Tafsir Al-Quran Carakan dan Narasi Reformisme Muhammadiyah

 

Oleh: Siti Mariatul Kiptiyah
Dosen IAIN Ponorogo
Penulis Buku Warisan Islam Nusantara: Tafsir Al-Quran Carakan dan Narasi Reformisme

Indonesia (dahulu: Nusantara) memiliki sejarah panjang dalam konteks produksi pengetahuan. Salah satunya adalah pengetahuan keislaman yang terus mengalami dinamika dan perkembangan sejak proses Islamisasi, baik dari segi media tulis maupun bentuk dan isinya. Dari segi media tulis, masuknya Islam ke Indonesia membawa peradaban baru bagi perkembangan literasi masyarakat, khususnya dengan terciptanya huruf Pegon (Arab-Jawa/Sunda) dan Jawi (Arab-Melayu). Huruf-huruf ini digunakan untuk menulis teks-teks keislaman, terutama di kalangan pesantren di Jawa (dalam sejumlah kasus termasuk juga Madura) dan Sunda. Adapun huruf Jawi banyak digunakan dalam literasi selain di pesantren dan pemerintahan kerajaan Islam, seperti Aceh dan Sumatra. Tafsir Al-Qur’an tertua Tarjuman al-Mustafid karya Syeikh Abdurra’uf al-Sinkili sekitar abad ke-15/16 misalnya, ditulis menggunakan huruf Jawi (Arab-Melayu).

Pribumi Jawa yang memiliki aksara Carakan (hanacaraka) sebagai media literasi, ketika Islam berkembang di sana, juga menggunakan aksara tersebut untuk menuliskan teks-teks keilmuan Islam. Mereka menerjemahkan teks-teks berbahasa Arab dalam berbagai bidang, menulis ulang versi Carakannya, dan tidak sedikit pula yang memproduksi teks baru dengan merujuk pada teks asli. Uniknya, aksara Carakan hanya terdiri dari 20 huruf dasar, sementara huruf Arab lebih dari itu. Untuk mengatasi hal ini, maka terciptalah huruf rekan yang terdiri dari kha, fa’, dzal, ghain, dan za’ hasil modifikasi huruf dasar dengan menambah tanda-tanda titik tanpa mengubah bentuk aslinya. Bahkan pada perkembangan selanjutnya, muncul transliterasi Arab-Carakan yang mengakomodir secara menyeluruh teks berbahasa Arab untuk diubah menjadi literasi Carakan (hanacaraka).

Qur’an Jawen dan Tafsir Qur’an Jawen Sebagai Produk Nalar Reformis Muhammadiyah

Qur’an Jawen dan Tafsir Qur’an Jawen Pandam lan Pandoming Dumadi adalah dua contoh produk terjemahan dan tafsir Al-Qur’an beraksara Carakan yang diinisiasi oleh organisasi Islam Muhammadiyah. Qur’an Jawen berisi terjemahan Al-Qur’an yang diprakarsai secara kolektif oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah bagian Taman Pustaka Surakarta pada tahun 1927. Adapun Tafsir Qur’an Jawen Pandam lan Pandoming Dumadi diterbitkan oleh A.B. Siti Syamsiyah di Surakarta pada tahun 1928. Selain dari pengarang atau penerbit, identitas kemuhammadiyahan tampak pada halaman sampul masing-masing karya yang memperlihatkan logo Muhammadiyah berupa simbol matahari bersinar.

Di tengah politik bahasa kolonial Belanda yang mengakselerasi penggunaan aksara Latin, pemilihan bahasa Jawa aksara Carakan dalam penulisan karya tafsir Al-Qur’an adalah bagian dari bentuk politik identitas Muhammadiyah awal sebagai intelektual Muslim di lingkungan Keraton. Di sisi lain, terjadi perkembangan tradisi menulis aksara Arab secara massif di pesantren-pesantren dalam menuliskan teks-teks keislaman.

Quran Jawen dalam bahasa Indonesia berarti Al-Qur’an (berbahasa) Jawa. Adapun Tafsir Quran Jawen adalah tafsir Al-Qur’an (berbahasa) Jawa. Secara harfiah, perbedaan judul ini mengarah pada: Quran Jawen sebagai makna dari terjemahan Al-Qur’an, sementara itu Tafsir Quran Jawen merujuk pada penafsiran Al-Qur’an. Kosa kata bahasa Indonesia menyebut "terjemah" yang berarti menyalin (memindahkan) suatu bahasa ke bahasa lain atau mengalihbahasakan, sedangkan tafsir adalah keterangan atau penjelasan atas ayat-ayat Al-Qur’an agar maksudnya lebih mudah dipahami. Dari sini muncul istilah “tafsir harfiah” yaitu tafsir kata demi kata. Dengan demikian, kata “terjemah” dianggap lebih longgar dan bisa digunakan untuk memahami selain Al-Qur’an, sementara kata “tafsir” lebih merepresentasikan pemahaman atas Al-Qur’an.

Metode Tafsir Qur’an Jawen dan Tafsir Qur’an Jawen

Metode tafsir yang digunakan Qur’an Jawen dan Tafsir Qur’an Jawen adalah metode tahlili (analisis). Beberapa hal yang menjadi perhatian metode ini adalah pengertian umum kosa kata ayat, hubungan antar ayat (munasabah), sabab nuzul, makna global, hukum yang dapat ditarik, dan pandangan para ulama madzhab. Qur’an Jawen dan Tafsir Qur’an Jawen juga menerapkan metode intrateks dan interteks. Metode intrateksnya tampak pada ayat-ayat Al-Qur’an yang dirujuk dan diposisikan sebagai pembanding. Model yang demikian ini misalnya dapat ditemukan pada tafsiran Q.9:29 yang dihubungkan dengan Q.2:256 dalam Qur’an Jawen. Model tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an banyak sekali dijumpai di dalam Qur’an Jawen maupun Tafsir Qur’an Jawen. Sementara itu, metode interteks diterapkan pada penafsiran suatu ayat dengan menampilkan sumber lain yang ada di luar teks, seperti hadis, riwayat-riwayat, dan kitab-kitab lainnya yang menjadi sumber rujukan.

Purifikasi dan Pembaharuan Sebagai Landasan Tafsir Dalam Quran Jawen dan Tafsir Quran Jawen

Penafsiran-penafsiran Quran Jawen dan Tafsir Quran Jawen diilhami oleh dua unsur reformisme Muhammadiyah yaitu purifikasi dan pembaruan. Ini tercermin pada pendekatan tafsirnya yang rasional dan kerap menyeru jargon ‘kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis’ dalam memahami ajaran Islam. Selain itu, Tafsir Quran Jawen juga berulang-ulang mengajak berijtihad dalam memahami Al-Qur’an dan Hadis. Konteks kejawaan dan tradisionalisme Islam menjadi isu yang paling memperoleh perhatian yang semakin menunjukkan epistemologi purifikasi dan pembaruan Muhammadiyah sebagai kalangan reformis Jawa. Prinsip penafsiran Quran Jawen dan Tafsir Quran Jawen yang mengutamakan pendekatan rasional ini membawa dirinya pada model tafsir pemikiran yang didasarkan pada kesadaran bahwa dalam konteks bahasa, Al-Qur’an sepenuhnya tidak terlepas dari aspek budaya dan sejarah. Quran Jawen dan Tafsir Quran Jawen berupaya membangun satu gagasan tafsir yang kontekstual.

Pendekatan tafsir rasional salah satunya ditunjukkan pada tafsiran Q.2:3 Tafsir Qur’an Jawen yang mengarah penggunaan akal. “Ing dalem Qur’an boten namung dasanan ayat kemawon ingkang anggegah akal pikiran supados kangge angen-angen sadaya ayating pangeran ingkang sinebar ing dalem alam sufli lan ulwi tuwin ayat ingkang sinerat wonten ing kitab suci Al-Qur’an. Al-Qur’an tansah ngawon-ngawon dhateng para manungsa ingkang remenipun namung mejahi akalipun piyambak sarana taklid, utawi mejahi akalipun ngakathah sarana majibaken ing taklid sami ugi babagan ushul utawi furu’ (piyandel utawi hukum).”

Melalui penjelasan ini, Tafsir Qur’an Jawen menawarkan pemahaman bahwa Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk tidak dapat terbuka petunjuknya tanpa upaya manusia untuk membukanya, yang tentu memerlukan akal sebagai media berpikir. Pemahaman ini selaras dengan beberapa ayat Al-Qur’an yang membeberkan perintah memaksimalkan akal dalam memahami ayat-ayat Allah. Perlunya memanfaatkan potensi akal dengan sebaik-baiknya ini oleh Al-Qur’an disinggung dalam sejumlah istilah seperti al-tażakkur (mengingat), al-tafakkur (berpikir), al-tadabbur (memikirkan), dan al-ta’aqqul (berpikir). Dengan memanfaatkan potensi akal ini, manusia akan mampu menyerap ayat-ayat kauniyah maupun qauliyah.

Selain penggunaan akal, nalar reformis yang menonjol dalam Tafsir Quran Jawen adalah perlawanannya terhadap taklid. Taklid sendiri berarti mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dalil atau hujjah yang digunakannya. Tafsir Quran Jawen merumuskan tiga unsur yang menyebabkan terpeliharanya sikap taklid di kalangan Muslim Jawa, yaitu tokoh panutan, kitab, dan muqallid (pengikut). Ketiganya dikritik karena dianggap bertentangan dengan ijtihad. Ada pula praktik-praktik yang dianggap bidah dan bahkan syirik yang sangat ditentang oleh Tafsir Quran Jawen.

Persoalan taklid misalnya muncul pada tafsiran Q.2:78. “Ayat punika ingkang ambatalakên dhatêng kapitadosan anut grubyuk (taklid) alias ingkang namung tiru-tiru kemawon inggih kapitadosan ingkang kados makatên punika kapitadosan ingkang botên kenging dipun gondheli yêktos.” Kalimat pertama tafsiran di atas menggambarkan satu pemaknaan atas taklid yang dikonstruk oleh Tafsir Qur’an Jawen. Sementara itu, kalimat kedua menunjukkan implikasi dasar dari perbuatan taklid, yaitu tidak dapat dipertanggungjawabkan. Adapun taklid buta didefinisikan sebagai: “Pamanutipun tiyang ingkang wuta manahipun inggih punika manut dhateng satunggaling pamanggih boten nganti mangertosi hujjah utawi dalilipun.

Quran Jawen dan Tafsir Quran Jawen menggambarkan nalar reformis Muhammadiyah yang secara epistemologis sebagai organisasi Muslim reformis Jawa. Penafsiran-penafsirannya menonjolkan aspek purifikasi dan pembaruan dengan pendekatan rasional dan kontekstual yang khas Jawa. Quran Jawen dan Tafsir Quran Jawen menunjukkan reformasi yang sesuai dengan kondisi pra-modern Indonesia. Munculnya Quran Jawen dan Tafsir Quran Jawen merupakan sebuah bentuk upaya diskursif nalar reformis yang tidak selalu identik dengan modernisme Indonesia, melainkan lebih menunjukkan modernisme lokal Jawa.

Editor: Rangga Agnibaya

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak