Makhluk Ontologis: Manusia Pasca Mitos Yang Menolak Kehilangan Emosi

 


Oleh: Putri Ardina Setia Sari
Mahasiswa Tadris Bahasa Indonesia IAIN Ponorogo


C. A. Van Peursen dalam bukunya Strategi Kebudayaan membagi strategi manusia menghadapi dunia dalam tiga tahap: mitos, ontologis, dan fungsional. Masing-masing tahap strategi tersebut mesti dijalani dalam takaran yang proposional, sebab jika diterapkan secara berlebihan akan menjadi sesuatu yang negatif. Pada tulisan ini, tahap ontologis dapat terpeleset menjadi substansialisme.

Seiring dengan perubahan cara berpikir manusia dari mitos ke logika, ontologi berperan penting dalam membantu kita memahami dunia secara lebih rasional. Jika mitos digunakan untuk menjelaskan hal-hal yang sulit dimengerti, pemikiran ontologis memberikan cara pandang yang lebih terstruktur dan logis dalam memahami dunia dan eksistensi. Ontologi tidak hanya membantu kita memahami realitas, tetapi juga membebaskan kita dari aturan dan pandangan yang membatasi cara berpikir dan hidup. Dengan memahami hakikat eksistensi, manusia dapat melihat dunia secara lebih terbuka, kritis, dan bebas, sehingga mampu menjalani kehidupan dengan lebih autentik.

Dalam dunia mitis, manusia hidup dalam ketakutan terhadap kekuatan alam yang tidak dapat dikendalikannya. Manusia mencari cara agar dapat berhubungan dengan kekuatan tersebut, baik melalui ritual maupun cerita tantang asal-usul dunia. Namun dengan seiring berjalannya waktu, manusia mulai berpikir lebih kritis dan mengambil jarak dari dunia sekitarnya. Manusia mulai melihat dan memahami alam serta kehidupannya sendiri yang kemudian melahirkan ilmu pengetahuan dan filsafat.

Ontologi sebagai “praktik pembebasan” berarti menggunakan pemahaman tentang eksistensi untuk melepaskan diri dari batasan sosial, mental, atau eksistensial. Dengan memahami hakikat realitas, manusia dapat melihat dunia dan dirinya sendiri dengan lebih jelas. Kesadaran ini memungkinkan manusia untuk mempertanyakan norma-norma atau struktur yang membatasi potensi manusia, terlebih lagi jika norma atau struktur tersebut bersifat menindas. Dalam ranah sosial, misalnya, dulu banyak masyarakat percaya bahwa status sosial seseorang sudah ditentukan sejak lahir dan tidak bisa diubah. Pemikiran bahwa anak penjahat sudah tentu membawa bakat menjadi penjahat merupakan contoh yang paling kejam. Namun, dengan pemikiran ontologis yang lebih terbuka, kini banyak individu menyadari bahwa identitas dan peran dalam masyarakat tidak bersifat tetap, melainkan dapat dibentuk dan diubah sesuai dengan usaha serta lingkungan yang mendukung. Pemahaman ontologis membantu manusia membebaskan diri dari identitas atau peran yang dipaksakan oleh lingkungan. Seorang individu yang dulu dipaksa mengikuti tradisi keluarganya dalam memilih pekerjaan, jodoh, dan jalan hidupnya, misalnya, kini dapat menentukan jalannya sendiri berdasarkan pemahaman tentang eksistensinya yang lebih luas.

Salah satu fungsi utama dari pemikiran ontologis adalah memetakan realitas yang melampaui pengalaman manusia. Ontologi berusaha mengungkap dunia transenden, yaitu dunia yang berada di luar jangkauan langsung manusia, tetapi tetap dapat dipahami secara rasional. Contohnya, dalam ilmu pengetahuan modern, pemahaman tentang alam semesta berkembang dari kepercayaan mitologis yang ditekuni menjadi model kosmologi berbasis penelitian ilmiah. Dahulu, fenomena seperti gerhana atau gempa bumi dijelaskan melalui mitos, tetapi kini kita memahami bahwa fenomena tersebut dapat dijelaskan secara ilmiah berdasarkan hukum fisika. Fungsi lain dari ontologis adalah memberikan pemahaman sistematis yang dapat digunakan untuk menjelaskan berbagai fenomena yang sulit diungkapkan dengan cara lain. Selain itu, ontologi juga berfungsi sebagai penyaji pengetahuan yang dapat dikontrol, sebagaimana terlihat dalam perkembangan teknologi medis, di mana keyakinan kuno tentang penyembuhan mistis telah digantikan dengan metode berbasis penelitian dan eksperimen yang teruji.

Dalam kehidupan sehari-hari, penerapan pemikiran ontologis dapat dilihat dalam berbagai aspek. Pada dunia pendidikan, misalnya, konsep pembelajaran yang dahulu berfokus pada hafalan kini bergeser ke pendekatan yang lebih analitis dan kritis. Hal ini mencerminkan bagaimana pemikiran ontologis membantu membentuk cara kita memahami dan berinteraksi dengan dunia. Dalam bidang sosial, gerakan kesetaraan gender dan hak asasi manusia juga merupakan hasil dari pemikiran ontologis yang lebih maju, di mana individu tidak lagi terikat oleh konstruksi sosial yang membatasi kebebasan mereka.


Dalam pemikiran ontologis, hubungan antara manusia dan dunia dipahami sebagai sesuatu yang dinamis dan saling memeengaruhi. Manusia tidak hidup dalam ruang yang terisolasi, melainkan sebagai bagian dari realitas atau kenyataan yang lebih besar. Dunia bukanlah sesuatu yang statis, tetapi terus berubah seiring waktu, dan manusia berinteraksi dengan dunia melalui pengalaman, pemikiran, dan tindakan. Misalnya, kemajuan teknologi telah mengubah cara manusia berkomunikasi dan bekerja. Dahulu, komunikasi jarak jauh terbatas pada surat dan pertemuan langsung, tetapi kini teknologi digital memungkinkan kita untuk berkomunikasi dalam hitungan detik. Hal ini menunjukkan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk memahami dan memengaruhi dunia, sementara dunia juga memberikan konteks dan pengaruh bagi kehidupan manusia. Dengan kata lain, manusia dan dunia saling membentuk satu sama lain.

Substansialisme

Ontologis yang menjadi pijakan peradaban manusia untuk lebih maju ternyata menyimpan sisi kelam dalam bentuk substansialisme. Substansialisme dalam pemikiran ontologis adalah pandangan bahwa segala sesuatu yang ada memiliki substansi dasar yang menjadi inti atau esensi dari eksistensinya. Substansi ini tetap dan tidak berubah meskipun bentuk atau sifat objek dapat berubah. Substansialisme adalah pandangan yang melihat segala sesuatu sebagai entitas yang berdiri sendiri, tanpa keterkaitan dengan yang lain. Manusia, benda, dunia, nilai-nilai, dan Tuhan dipandang sebagai unsur terpisah. Pendekatan ini cenderung mengisolasi dan memisahkan segala sesuatu dalam definisi-definisi kaku, seolah-olah akal manusia mampu memahami seluruh realitas secara mutlak. Hal ini yang menjadi salah satu penyebab manusia mengeksploitasi alam yang mereka anggap ada dalam genggaman mereka.

Substansialisme merugikan manusia karena terlalu berpegang pada logika dan mengabaikan aspek emosional serta nilai-nilai kemanusiaan. Jika segala sesuatu dipandang hanya berdasarkan esensinya yang tetap, manusia dapat kehilangan fleksibilitas dalam menghadapi perubahan sosial dan emosional. Misalnya, dalam dunia kerja, jika suatu perusahaan hanya berpegang pada struktur hierarkis yang kaku tanpa mempertimbangkan inovasi atau kebutuhan individu, maka perusahaan tersebut bisa tertinggal dari perkembangan zaman. Begitu pula dalam kehidupan pribadi, jika seseorang hanya berpegang pada logika tanpa mempertimbangkan empati dan perasaan, hubungan sosialnya bisa menjadi kaku dan tidak manusiawi.

Sebagai kesimpulan, ontologi sebagai pembebasan menawarkan cara berpikir yang lebih kritis dan reflektif dalam memahami keberadaan serta hubungan manusia dengan dunia. Dengan menelaah realitas secara lebih mendalam, manusia dapat melepaskan diri dari batasan sosial dan eksistensial yang menghambat perkembangan individu maupun kolektif. Namun, penting untuk menyeimbangkan antara logika dan nilai-nilai kemanusiaan agar tidak terjebak dalam kekakuan berpikir yang dapat menghambat inovasi dan empati. Melalui pendekatan yang seimbang, ontologi dapat menjadi sarana untuk membangun pemahaman yang lebih luas, mendorong perubahan positif, dan menciptakan kehidupan yang lebih bermakna bagi setiap individu.

Referensi

C.A. Van Peursen, Strategi Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius, 1988

Editor: R. Agnibayaa

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak