Oleh: Khaidarullah
Dosen Filsafat Hukum Islam IAIN Ponorogo
Menjadi manusia, menjadi hamba. Sebuah ungkapan yang mengandung pemahaman mendalam tentang eksistensi kita. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali melihat manusia sebagai individu yang berdiri di puncak hierarki alam semesta. Dengan akal dan kekuatan sebagai alat untuk menguasai entitas lain dengan semena-mena maka yang ada hanya relasi subjek-objek semata, sehingga eksploitasi bisa terjadi dimana-mana. Kita juga melihat geliat saintisme ekstrim yang menihilkan apa-apa yang transenden. Bahkan tiada tempat lagi bagi nalar-nalar religius sebagai sumber moral.
Namun, di bulan suci ini, di tengah momen refleksi dan spiritualitas, kita diingatkan kembali akan esensi sejati kita: bahwa pada hakikatnya kita adalah hamba. Kata Fahrudin Faiz, dalam Menjadi Manusia, Menjadi Hamba, sikap ini mengajak kita untuk memahami bahwa manusia, dengan segala kecerdasannya, tetap harus memberi label dirinya sebagai hamba. Menjadi hamba berarti menyadari bahwa meskipun kita diberi akal dan kemampuan untuk berpikir, kita tetap berada dalam kekuasaan Tuhan, sebagai ciptaan-Nya yang terbatas. Tidak ada jalan untuk melarikan diri dari kenyataan ini.
Menengok sejarah pemikiran filsafat abad pertengahan, baik dalam tradisi Kristen maupun Islam, dari Thomas Aquinas hingga Al-Ghazali, kita mengetahui bahwa ada usaha untuk mendialogkan posisi agama dan nalar manusia. Tentu saja, terdapat perdebatan panjang menyoal realitas tersebut, baik itu yang fisik atau metafisik, karena agama berbasis wahyu, sementara yang lainnya berbasis pada rasio. Oleh sebab itu, menjadi pelik ketika konsep "puasa" ini dibawa ke dalam ranah perdebatan tersebut. Namun, tujuan mereka bukan untuk menegasi satu sama lain, melainkan untuk mempertegas satu kesadaran: bahwa pada akhirnya, kita adalah hamba yang harus tunduk kepada Pencipta dengan segala konsekuensinya.
Thomas Aquinas (1225-1274 M), filsuf Kristen terkemuka, berpendapat bahwa nalar manusia, meskipun canggih, memiliki batas. Ia mengatakan, “Dengan nalar manusia kita bisa mengetahui banyak hal tentang dunia ini, tetapi ada hal-hal yang hanya dapat dipahami dengan wahyu Tuhan.” Aquinas, dalam banyak tulisannya, mengakui bahwa ada ketidaksempurnaan dalam kemampuan akal manusia. Ia menyatakan bahwa meskipun manusia dapat memahami hukum-hukum alam semesta, hakikat yang lebih tinggi—yakni penciptaan dan eksistensi itu sendiri—tidak akan pernah bisa sepenuhnya dicapai melalui pemikiran rasional semata.
Pandangan serupa ditemukan dalam pemikiran Al-Ghazali (1058-1111 M), seorang filsuf Islam yang juga menekankan pentingnya penyerahan diri kepada Tuhan. Al-Ghazali memperingatkan bahwa manusia, meskipun diberi kemampuan intelektual, tetap harus mengakui keterbatasan dalam memahami hakikat Tuhan. Dalam karyanya Tahafut al-Falasifah (Kegagalan Para Filosof), Al-Ghazali menulis, “Ilmu pengetahuan yang sejati adalah pengetahuan yang diperoleh melalui pencarian yang tak terbatas kepada Tuhan.” Al-Ghazali mengajarkan bahwa pada titik tertentu, akal manusia akan menemui jalan buntu. Maka, saat itulah agama menjadi sumber pencerahan yang membawa manusia kembali pada Tuhan.
Kedua pemikir besar ini, meskipun berasal dari tradisi yang berbeda, memiliki pemahaman yang serupa tentang keterbatasan nalar manusia dan pentingnya agama dalam memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang tak terjangkau oleh akal. Keduanya mengajarkan bahwa pada suatu titik, ketika nalar manusia mentok, agama datang untuk memberikan pencerahan dan membuka pintu menuju pemahaman yang lebih tinggi tentang hakikat kehidupan, dan bukan sebagai "the Weapons of the Weak"-nya James C. Scott, atau "Opium" dalam konteks Marxian. Tentu, hakikat puasa ini memiliki dimensi dan spirit yang mendalam untuk kehidupan manusia.
Filosofi kehambaan ini mengajarkan kita untuk merasa rendah hati dan penuh sadar. Dalam dunia yang sering kali mengagungkan relativisme ini, konsep kehambaan ini mungkin hanya sekedar konsep jika tidak digali lebih dalam. Namun, justru dalam kesadaran akan kehambaan, kita menemukan kebebasan sejati: kebebasan dari kebanggaan diri yang semu dan kebebasan dari kesombongan yang membuat kita lupa akan asal-usul kita. Seperti yang pernah dikatakan oleh Jalaluddin Rumi, seorang sastrawan dan sufi besar Persia, “Jadilah hamba yang menerima perintah Tuhan, karena dalam tunduk pada-Nya terdapat kebebasan sejati.” Kita mungkin merasa bahwa dengan mengakui kehambaan, kita kehilangan sebagian dari kebebasan. Namun, sebenarnya, kebebasan itu justru ditemukan ketika kita menyerahkan segala sesuatunya kepada Tuhan, serta ketika kita menerima bahwa hidup ini bukanlah tentang kita, tetapi tentang bagaimana kita menjalani hidup dengan penuh kesadaran akan keterbatasan sebagai manusia (askesis).
Alhasil, bulan suci Ramadan ini adalah waktu yang sangat tepat untuk merefleksikan kembali status kehambaan kita. Agama mengajarkan bahwa ada banyak hal yang tidak bisa dipahami hanya dengan berpikir rasional an sich, seperti hal-hal yang bersifat transendental: rahasia puasa, atau entitas metafisik lainnya. Dengan mengingatkan diri akan status kehambaan, meneguhkan pula akan tujuan hidup yang lebih tinggi. Hidup yang berkeutamaan (moral virtues), bukan hidup yang tidak tahu diri dan tidak tahu batas.
Editor: Rangga Agnibaya