perempuan diposisikan seolah tak ada lagi yang harus diperjuangkan selain hanya menerima kenyataan bahwa ia memang ditakdirkan menjadi masyarkat kelas dua. Kita dipaksa kembali ke masa kelam perempuan pada masa Yunani kuno hingga Arab jahiliyah.

Patriarki pun menunjukkan wajah barunya. Ia tak hanya sebagai sebuah ideologi dan perilaku, namun berubah menjadi sebuah mental. Mental untuk menindas dan mental untuk menerima ketertindasan, sehingga hari ini patriarki tak hanya menjangkiti laki-laki, namun juga menyerang perempuan. 

Perempuan dengan penuh kesadaran mengubah penampilan dan kepribadiannya  menjadi cantik di mata laki-laki. Hal tersebut bertujuan untuk menarik perhatian agar dinikahi. Situasi ini diperumit oleh anggapan bahwa perempuan akan hina jika tidak menikah. Fase selanjutnya dari posisi inferior perempuan adalah memberikan pengabdian totalitas untuk laki-laki, serta menyerahkan seluruh jiwa dan raga tanpa syarat, menjadi mesin reproduksi, pemuas kebutuhan seksualitas laki-laki tanpa kompromi. 

Ibarat mata rantai yang tak pernah putus, pola pendidikan dan pengasuhan bermental patriarkis akan dilanjutkan pada generasi penerusnya. Ibu akan memprioritaskan kebutuhan anak laki-laki di atas anak perempuan, memberikan akses pendidikan yang lebih baik, mendidik dengan maskulinitasnya. Di sisi yang lain, perempuan dikonstruk dan dididik di bawah bayang-bayang saudara laki-laki, didomestikasi, dan dikebiri kebebasannya.

Maskulinitas Kebijakan dan Tafsir Berperspektif Laki-Laki

Salah satu penyebab menjamurnya mental patriarki bagi laki-laki dan perempuan adalah kebijakan hukum perkawinan yang tidak ramah gender. UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 menempatkan laki-laki sebagai kepala rumah tangga, dan perempuan sebagai pengurus rumah tangga. Superioritas laki-laki dibentuk oleh regulasi yang menghendaki demikian, sehingga suami sebagai kepala rumah tangga fokus pada pemenuhan nafkah, dan istri sebagai penyenang, penenang, dan pelengkap kebahagiaan laki-laki.

Pun jika perempuan harus berkiprah di ranah publik, kewajiban domestik tetap akan melekat pada dirinya. Bahkan jika ia mencukupi nafkah lahiriyah sekalipun, tetap posisinya bukanlah seorang kepala rumah tangga. Lambat laun, mental patrairki semakin menguat dalam jiwa suami maupun istri. Peran suami semakin dominan, dan istri akan menerima ketertindasannya dengan lapang dada.

Beberapa hal juga memperteguh ideologi patriarki. Bidang tafsir, misalnya. Banyak teks keagamaan yang dimaknai menggunakan kacamata laki-laki, sehingga tidak menyentuh pengalaman perempuan secara konkret. Doktrin untuk terus melayani suami karena perempuan adalah ladang laki-laki tidak diiringi dengan kajian mengenai kondisi psikologis dan sosial perempuan. Perempuan terus didoktrin untuk terus melayani meskipun harus mengorbankan kebahagiannya. 

Naskah-naskah yang berperspektif perempuan masih sangat jarang ditemui dalam khazanah pemikiran Islam, sehingga revolusi kemanusiaan perempuan yang dibawa oleh Nabi Muhammad pun kian memudar. Hal ini disebabkan karena kurangnya akses perempuan di bidang penafsiran al-Quran dan penetapan hukum (fiqh). Islam membawa misi memanusiakan perempuan, maka perempuan harus diberlakukan selayaknya manusia. Ketaatannya pada Allah adalah satu-satunya idealitas muslim, dan bukan karena jenis kelaminnya, sukunya, ataupun rasnya. Segala diskriminasi berbasis gender sebagaimana dialami perempuan di masa pra Islam maupun di masa-masa sebelumnya harus dihilangkan.

Maka, melihat perubahan dimensi patriarki dari ideologi menuju mental yang menjangkiti semua jenis kelamin, diperlukan sinergitas perempuan untuk memperjuangkan kembali misi pemanusiaan perempuan sebagaimana dilakukan oleh Nabi Muhammad. Memang bukan hal yang mudah. Misi yang dibawa oleh Nabi Muhammad semenjak abad ke-6 masehi tersebut nyatanya masih terus berproses dan belum mencapai garis final bahkan hingga detik ini.

Cara untuk menghilangkan patriarki dimulai dari membangun kesadaran perempuan untuk tidak menerima diskriminasi, inferioritas, dan ketertindasan sebagai kodrat. Perempuan harus banyak menyuarakan pendapatnya di wilayah publik dan meningkatkan kehambaannya kepada Allah Sang Khaliq, bukan kepada makhluk. Ketertundukan istri atas suami harus didasari misi ketaatan pada Allah SWT. Apa yang menjadi tujuan kebahagiaan dalam keluarga harus dicapai bersama-sama tanpa harus ada pihak yang berkorban penderitaan.  

Editor: Rangga Agnibaya

*Gambar Ilustrasi diambil dari https://eranasional.com/28822/fenomena-patriarki-terhadap-kaum-wanita-masih-marak-terjadi

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak